Modifikasi cuaca bisa jadi alternatif tangani kemarau panjang
21 November 2019 18:41 WIB
Ilustrasi - Pesawat CASA 212-200 dengan nomor registrasi A-2101 milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang saat ini tengah beroperasi untuk modifikasi cuaca di Daerah Aliran Sungai Brantas, Kota Batu, Jawa Timur hingga awal Desember 2019. (ANTARA/Vicki Febrianto)
Malang, Jawa Timur (ANTARA) - Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Malang menyatakan bahwa Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) atau hujan buatan, dinilai bisa menjadi salah satu alternatif dalam menghadapi kemarau panjang seperti saat ini.
Analis Bencana BPBD Kota Malang Mahfuzi mengatakan bahwa secara keilmuan, penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca bisa dilakukan, yang ditujukan untuk meningkatkan kuantitas curah hujan di suatu wilayah yang mengalami krisis hujan atau cuaca ekstrem.
"Hujan buatan dilakukan jika memang sangat dibutuhkan dalam kondisi tertentu," kata Mahfuzi, di Kota Malang, Jawa Timur, Kamis.
Mahfuzi menjelaskan, penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca tersebut bisa dilakukan untuk mengatasi kebakaran lahan, polusi udara, menurunkan suhu udara, termasuk pengisian debit air di waduk atau sungai.
Untuk wilayah Kota Malang, lanjut Mahfuzi, memasuki minggu ketiga November tanda-tanda musim penghujan belum nampak. Kota Malang hanya diguyur hujan gerimis yang intensitasnya tergolong kecil.
"Cukup banyak yang berharap hujan segera turun. Selain untuk pengisian sumur, dan budidaya pertanian, warga juga berharap hujan dapat mengusir hawa panas dan debu," kata Mahfuzi.
Berdasarkan informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) molornya musim penghujan tersebut diakibatkan rendahnya suhu permukaan laut, jika dibanding kondisi normal pada perairan Indonesia bagian selatan dan barat.
Dampak dari rendahnya suhu permukaan laut tersebut, menyebabkan pembentukan awan berkurang dan musim penghujan belum juga datang, termasuk di Kota Malang, Jawa Timur.
Sebagai catatan, di Kota Malang jumlah hari tanpa hujan pada Oktober 2019 tercatat 30 hari. Sementara pada November 2019, telah teridentifikasi sebanyak 13 hari tanpa hujan, dan menyebabkan Kota Malang terasa panas dan kering.
Mahfuzi menambahkan, dengan kondisi iklim tahun ini yang mengalami anomali, pihaknya mengajak masyarakat untuk bisa menjaga kelestarian lingkungan untuk mengurangi laju perubahan iklim.
"Kampanye sadar lingkungan sejak dini, dapat meminimalkan perubahan iklim ekstrem di masa mendatang," kata Mahfuzi.
Pada pertengahan November 2019, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tengah melaksanakan Teknologi Modifikasi Cuaca pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, yang terletak di Kota Batu, Jawa Timur.
Operasi modifikasi tersebut dilakukan selama 20 hari, hingga awal Desember 2019, yang diharapkan mampu meningkatkan air masuk pada DAS Brantas hulu, dan menambah pasokan air di Waduk Ir. Sutami, di Kabupaten Malang.
Waduk Ir. Sutami dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan air pada sektor pertanian dan industri, termasuk PLTA. Kemarau panjang kali ini, menyebabkan beberapa wilayah di Malang mengalami kekeringan ekstrem, dengan hari tanpa hujan lebih dari 60 hari.
Analis Bencana BPBD Kota Malang Mahfuzi mengatakan bahwa secara keilmuan, penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca bisa dilakukan, yang ditujukan untuk meningkatkan kuantitas curah hujan di suatu wilayah yang mengalami krisis hujan atau cuaca ekstrem.
"Hujan buatan dilakukan jika memang sangat dibutuhkan dalam kondisi tertentu," kata Mahfuzi, di Kota Malang, Jawa Timur, Kamis.
Mahfuzi menjelaskan, penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca tersebut bisa dilakukan untuk mengatasi kebakaran lahan, polusi udara, menurunkan suhu udara, termasuk pengisian debit air di waduk atau sungai.
Untuk wilayah Kota Malang, lanjut Mahfuzi, memasuki minggu ketiga November tanda-tanda musim penghujan belum nampak. Kota Malang hanya diguyur hujan gerimis yang intensitasnya tergolong kecil.
"Cukup banyak yang berharap hujan segera turun. Selain untuk pengisian sumur, dan budidaya pertanian, warga juga berharap hujan dapat mengusir hawa panas dan debu," kata Mahfuzi.
Berdasarkan informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) molornya musim penghujan tersebut diakibatkan rendahnya suhu permukaan laut, jika dibanding kondisi normal pada perairan Indonesia bagian selatan dan barat.
Dampak dari rendahnya suhu permukaan laut tersebut, menyebabkan pembentukan awan berkurang dan musim penghujan belum juga datang, termasuk di Kota Malang, Jawa Timur.
Sebagai catatan, di Kota Malang jumlah hari tanpa hujan pada Oktober 2019 tercatat 30 hari. Sementara pada November 2019, telah teridentifikasi sebanyak 13 hari tanpa hujan, dan menyebabkan Kota Malang terasa panas dan kering.
Mahfuzi menambahkan, dengan kondisi iklim tahun ini yang mengalami anomali, pihaknya mengajak masyarakat untuk bisa menjaga kelestarian lingkungan untuk mengurangi laju perubahan iklim.
"Kampanye sadar lingkungan sejak dini, dapat meminimalkan perubahan iklim ekstrem di masa mendatang," kata Mahfuzi.
Pada pertengahan November 2019, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tengah melaksanakan Teknologi Modifikasi Cuaca pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, yang terletak di Kota Batu, Jawa Timur.
Operasi modifikasi tersebut dilakukan selama 20 hari, hingga awal Desember 2019, yang diharapkan mampu meningkatkan air masuk pada DAS Brantas hulu, dan menambah pasokan air di Waduk Ir. Sutami, di Kabupaten Malang.
Waduk Ir. Sutami dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan air pada sektor pertanian dan industri, termasuk PLTA. Kemarau panjang kali ini, menyebabkan beberapa wilayah di Malang mengalami kekeringan ekstrem, dengan hari tanpa hujan lebih dari 60 hari.
Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019
Tags: