Jakarta (ANTARA) - Melalui pemodelan analis dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) Lauri Myllivirta mengungkapkan potensi dampak kesehatan yang berujung 4.700 kematian dini selama 30 tahun masa operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara yang beroperasi di sekitar Jakarta.

Lauri melalui sambungan skype pada konferensi pers bersama Greenpeace Indonesia di Jakarta, Senin, mengatakan terdapat tiga PLTU terdekat dengan Ibu Kota Negara Jakarta, yang kebetulan memiliki tingkat polusi udara tertinggi di Asia Tenggara selain Hanoi di Vietnam.

Salah satunya adalah PLTU Jawa 9 dan 10 dengan kapasitas 2 X 1.000 megawatt (MW) yang dibiayai Korea Selatan, yang berlokasi di Suralaya, Banten, yang berdasarkan pemodelan yang dilakukan oleh Greenpeace diprediksi akan mengakibatkan 4.700 kematian dini selama 30 tahun masa operasi pembangkit listrik tersebut.

Baca juga: Greenpeace kritik Korsel untuk pendanaan pembangunan PLTU batubara

Lebih lanjut, Lauri mengemukakan hampir 5,7 miliar Euro pendanaan disalurkan Korsel untuk pembangunan PLTU batubara berkapasitas 12 gigawatt (GW). Proyek pembangkit listrik itu setidaknya menghasilkan 10x lebih tinggi emisi gas rumah kaca (GRK) dari yang diperbolehkan di Korsel.

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya mengatakan pembakaran batubara melepaskan partikel polutan yang menembus ke dalam sel darah manusia, merusak setiap organ dalam tubuh, menyebabkan mulai dari demensia hingga membahayakan anak-anak yang belum lahir.

Batu bara juga merupakan kontributor terburuk tunggal untuk krisis iklim global.

Baca juga: Kementerian ESDM pastikan PLTU Batang selesai sesuai jadwal pada 2020

Kematian dini tersebut disebabkan oleh berbagai penyakit pernapasan serius akibat debu batu bara yaitu, paru-paru obstruktif kronis, kanker paru, ISPA, diabetes, hingga stroke.

Sementara itu, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu mengatakan tidak ada regulasi yang dilanggar pemerintah Korsel terkait investasi pembangkit listrik tersebut, hanya saja ini dikembalikan lagi ke negaranya.

Yang harus dilakukan Pemerintah Indonesia tentu membuat kebijakan di mana sumber pencemar udara harus diperketat dan begitu pula tingkat ambientnya. Sedihnya kebijakan udara belum menjadi prioritas sehingga yang digunakan masih produk periode 1990-an.

Baca juga: Pemerintah diminta turun tangan cegah kerusakan Spermonde