Pemerintah diminta ratifikasi konvensi perlindungan penghilangan paksa
26 November 2019 18:58 WIB
Orang tua korban penculikan paksa, Payan Siahaan (kanan) menyampaikan pandangannya dalam acara jumpa pers tentang desakan ratifikasi konvensi internasional untuk perlindungan semua orang dari penghilangan paksa, di Hotel Aone, Jakarta Pusat, Selasa (26/11/2019) (ANTARA News/Fathur Rochman)
Jakarta (ANTARA) - Organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah untuk segera melakukan ratifikasi konvensi internasional untuk perlindungan semua orang dari penghilangan paksa, guna menunjukkan komitmen dalam melakukan perlindungan penegakan dan pemajuan HAM.
"Kenapa perlu ratifikasi konvensi?
Itu sebagai wujud negara kita sebagai negara hukum, wujud negara kita sebagai negara pemajuan terhadap hak asasi manusia," ujar Deputi Koordinator KontraS, Feri Kusuma di Jakarta, Selasa.
Pernyataan tersebut dikeluarkan setelah organisasi masyarakat sipil yang terdiri atas KontraS, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan Asia Federation Against Involuntary Disappearance (AFAD) menggelar konferensi nasional pada 25-26 November di Jakarta.
Feri mengatakan konvensi tersebut merupakan salah satu landasan hukum HAM internasional yang dapat memberikan perlindungan setiap orang dari penghilangan paksa.
Konvensi ini, kata dia, dibutuhkan sebagai upaya preventif dan korektif negara dalam menjamin perlindungan bagi semua orang dari penghilangan paksa, mengingat praktik penghilangan paksa juga terjadi di Indonesia.
Data yang dimiliki organisasi masyarakat sipil mencatat peristiwa penghilangan paksa banyak terjadi di masa orde baru, dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat, seperti peristiwa 1965-1966, Timor Timur 1975-1999, Tanjung Priok 1984, tragedi Talangsari 1989, Masa Operasi Militer di Aceh dan Papua, penembakan misterius 1981-1985, dan penculikan aktivis 1997/1998.
"Ratifikasi ini tujuannya untuk memastikan ketidakberulangan peristiwa serupa di masa yang akan datang, atau memberikan perlindungan bagi setiap warga negara dari praktik penghilangan orang secara paksa," kata Feri.
Dia menambahkan keuntungan melakukan ratifikasi konvensi bagi Indonesia adalah memperkuat legislasi dan supremasi hukum, yang berkaitan dengan pemberian kepastian hukum bagi korban dan keluarganya.
Kepastian hukum, lanjut Feri, juga penting bagi masyarakat untuk terhindar dari segala tindakan penghilangan secara paksa sekaligus menjadi bentuk pengakuan bahwa praktik penghilangan paksa adalah kejahatan kemanusiaan yang serius.
Sementara itu, Ketua Dewan Penasihat IKOHI Mugiyanto mengatakan pengesahan konvensi ini juga sejalan dengan salah satu rekomendasi DPR yang dikeluarkan pada 2009 untuk kasus penculikan dan penghilangan paksa 1997/1998.
Saat itu DPR merekomendasikan pemerintah untuk meratifikasi konvensi penghilangan orang secara paksa.
"Ini salah satu konvensi HAM utama yang belum diratifikasi Indonesia. Satu-satunya konvensi HAM pertama yang belum diratifikasi Indonesia. Indonesia sudah meratifikasi 8 konvensi HAM internasional, tinggal satu yaitu konvensi penghilangan orang secara paksa," kata Mugiyanto.
Desakan terhadap pemerintah untuk meratifikasi konvensi ini mendapat dukungan penuh dari keluarga korban.
Payan Siahaan, orangtua dari Ucok Munandar Siahaan yang hilang sejak dijemput orang tak dikenal pada 14 Mei 1998, berharap pemerintahan Presiden Joko Widodo dapat segera melakukan ratifikasi konvensi agar kepastian hukum atas kasus peristiwa penculikan paksa anaknya dapat segera terwujud.
