BPPTKG: Letusan Gunung Merapi berpotensi terus terjadi
17 November 2019 20:03 WIB
Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Teknologi (BPPTKG) Yogyakarta, Hanik Humaida mengamati catatan seismograf Gunung Merapi di kantor BPPTKG Yogyakarta. (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko) (.)
Yogyakarta (ANTARA) - Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) menyebutkan letusan Gunung Merapiseperti yang terjadi pada Minggu (17/11) pukul 10.46 WIB masih berpotensi terus terjadi.
"Kejadian letusan semacam ini masih dapat terus terjadi sebagai indikasi bahwa suplai magma dari dapur magma (Gunung Merapi) masih berlangsung," kata Kepala BPPTKG Hanik Humaida melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Minggu.
Menurut Hanik, ancaman bahaya letusan berupa awan panas yang bersumber dari bongkaran material kubah lava dan lontaran material vulkanik masih memiliki jangkauan kurang dari radius 3 kilometer (km) dari puncak Gunung Merapi.
Baca juga: Warga diimbau jauhi radius 3 km dari puncak Merapi setelah erupsi
Jangkauan awan panas itu, menurut dia, diukur berdasarkan volume kubah lava yang sebesar 416.000 meter kubik berdasarkan data drone pada 30 Oktober 2019.
"Masyarakat untuk tetap tenang dan beraktivitas seperti biasa di luar radius 3 km dari puncak Gunung Merapi," kata Hanik.
Baca juga: Gempa tektonik dapat picu peningkatan aktivitas vulkanisme
Hanik menjelaskan bahwa peristiwa letusan yang terjadi pada Minggu (17/11) dengan tinggi kolom 1.000 meter pemicunya masih sama dengan letusan sebelumnya, yakni tekanan akumulasi gas vulkanik.
Sedangkan akumulasi gas itu kemungkinan dipicu adanya sumbat lava yang terangkat ke permukaan Gunung Merapi akibat peningkatan aktivitas Gunung Merapi.
"Adanya aktivitas dari dalam menyebabkan sumbat lava muncul dipermukaan. Dengan adanya sumbat lava kemungkinan gas terakumulasi," kata Hanik saat dihubungi di Yogyakarta, pada Sabtu (9/11).
Baca juga: Merapi keluarkan awan panas letusan setinggi 1.000 meter
Awan panas letusan sebelumnya juga dikeluarkan Gunung Merapi pada Sabtu (9/11) dengan tinggi kolom 1.500 meter. Awan panas letusan itu memiliki amplitudo 65 mm dan durasi 160 detik dengan jarak luncuran diperkirakan sejauh 1.500 meter.
Pasca letusan Merapi pada 9 November 2019 yakni pada 15-16 November 2019 kegempaan kembali meningkat. Seismograf mencatat gempa rata-rata vulkano- tektonik dalam (VTA) 15 kali per hari, dan multiphase (MP) 75 kali per hari.
Kemudian pada tanggal 17 November pukul 00.00-11.00 WIB, BPPTKG mencatat gempa VTA 3 kali, VTB 4 kali, dan MP 16 kali di Gunung Merapi. Peningkatan kegempaan ini diduga mencerminkan akumulasi tekanan gas di bawah permukaan kubah yang berasal dari dapur magma di kedalaman lebih dari 3 km.
Untuk mengantisipasi gangguan abu vulkanik terhadap penerbangan maka VONA (Volcano Observatory Notice for Aviation) diterbitkan dengan kode warna Orange.
Akibat letusan pada Minggu (17/11), hujan abu dilaporkan terjadi di sekitar Gunung Merapi dengan arah dominan ke sektor Barat sejauh 15 km dari puncak yaitu di sekitar wilayah Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Baca juga: Hujan abu tipis guyur dua desa di sekitar Gunung Merapi
"Kejadian letusan semacam ini masih dapat terus terjadi sebagai indikasi bahwa suplai magma dari dapur magma (Gunung Merapi) masih berlangsung," kata Kepala BPPTKG Hanik Humaida melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Minggu.
Menurut Hanik, ancaman bahaya letusan berupa awan panas yang bersumber dari bongkaran material kubah lava dan lontaran material vulkanik masih memiliki jangkauan kurang dari radius 3 kilometer (km) dari puncak Gunung Merapi.
Baca juga: Warga diimbau jauhi radius 3 km dari puncak Merapi setelah erupsi
Jangkauan awan panas itu, menurut dia, diukur berdasarkan volume kubah lava yang sebesar 416.000 meter kubik berdasarkan data drone pada 30 Oktober 2019.
"Masyarakat untuk tetap tenang dan beraktivitas seperti biasa di luar radius 3 km dari puncak Gunung Merapi," kata Hanik.
Baca juga: Gempa tektonik dapat picu peningkatan aktivitas vulkanisme
Hanik menjelaskan bahwa peristiwa letusan yang terjadi pada Minggu (17/11) dengan tinggi kolom 1.000 meter pemicunya masih sama dengan letusan sebelumnya, yakni tekanan akumulasi gas vulkanik.
Sedangkan akumulasi gas itu kemungkinan dipicu adanya sumbat lava yang terangkat ke permukaan Gunung Merapi akibat peningkatan aktivitas Gunung Merapi.
"Adanya aktivitas dari dalam menyebabkan sumbat lava muncul dipermukaan. Dengan adanya sumbat lava kemungkinan gas terakumulasi," kata Hanik saat dihubungi di Yogyakarta, pada Sabtu (9/11).
Baca juga: Merapi keluarkan awan panas letusan setinggi 1.000 meter
Awan panas letusan sebelumnya juga dikeluarkan Gunung Merapi pada Sabtu (9/11) dengan tinggi kolom 1.500 meter. Awan panas letusan itu memiliki amplitudo 65 mm dan durasi 160 detik dengan jarak luncuran diperkirakan sejauh 1.500 meter.
Pasca letusan Merapi pada 9 November 2019 yakni pada 15-16 November 2019 kegempaan kembali meningkat. Seismograf mencatat gempa rata-rata vulkano- tektonik dalam (VTA) 15 kali per hari, dan multiphase (MP) 75 kali per hari.
Kemudian pada tanggal 17 November pukul 00.00-11.00 WIB, BPPTKG mencatat gempa VTA 3 kali, VTB 4 kali, dan MP 16 kali di Gunung Merapi. Peningkatan kegempaan ini diduga mencerminkan akumulasi tekanan gas di bawah permukaan kubah yang berasal dari dapur magma di kedalaman lebih dari 3 km.
Untuk mengantisipasi gangguan abu vulkanik terhadap penerbangan maka VONA (Volcano Observatory Notice for Aviation) diterbitkan dengan kode warna Orange.
Akibat letusan pada Minggu (17/11), hujan abu dilaporkan terjadi di sekitar Gunung Merapi dengan arah dominan ke sektor Barat sejauh 15 km dari puncak yaitu di sekitar wilayah Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Baca juga: Hujan abu tipis guyur dua desa di sekitar Gunung Merapi
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019
Tags: