Kesejahteraan di tingkat mikro belum merata di masa Orba dan Reformasi
Rakor Gubernur Se-Sumatera Wakil Gubernur Sumatera Barat Nasrul Abit (ketiga kanan), disaksikan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (kedua kiri), Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono (kiri) dan sejumlah Gubernur, menandatangani nota kesepahaman bersama pada Rapat Koordinasi Gubernur se-Sumatera tahun 2017 di Jambi, Senin (9/10/2017). Nota kesepahaman bersama tersebut diantaranya, mendukung pembangunan dan pengembangan konektivitas Sumatera, mendeklarasikan pembangunan ekonomi hijau dan berkelanjutan, mendorong pembangunan bidang kepariwisataan, dan mendukung penetapan Bandara Logistik Mitigasi Bencana Pulau Sumatera. (ANTARA/Wahdi Septiawan)
Kemitraan bersama organisasi masyarakat sipil Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Transformasi untuk Keadilan Indonesia, Kaoem Telapak, Madani Berkelanjutan dan Auriga Nusantara, serta Universitas Negeri Kalimantan Timur dan Universitas Negeri Jambi dalam laporan studi terbarunya dengan judul Meneropong Pembangunan Hijau di Indonesia: Kesenjangan dalam Perencanaan Nasional dan Daerah yang diluncurkan di Jakarta, Rabu, mengungkap pertumbuhan ekonomi yang tinggi di tingkat makro yang telah terjadi tak serta merta menciptakan pemerataan kesejahteraan di tingkat mikro
Direktur Eksekutif Kemitraan Monica Tanuhandaru mengatakan prioritas kabinet Presiden Joko Widodo di periode kedua memang ingin mengubah ekonomi berbasis sumber daya alam menjadi ekonomi berbasis industri.
Namun tak bisa dipungkiri, survei sosial ekonomi nasional 2016 menunjukkan lapangan pekerjaan berbasis lahan dan sumber daya alam mencapai 40 persen dan lapangan pekerjaan dari ekonomi berbasis industri hanya mencapai delapan persen.
Baca juga: RI Terapkan Konsep "Ekonomi Hijau"
Persoalannya terdapat ketimpangan tajam bahwa hanya 15 persen rakyat ternyata menguasai 58 persen tanah, hutan dan lahan di seluruh Indonesia, katanya.
“Ini ketimpangan penguasaan sumber daya alam yang tidak transparan. Maka harus ada transformasi menuju strategi pembangunan hijau,” ujar dia.
Studi Analisa Pembangunan Hijau yang dilakukan Kemitraan dan kawan-kawan (dkk) mengidentifikasi upaya atau perencanaan pembangunan hijau di tingkat provinsi, dan berupaya memberikan masukan kepada pemerintah pusat dan daerah.
Terdapat dua provinsi yang menjadi obyek studi penelitian, yakni Jambi dan Kalimantan Timur, yang mewakili gambaran permasalahan serta komitmen pemerintah daerah terhadap konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Studi analisa ini salah satunya dilatar belakangi dari hasil penelitian Kemitraan bertajuk Satu Indonesia (2018) yang menunjukan selama era Orde Baru dan Reformasi, narasi yang digunakan dalam proses pembangunan cenderung menggunakan pendekatan berbasis pengarusutamaan ekonomi.
Hasil temuan yang diperoleh tim Kemitraan berfokus pada proses formulasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), proses pembuatan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) serta Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang berfokus pada aspek sosial, ekonomi, ekologi dan institusi.
Dari analisis yang dilakukan juga diketahui bahwa kesenjangan perencanaan nasional dan daerah pada akhirnya menunjukkan urgensi Indonesia untuk segera bertransformasi ke pembangunan ekonomi hijau untuk mencapai pemerataan kesejahteraan di tingkat mikro sekaligus untuk pelestarian ekologi, ujar dia.
Kepala Sub Direktorat Kualitas Lingkungan dan Perubahan Iklim Bappenas Sudhiani Pratiwi mengatakan sektor lingkungan telah menjadi prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024.
Bappenas, menurut dia, juga telah menjadikan lingkungan hidup sebagai prioritas pembangunan, termasuk isu ketahanan iklim, isu mitigasi bencana dan pembangunan rendah karbon.
Baca juga: Ekonomi hijau dan pertumbuhan bukan konflik
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019