Jakarta (ANTARA) - Ketua Departemen Pendidikan dan Cendekiawan DPP Partai Golkar Ton Abdillah Has mempertanyakan tata cara pemilihan ketua umum dalam Musyawarah Nasional (Munas) Golkar pada 4 Desember mendatang.

Masalahnya, kata Ton, dalam rapat pleno pada Rabu (27/11), tata cara pemilihan ketua umum hanya disampaikan secara lisan oleh steering committee, tidak dibahas apalagi disahkan.

Baca juga: Rapat Pleno Golkar dinilai gagal tetapkan materi Munas

"Tata cara pemilihan pimpinan partai merupakan aturan yang harus ditetapkan sebelum Munas karena tahapannya sudah dimulai sebelum Munas digelar, yaitu tahap penjaringan calon ketua umum/ketua formatur," kata Ton di Jakarta, Kamis.

Menurut Ton, memang dapat saja terjadinya perubahan tata cara pemilihan jika dikehendaki peserta Munas. Namun, kewajiban pimpinan pusat adalah menjalankan amanah Anggaran Rumah Tangga BAB XIV Pasal 50 tentang Pemilihan Pimpinan Partai di mana poin kelimanya menyebutkan akan diatur dalam peraturan tersendiri.

"Sehingga draf tata cara pemilihan pimpinan partai yang disusun SC Munas belum sah digunakan jika belum dibahas dan disahkan rapat pleno pengurus," ujarnya.

Baca juga: Wacana munas tandingan berpotensi Golkar pecah

Ia juga menyoroti draf tata cara pemilihan pimpinan partai yang disusun SC yang dinilai terdapat ketidaksesuaian dengan ART.

Paparan lisan ketua SC menyebutkan adanya perubahan tata cara pencalonan menggunakan rekomendasi tertulis minimal 30 persen pemilik suara. Sementara ART Pasal 50 menyebutkan pemilihan ketua umum DPP dilakukan secara langsung oleh peserta musyawarah melalui tahapan penjaringan, pencalonan, dan pemilihan.

"Terdapat ambiguitas penempatan Pasal 12 poin 4 huruf A yang seyogianya diletakkan pada fase pencalonan melalui pemilihan langsung di forum munas, bukan sebagai mekanisme penjaringan lewat rekomendasi tertulis," ujarnya.

Ton mengatakan keengganan sebagian pengurus DPP, khususnya Ketua Umum Airlangga Hartarto serta pendukungnya membahas serta mengesahkan tata cara pemilihan pimpinan partai dalam pleno telah mencederai demokrasi di tubuh Partai Golkar dan berisiko menempatkan hasil Munas mendatang kehilangan legitimasi, baik secara politik maupun hukum.

Baca juga: Sabil Rachman: Langkah Bamsoet ingkari komitmen hal biasa

"Lebih jauh lagi, kondisi ini berpotensi mendorong Partai Golkar pada perpecahan kembali," ujar Ton.

Menurut Ton, situasi menjelang Munas X Partai Golkar ini juga sangat rentan menjauhkan partai dari konstituennya, khususnya masyarakat kelas menengah yang selama ini mendukung Golkar karena karakter dan tradisinya yang terbuka dan demokratis.