Jakarta (ANTARA) - Bank Indonesia memberi sinyal masih ada ruang pelonggaran kebijakan moneter termasuk melalui instrumen suku bunga acuan dalam beberapa waktu ke depan, dengan mencermati dinamika perekonomian global dan penyesuaian ekonomi domestik.

Gubernur BI Perry Warjiyo dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis, menekankan arah kebijakan Bank Sentral saat ini tetap akomodatif. Sikap akomodatif itu dikatakan Perry setelah Bank Sentral memilih untuk menahan suku bunga acuan "7-Day Reverse Repo Rate" sebesar lima persen pada November 2019.

Untuk "mengkompensasi" penahanan suku bunga acuan itu, Bank Sentral menginjeksi stimulus terhadap perekonomian dengan penurunan Giro Wajib Minimum Rupiah sebanyak 0,5 persen menjadi 5,5 persen di bank umum dan 4,5 persen di bank syariah.

Baca juga: BI pangkas proyeksi pertumbuhan kredit 2019 jadi delapan persen

Relaksasi GWM sebesar 50 basis poin itu, diklaim Perry, akan mengguyur industri perbankan dengan likuiditas sebanyak Rp26 triliun, yang berlaku mulai 2 Januari 2020.

Ke depan, Perry masih membuka ruang relaksasi kebijakan baik melalui instrumen moneter maupun instrumen makroprudensial.

"Ke depan, BI akan mencermati ekonomi global dan domestik dalam memanfaatkan ruang bauran kebijakan akomodatif untuk menjaga jaga inflasi dan stabilitas eksternal serta mendukung momentum pertumbuhan ekonomi. Bentuknya bisa kebijakan moneter, makroprudensial, maupun yang lain-lain," ujar Perry.

GWM adalah rasio dari total dana pihak ketiga perbankan yang harus dipelihara oleh perbankan pada saldo rekening BI. Dengan diturunkannya rasio GWM, maka dana yang disimpan perbankan di BI akan lebih kecil, dan sebaliknya dana yang dapat disalurkan perbankan sebagai kredit ke debitur lebih besar. Dengan penurunan GWM ini, BI berharap kredit dapat tumbuh lebih baik dan dapat mendorong perekonomian.

"Sehingga sampai kuartal I/2020 tentu saja tidak perlu khawatir dana itu ditambah dan siap menyalurkan kredit," kata Perry.

Baca juga: Tahan suku bunga, BI memilih pangkas Giro Wajib Minimum 0,5 persen

Kebijakan akomodatif lanjutan juga dimungkinkan karema fundamental ekonomi domestik terjaga. Hal ini tercermin dari inflasi pada Oktober 2019 yang rendah atau sebesar 3,13 persen (year on year/yoy). Laju inflasi itu menurun dibandingkan dengan inflasi September 2019 sebesar 3,39 persen (yoy).

Hingga akhir 2019, inflasi diperkirakan BI berada di sekitar 3,1 persen.

Inflasi yang rendah, kata Perry, tidak menandakan melemahnya daya beli masyarakat. Sebaliknya, dia berasumsi bahwa inflasi yang relatif terjaga maka akan membuat daya beli masyarakat menguat.

Maka itu, dia optimistis pada kuartal IV 2019 permintaan akan tumbuh besar dan mendorong pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan 2019 mencapai 5,1 persen.

Di sisi eksternal, Perry menjamin pihaknya juga akan mencermati kondisi Neraca Pembayaran sebelum mengeluarkan kebijakan akomodatif. Sejauh ini, arus modal asing masih deras. Hal itu pun turut menopang stabilitas nilai tukar rupiah yang sejak awal tahun sampai dengan 20 November 2019 terapresiasi 2,03 persen (ytd).

"Ke depan, masih ada ruang bauran untuk moneter dan makroprudensial. Kami akan mencermati ke depannya,” ujar Perry.

Sepanjang tahun ini, BI memangkas suku bunga acuan sebesar 100 basis poin dari Juli 2019 hingga Oktober 2019. Namun penurunan suku bunga acuan itu belum ampuh untuk mendorong permintaan. Hal itu terbukti setelah lemahnya permintaan kredit yang membuat pertumbuhan kredit melambat di September 2019 menjadi 7,89 persen dari Agustus 2019 yang sebesar 8,5 persen.