"Sehingga kami keluarga korban akan merasakan bahwa ada kemauan pemerintah menyelesaikan kasus kami," ucap Payan.
Baca juga: RI Diminta Ratifikasi Konvensi Perlindungan dari Penghilangan Paksa
"Kenapa perlu ratifikasi konvensi?
Itu sebagai wujud negara kita sebagai negara hukum, wujud negara kita sebagai negara pemajuan terhadap hak asasi manusia," ujar Deputi Koordinator KontraS, Feri Kusuma di Jakarta, Selasa.
Pernyataan tersebut dikeluarkan setelah organisasi masyarakat sipil yang terdiri atas KontraS, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan Asia Federation Against Involuntary Disappearance (AFAD) menggelar konferensi nasional pada 25-26 November di Jakarta.
Feri mengatakan konvensi tersebut merupakan salah satu landasan hukum HAM internasional yang dapat memberikan perlindungan setiap orang dari penghilangan paksa.
Konvensi ini, kata dia, dibutuhkan sebagai upaya preventif dan korektif negara dalam menjamin perlindungan bagi semua orang dari penghilangan paksa, mengingat praktik penghilangan paksa juga terjadi di Indonesia.
Data yang dimiliki organisasi masyarakat sipil mencatat peristiwa penghilangan paksa banyak terjadi di masa orde baru, dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat, seperti peristiwa 1965-1966, Timor Timur 1975-1999, Tanjung Priok 1984, tragedi Talangsari 1989, Masa Operasi Militer di Aceh dan Papua, penembakan misterius 1981-1985, dan penculikan aktivis 1997/1998.
"Ratifikasi ini tujuannya untuk memastikan ketidakberulangan peristiwa serupa di masa yang akan datang, atau memberikan perlindungan bagi setiap warga negara dari praktik penghilangan orang secara paksa," kata Feri.
Dia menambahkan keuntungan melakukan ratifikasi konvensi bagi Indonesia adalah memperkuat legislasi dan supremasi hukum, yang berkaitan dengan pemberian kepastian hukum bagi korban dan keluarganya.
Kepastian hukum, lanjut Feri, juga penting bagi masyarakat untuk terhindar dari segala tindakan penghilangan secara paksa sekaligus menjadi bentuk pengakuan bahwa praktik penghilangan paksa adalah kejahatan kemanusiaan yang serius.
Sementara itu, Ketua Dewan Penasihat IKOHI Mugiyanto mengatakan pengesahan konvensi ini juga sejalan dengan salah satu rekomendasi DPR yang dikeluarkan pada 2009 untuk kasus penculikan dan penghilangan paksa 1997/1998.
Saat itu DPR merekomendasikan pemerintah untuk meratifikasi konvensi penghilangan orang secara paksa.
"Ini salah satu konvensi HAM utama yang belum diratifikasi Indonesia. Satu-satunya konvensi HAM pertama yang belum diratifikasi Indonesia. Indonesia sudah meratifikasi 8 konvensi HAM internasional, tinggal satu yaitu konvensi penghilangan orang secara paksa," kata Mugiyanto.
Desakan terhadap pemerintah untuk meratifikasi konvensi ini mendapat dukungan penuh dari keluarga korban.
Payan Siahaan, orangtua dari Ucok Munandar Siahaan yang hilang sejak dijemput orang tak dikenal pada 14 Mei 1998, berharap pemerintahan Presiden Joko Widodo dapat segera melakukan ratifikasi konvensi agar kepastian hukum atas kasus peristiwa penculikan paksa anaknya dapat segera terwujud.
"Sehingga kami keluarga korban akan merasakan bahwa ada kemauan pemerintah menyelesaikan kasus kami," ucap Payan.
Baca juga: RI Diminta Ratifikasi Konvensi Perlindungan dari Penghilangan Paksa
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019
Tags: