Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation (CITA) Yustinus Prastowo menilai kewajiban pencantuman Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada faktur pajak, dapat menjadi kunci ekstensifikasi pajak selain identitas tunggal atau Single ID.

Menurut Yustinus, kewajiban pencantuman NIK pada faktur pajak akan mampu mendeteksi pembeli yang sebenarnya sehingga bermanfaat untuk menampilkan profil Wajib Pajak (profiling) .

"Tak ada lagi faktur “gelondongan” dengan kode NOL. Jadi tidak ada lagi yang bisa berlindung seolah sebagai konsumen akhir padahal sebenarnya distributor besar. PPN yang bocor akan berkurang signifikan," ujar Yustinus di Jakarta, Selasa.

Baca juga: Mendagri datangi KPK bahas NIK untuk perbaikan pemberian bansos

Berdasarkan informasi di situs resmi Direktorat Jenderal Pajak, pemberlakuan kewajiban pencantuman Nomor Induk Kependudukan (NIK) dalam faktur pajak (e-faktur) bagi pembeli orang pribadi yang tidak memiliki NPWP ditunda.

Sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2017 pemberlakuan pencantuman NIK seharusnya mulai 1 April 2018.

Penundaan tersebut mempertimbangkan perlunya kesiapan infrastruktur dan memperhatikan kesiapan Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Penundaan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-09/PJ/2018 tanggal 29 Maret 2018 tersebut, berlaku sampai dengan batas waktu yang akan ditetapkan.

Ekstensifikasi pajak sendiri adalah kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Ditjen Pajak terhadap Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif namun belum mendaftrakan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Yustinus menambahkan, untuk mengoptimalkan ekstensifikasi pajak, dapat juga dengan penerapan PPN dengan tarif efektif (single stage) seperti rokok utk produk-produk tertentu yang bisa ditentukan Harga Jual Eceran atau HJE-nya.

"Misal FMCG atau fast moving consumer goods, sehingga efektif dan efisien. Effort diarahkan untuk hal lain," ujar Yustinus.

Selan itu, DJP dapat melakukan penerapan mesin EDC (electronic data capture) agar tersaji data penjualan "realtime" untuk keperluan pembukuan, bank dan pajak. Hal tersebut dapat mengurangi risiko manipulasi omset. Langkah itu kemudian diintegrasikan dengan Pajak Daerah.

"Alasan gaduh politik nggak relevan lagi sehingga kebijakan-kebijakan ini seharusnya bisa lebih mudah dieksekusi," kata Yustinus.

Baca juga: Pemerintah sepakati pemberian bansos harus berbasis NIK