Jakarta (ANTARA Mews) - Usai melihat lokasi pembalakan liar di tepi Sungai Pawan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, beberapa waktu lalu, Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Komjen Pol Bambang Hendarso dan sejumlah penyidik mampir di sebuah warung untuk makan siang. Aneka hidangan pun disajikan oleh pelayan, termasuk udang air tawar khas Sungai Pawan yang terkenal kelezatannya. Setelah melihat ada sejumlah anggota Bhayangkari (isteri anggota Polri) Polres Ketapang yang hadir di rumah makan itu, Bambang pun bertanya siapa yang menyajikan makanan tersebut Seorang Bhayangkari menyatakan bahwa merekalah yang mengurus makan siang rombongan itu. "Jangan dibayari. Biar saya yang membayar makanan ini," kata Bambang dengan nada tinggi setelah mendapat jawaban itu. Sejak itu dan selama empat hari di Ketapang, Bambang membayar sendiri segala keperluan, termasuk makan, hotel, dan transportasi. Bambang dan tim penyidik, ketika itu, berada di Ketapang untuk mengusut terjadinya pembalakan liar skala besar dengan barang bukti 13 ribu meter kubik kayu yang siap diselundupkan ke Malaysia. Menjelang Bambang balik ke Jakarta empat hari berikutnya, seorang ajudan sibuk mengecek tagihan yang belum dibayar. Selama di Ketapang, Bambang dengan terus-terang menyatakan enggan diberi pengawalan secara khusus, baik di hotel maupun dalam perjalanan. Padahal sebagai jenderal bintang tiga, ia layak mendapatkan pengawalan khusus. Dia memilih bergerak dengan timnya secara langsung tanpa harus merepotkan polisi yang ada di daerah. Beberapa kali Bambang menyusuri sungai dengan naik speed boat tanpa mau merepotkan orang lain. Perahu kayu setinggi lima meter pun dapat dinaiki Bambang dengan mudah melalui tangga darurat, padahal beberapa anak buahnya harus dibantu untuk naik ke atas perahu milik para pembalak hutan itu. Ketika polisi membongkar penyelundupan skala besar di Pekan Baru, beberapa waktu lalu, Bambang juga terlihat turun ke lokasi. Saat itu, dia memakai sepatu boot karena tepi sungai penuh lumpur. Tidak lupa, topi cowboy warga coklat muda ikut melengkapi penampilan perwira polisi berbintang tiga tersebut. Kedua hal tadi hanya sebagian dari potret bagaimana alumni Akabri Bagian Kepolisian tahun 1974 itu bekerja di lapangan dan tidak sekadar menunggu laporan asal babak senang (ABS). Seorang perwira yang menjadi anak buah Bambang mengakui, bosnya itu memang tidak suka merepotkan polisi yang ada di daerah jika ia turun ke lokasi terjadinya tindak pidana. "Pak Kaba (Kabareskrim) selalu minta agar jangan merepotkan yang di daerah. Konsekuensinya, anggaran tim penyidik telah dicukupi," kata perwira itu. Kasus penyelundupan dan pembalakan liar hanya bagian dari sejumlah kasus besar yang ditangani oleh Bambang saat menjadi Kabareskrim. Kasus pembalakan liar dengan terdakwa cukong kayu Adelin Lis juga tidak lepas dari nama Bambang. Adelin ditangkap polisi saat Bambang menjadi Kapolda Sumatera Utara. Kendati sempat divonis bebas oleh PN Medan, Mahkamah Agung menghukum Adelin Lis 15 tahun penjara dengan membayar ganti rugi ratusan miliar rupiah. Kasus Adelin Lis seolah membuktikan bahwa operasi pembalakan liar yang diperintahkan Bambang berhasil. Selama menjadi Kabareskrim, Bambang menggelar operasi pembalakan liar di Riau, Kalbar (dua kali), Kaltim, Kalteng, dan Papua, dan seluruh pelakunya divonis bersalah oleh pengadilan. Aneka kasus pertambangan juga menjadi perhatian, misalnya tindak pidana timah di Bangka Belitung dan operasi rutin pengamanan distribusi bahan bakar minyak (BBM). Nama Bambang makin dikenal sebagai reserse bertangan dingin pengungkap kasus sulit setelah berhasil membongkar kematian aktivitas HAM Munir. Upaya peninjauan Kembali (PK) oleh Kejagung juga tidak lepas dari Bambang sebab dia berperan membantu mencari alat bukti baru sehingga jaksa bisa mengajukan PK. Hasilnya, mantan pilot PT Garuda Pollycarpus Budi Haripriyanto divonis 20 tahun penjara. Sejak Akpol Tanda-tanda Bambang akan menjadi seorang pimpinan terlihat sejak ia menjadi taruna Akabri bagian Kepolisian. Bapak dua anak yang lahir di Bogor, 10 Oktober 1952, itu menjadi Komandan Peleton (Danton) Taruna. "Saat taruna, dia itu orangnya cool (pendiam). Ia pernah menjadi Danton A," kata teman sesama alumni 1974. Usai lulus dari taruna, jabatan pertama suami Nanny Hartiningsih itu adalah Wakasat Sabhara Polres Bogor pada 1975. Setelah beberapa jabatan ditempati, ia pun menjadi Kapolres Jayapura, 1993, lalu Wakapolwil Bogor setahun berikutnya. Usai itu, ayah dari Hanny Kuncoro Hendarso dan Bayu Huda Wicaksono Hendarso itu menjabat Direskrim di empat Polda, yakni NTT (1997), Bali (1999), Jatim (2000), dan Metro Jaya (2002). Usai menyelesaikan kursus Lemhanas, Bambang ditugaskan di Lemhanas sebagai Direktur Pembinaan Alumni dengan pangkat Brigjen. Karirnya mulai melesat meninggalkan teman-teman seangkatan setelah Kapolri dijabat oleh Jenderal Pol Sutanto. Saat Sutanto jadi Kapolda Jatim, Bambang menjabat sebagai Dirreskrim polda yang sama. Sutanto menarik Bambang dari Lemhanas dan dijadikan Kapolda Kalsel pada 10 Agustus 2005. Empat bulan berikutnya, 21 Desember 2005 ia naik jadi bintang dua dengan pangkat Irjen Pol setelah menjadi Kapolda Sumut. Baru setahun pangkat bintang dua diraih, ia sudah naik jadi bintang tiga dengan pangkat Komjen Pol setelah menjadi Kabareskrim pada 29 Desember 2006 menggantikan Komjen Pol Makbul Padmanagara yang naik menjadi Wakapolri. Tanggal 10 September 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhyono mengajukan namanya menjadi calon Kapolri menggantikan Jenderal Pol Sutanto yang akan pensiun. Melalui uji kepatutan dan kelayakan selama tujuh jam, DPR setuju Bambang menjadi Kapolri, 22 September 2008. Kapolri Jenderal Pol Sutanto mengatakan, pengajuan Bambang tidak main comot begitu saja, tapi sudah melalui pengamatan sejak dia lulus dari Akabri Bagian Kepolisian tahun 1974. "Sejak lulus dari taruna, dia sudah terpantau. Pengajuan calon Kapolri sudah melalui mekanisme yang ada," katanya. Ia menyatakan, Polri telah memiliki sistem pengkaderan berjenjang yang baik dan mereka yang naik sampai jenderal bintang tiga berarti telah menjadi kader yang berprestasi. (*)