Semarang (ANTARA) - Agar pembahasan perubahan UUD NRI Tahun 1945 tidak melebar ke mana-mana, tampaknya tidak sekadar kesepakatan kalangan elite yang mewacanakan amendemen terbatas terhadap konstitusi, tetapi perlu menetapkan terlebih dahulu apa saja yang akan masuk dalam amendemen.

Apalagi belakang ini muncul wacana masa jabatan presiden dan wakil presiden yang dikemukakan kalangan elite politik. Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh, misalnya, yang memandang perlu melibatkan seluruh komponen masyarakat dalam membahas amendemen UUD NRI Tahun 1945 terkait dengan masa jabatan presiden tiga periode.

Pernyataan tersebut disampaikan Surya Paloh di sela-sela perayaan HUT Ke-8 NasDem dan peluncuran mobil siaga Partai NasDem Provinsi Jawa Timur di JI Internasional Jatim, Surabaya, Sabtu (23/11).

Baca juga: Politikus sebut tak perlu referendum terkait masa jabatan presiden

Sebelumnya, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dari Fraksi PPP Arsul Sani mengemukakan bahwa pimpinan MPR RI saat ini menampung semua wacana dan pemikiran dari elemen masyarakat, salah satu masukannya adalah perubahan masa jabatan presiden/wakil presiden.

Masukan dari masyarakat itu, antara lain lama masa jabatan presiden selama 5 tahun namun dapat dipilih tiga kali atau tiga periode, kemudian ada usulan presiden cukup satu kali masa jabatan saja namun tidak 5 tahun, tetapi 8 tahun.

Secara garis besar usulan tiga periode itu memiliki argumentasi agar program-program pembangunan, terutama pembangunan fisik dan infrastruktur yang dilaksanakan pemerintahan Joko Widodo sebagai presiden bisa dituntaskan, apalagi ada agenda besar.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pun ikut mengusulkan masa jabatan presiden diubah menjadi 7 tahun tetapi dibatasi satu periode. Jika hanya satu periode, kata Ketua DPP PSI Tsamara Amany, setiap presiden akan bekerja semaksimal mungkin, fokus bekerja buat rakyat, dan tak memikirkan pemilu berikutnya.

Argumentasi pembatasan satu periode, menurut Tsamara Amany, akan membuat presiden terlepas dari tekanan politik jangka pendek dan lebih fokus melahirkan pada kebijakan terbaik.

Kendati demikian, kata Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani, rekomendasi MPR RI 2014—2019 mengenai amendemen UUD NRI Tahun 1945 lebih menekankan bersifat terbatas, terkait dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Namun, apakah usulan yang terkait dengan masa jabatan presiden/wakil presiden ini akan menjadi bagian dari sesuatu yang diamendemen, Arsul Sani menegaskan, "Masih terlalu pagi untuk dijawab."

Referendum

Jika masalah perubahan masa jabatan presiden/wakil presiden melibatkan seluruf rakyat, menurut politikus Partai Golkar Dr. H.M. Iqbal Wibisono, S.H., M.H., sama artinya dengan referendum. Hal ini tentunya harus berjalan sesuai dengan asas due process of law atau proses hukum yang baik, benar, dan adil.

Alumnus Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) ini menyebut tidak perlu meminta pendapat rakyat secara langsung mengenai setuju atau tidak setuju terhadap kehendak MPR untuk mengubah UUD NRI Tahun 1945 atau referendum mengenai masa jabatan presiden/wakil presiden.

Masa jabatan dibatasi maksimal dua periode mengandung maksud agar terjadi kesinambungan kaderisasi bangsa. Cukup waktu untuk berekspresi dan mengaktualisasi janji-janji kampanyenya.

Baca juga: Analis: Jangan sampai pembahasan amendemen UUD melebar ke mana-mana

Sementara itu, analis politik dari Universitas Diponegoro Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. menegaskan bahwa referendum tidak dikenal dalam sistem hukum nasional. Apalagi dalam UUD 1945 tidak terdapat ketentuan tentang referendum.

"Yang dikenal adalah mekanisme Sidang Umum MPR RI. Kalau referendum apa dasar hukumnya? Pasalnya, UU tentang Referendum sudah dicabut," kata Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Undip Teguh Yuwono.

Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/1998 telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Tap MPR RI Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum sehingga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum perlu dicabut. Pencabutan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum ini melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1999.

Karena telah lahir UU No. 6/1999 tentang Pencabutan UU No. 5/1985, Iqbal Wibisono berpendapat bahwa MPR RI dalam melakukan hal-hal yang strategis tidak harus melalui referendum. Namun, perlu mengajak serta kekuatan masyarakat agar yang hendak dibentuk memiliki kedaulatan dan mampu menjawab tantangan zaman.

Fokus pada GBHN

Perubahan terbatas UUD NRI Tahun 1945, seturut rekomendasi MPR RI periode sebelumnya, harus benar-benar terbatas, bukan sebaliknya mumpung ada amendemen terhadap konstitusi menjadi momen untuk mengubah pasal-pasal lainnya, apalagi terkait dengan masa jabatan presiden/wakil presiden.

MPR RI periode 2019—2024 yang terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI produk Pemilu 2019 betul-betul fokus pada rencana mengembalikan kewenangannya untuk bisa menetapkan GBHN pada amendemen kelima UUD 1945.

Setelah itu, MPR perlu pula menyiapkan Rancangan Ketetapan MPR RI tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Jika mengacu pada Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999—2004, isinya antara lain visi dan misi bangsa Indonesia, arah kebijakan hukum, ekonomi, politik, agama, pendidikan, sosial dan budaya, serta sumber daya alam dan lingkungan hidup. Pada Tap MPR RI tentang GBHN mendatang tampaknya perlu menambah poin yang mengarah pada Indonesia maju.

Sebelum amendemen, sebaiknya MPR RI perlu mendengar pernyataan dari kalangan akademikus, termasuk alumnus Flinders University Australia Teguh Yuwono. Akademisi Undip Semarang ini mengutarakan bahwa pembahasan amendemen UUD NRI Tahun 1945 seyogianya fokus pada isu-isu tertentu agar tidak melebar ke mana-mana yang berpotensi menjadi "bola liar".

"Tidak bisa hanya karena momentum (kesempatan), isu-isu tidak relevan lantas masuk ke MPR. Ini berbahaya karena bolanya bisa bola liar. Jadi, bolanya harus dikontrol, atau tidak bisa bola liar begitu," kata Teguh Yuwono.

Oleh karena itu, Teguh Yuwono memandang penting ada kesepakatan terlebih dahulu apa saja yang akan diubah. Dengan demikian, tidak bisa ada kepentingan, misalnya masa jabatan presiden/wakil presiden semula dua menjadi tiga periode.

Kalau tidak dibatasi apa yang akan diamendemenkan, menurut Teguh Yuwono, mesti bisa ke mana-mana karena ada peluang ke banyak hal, termasuk kemenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, kewenangan lembaga tinggi negara, dan bahkan ada yang ingin ubah pasal tentang Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca juga: Analis sebut referendum tak dikenal dalam sistem hukum nasional