Purwokerto (ANTARA) - Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Manunggal Kusuma Wardaya mengatakan bahwa wacana penambahan masa jabatan presiden perlu kajian mendalam dan menyeluruh.

"Perlu kajian mendalam dan menyeluruh karena perlu mengakomodasi kepentingan masyarakat," kata Manunggal Kusuma Wardaya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat.

Salah satu pendiri Serikat Pengajar HAM (Sepaham) Indonesia tersebut juga mengatakan bahwa kewenangan mengubah UUD NRI Tahun 1945 memang terletak pada MPR.

Baca juga: Masa jabatan presiden, Surya Paloh: Perlu libatkan publik

"Secara hukum ketatanegaraan jika MPR menghendaki (penambahan masa jabatan, red.), ya, bisa saja. Adapun masa jabatan itu panjang pendeknya relatif. Kita 'terbiasa' 5 tahun sejak mendirikan negara ini. Tapi ingat, Amerika tidak 5 tahun, tetapi 4 tahun," katanya.

Oleh karena itu, menurut dia, penambahan bisa saja terjadi MPR menyepakati soal masa jabatan presiden/wakil presiden. Namun, harus dikaji kembali apakah telah mengakomodasi kepentingan rakyat.

"Harus diingat, hukum juga produk politik. Hukum, termasuk UUD, adalah produk politik sehingga perlu diluruskan apakah produk tersebut bukan untuk kepentingan politik jangka pendek," katanya.

Durasi kekuasaan, menurut dia, perlu dibatasi agar tidak berpotensi terjadi penyimpangan. Pasalnya, makin lama kekuasaan berlangsung, dia akan berpotensi menyimpang.

Sebelumnya, Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PPP Arsul Sani mengakui bahwa pimpinan MPR saat ini menampung semua wacana dan pemikiran dari elemen masyarakat, salah satu masukannya terkait dengan perubahan masa jabatan presiden/wakil presiden.

Baca juga: Akademisi: Batas masa jabatan presiden tidak perlu diperdebatkan lagi

Masukan masyarakat tersebut, menurut dia, seperti ada yang mengusulkan lama masa jabatan presiden/wapres selama 5 tahun namun dapat dipilih tiga kali.
Selain itu, kata dia, ada usulan presiden/wapres cukup satu kali masa jabatan saja namun tidak 5 tahun, tetapi 8 tahun.