Jakarta (ANTARA) - Jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menyerahkan memori kasasi ke Mahkamah Agung (MA), Kamis (28/11), dalam perkara dugaan pembantuan kesepatakan proyek PLTU Riau-1 dengan terdakwa mantan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir.

"Tadi, saya dapat informasi dari tim JPU bahwa besok rencananya JPU KPK akan menyerahkan memori kasasi untuk vonis bebas dengan terdakwa Sofyan Basir," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK RI, Jakarta, Rabu.

Diketahui, KPK sebelumnya telah resmi mengajukan kasasi perkara Sofyan Basir tersebut ke MA pada hari Jumat (15/11).

Semua materi, kata Febri Diansyah, sudah dirangkum dalam memori kasasi itu, mulai dari pertimbangan dan aspek dari aspek formil yang menyatakan secara tegas bahwa putusan kemarin itu bukanlah atau tidak dapat dikategorikan sebagai putusan bebas murni sehingga beberapa pertimbangan-pertimbangan itu bisa diskusikan atau diperdebatkan lebih lanjut.

Dalam memori kasasi itu, KPK juga menguraikan pertimbangan-pertimbangan atau fakta yang muncul di persidangan dengan terdakwa Sofyan Basir yang perlu dipertimbangkan oleh hakim kasasi.

Baca juga: KPK serahkan bukti tambahan dalam memori kasasi Sofyan Basir

Selain itu, kata dia, KPK juga melampirkan bukti berupa rekam sidang Sofyan Basir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

"Untuk menunjukkan bukti bahwa pada proses persidangan memang ada fakta-fakta yang sudah muncul yang kami duga terdakwa Sofyan Basir mengetahui apa kepentingan dari Eni Saragih (mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR) untuk mengurus percepatan proyek PLTU Riau-1," ungkap Febri.

KPK, kata dia, meyakini bahwa tidak benar terdakwa Sofyan hanya menolong tanpa mengetahui kepentingan Eni dalam proyek PLTU Riau-1 itu.

"Jadi, kami yakin sekali tidak benar kalau dikatakan terdakwa Sofyan Basir hanya menolong tanpa mengetahui kepentingan dari Eni Saragih yang sebelumnya sudah divonis bersalah menerima suap dari Kotjo (pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited (BNR) Johannes Budisutrisno Kotjo)," tuturnya.

Pada tanggal 4 November 2019, hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis bebas terhadap Sofyan karena tidak terbukti melakukan pembantuan terkait dengan tindak pidana penerimaan suap dalam kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) IPP PLTU MT Riau-1.

Majelis hakim tidak sepakat dengan JPU KPK yang menuntut Sofyan agar divonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan karena melakukan pembantuan sehingga Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR RI 2014—2019 dan mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham menerima suap seluruhnya Rp4,75 miliar dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited (BNR) Ltd. Johannes Budisutrisno Kotjo.

Baca juga: KPK beberkan fakta hukum dalam memori kasasi Sofyan Basir

Baca juga: KPK tunggu salinan vonis bebas Sofyan Basir sebelum ajukan kasasi

Baca juga: Pengamat: KPK harus hormati vonis bebas Sofyan Basir


Dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa Sofyan dinilai tidak terbukti mengetahui kesepakatan penerimaan fee yang akan diterima Johannes Budisutrinso Kotjo dari CHEC Ltd. sebesar 2,5 persen atau sejumlah 25 juta dolar AS yang selanjutnya akan diberikan kepada sejumlah pihak.

Nama Sofyan juga tidak tercantum atau bukan sebagai pihak yang menerima fee sehingga Sofyan dinilai tidak memahami dan tidak tahu fee yang akan diterima Kotjo dan kepada siapa saja fee itu akan diberikan.

Alasan kedua hakim adalah Sofyan tidak tahu adanya kesepakatan serta pemberian uang Rp4,75 miliar dari Johannes Kotjo kepada Eni Maulani Saragih.

Alasan ketiga, proses percepatan proyek PLTU MT Riau -1 terjadi bukan karena permintaan Eni Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo, melainkan karena adanya permintaan dan desakan dari pihak pemerintah karena proyek tersebut adalah program prioritas nasional, seperti dalam Peraturan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 sebagaimana diubah dengan Perpres No. 14/2017.

Sofyan pun dibebaskan dari segala tuntutan dan langsung dikeluarkan dari rumah tahanan KPK.