Jakarta (ANTARA) - Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Benny Susetyo Pr mengharapkan Pancasila dijadikan acuan cara berpikir masyarakat Indonesia untuk melawan intoleransi.

“Jadi, kita harus mengembalikan kembali Pancasila sebagai alat, sebagai ideologi bangsa. Pancasila itu harus menjadi acuan dari cara berpikir, bertindak, bernalar, berelasi semua anak-anak bangsa itu agar tidak terjadi yang namanya intoleransi,” ujar Romo Benny, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu.

Baca juga: Presiden: aset terbesar Indonesia adalah persatuan dan kerukunan

Baca juga: Wapres: Intoleransi, radikalisme harus dihilangkan agar Indonesia maju


Pasca berakhirnya orde baru, bangsa ini telah merayakan kembali kebebasan berekspresi melalui reformasi setelah lama terkungkung dalam dominasi dan hegemoni negara, namun kebebasan yang terjadi justru dimaknai berlebihan oleh sebagian orang.

"Kebebasan berekspresi sejatinya juga menghargai hak dasar orang lain, sedangkan kebebasan yang berlebihan saat ini justru melahirkan intoleransi yang tidak bisa menerima perbedaan itu," kata Romo Benny.

Untuk itu, katanya, Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia tentunya bisa dijadikan sebagai acuan dan senjata ampuh bagi masyarakat Indonesia untuk melawan intoleransi itu.

Dengan memagang teguh pada Pancasila itulah, Benny meminta seluruh elemen masyarakat untuk terus bersatu melawan dan menolak adanya intoleransi yang terjadi di sekitar kita.

Baca juga: Presiden bahas penyelesaian intoleransi dengan Pemuda Pancasila

Intoleransi itu kalau dibiarkan berkembang di masyarakat justru dapat menghancurkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini.

“Masyarakat harus berani menolak penyebaran kebencian yang menyebarkan bibit-bibit permusuhan, yang bisa merusak persatuan bangsa. Biasanya intoleransi itu muncul dari ujaran kebencian. Kalau itu terjadi masyarakat harus melaporkan hal itu kepada pihak berwajib ketika konten-kontennya berisi ujaran kebencian tersebut muncul. Jangan didiamkan,” tutur pria kelahiran Malang 10 Oktober 1968 tersebut.

Lebih lanjut, Benny mengungkapkan bahwa penanaman nilai-nilai Pancasila itu dapat menjadi acuan hidup sehari-hari di masyarakat, dan ini sangat penting untuk menghindarkan bangsa ini dari intoleransi.

“Harus ada pendidikan nilai-nilai Pancasila, baik di dalam pendidikan nilai-nilai sekolah, nilai keluarga, nilai masyarakat. Karena sejatinya itu adalah tradisi yang telah lama ada di masyarakat indonesia, seperti saling respek, kemudian gotong royong serta guyub rukun bersaudara. Jadikan itu sebagai acuan hidup di masyarakat,” jelas Romo Benny.

Oleh karena itu menurut Benny perlu peran serta pemerintah dan pejabat terkait untuk memberikan contoh keteladanan kepada masyarakat dalam menjalankan Pancasila dalam kehidupan sehari-harinya.

Baca juga: Syafii minta pendidikan multikulturalisme tangkal virus intoleransi

“Pejabat publik harus menyerukan bahwa kita ini adalah bangsa yang sejak awal terdiri dari ribuan etnis, suku dan agama serta agama-agama lokal juga. Maka kemudian perlu contoh keteladanan, misalnya kalau kepala daerah mempraktikkannya, maka kepala daerah harus konsisten menjalankan Pancasila itu, dan itu harus dilakukan terus menerus sebagai contoh,” kata anggota Gerakan Suluh Kebangsaan itu.

Selain itu pria yang juga rohaniawan ini juga meminta aparat penegak hukum untuk bertindak tegas dan tidak boleh ragu-ragu dalam menghadapi intoleransi.

Karena hal ini sebagai upaya untuk melindungi masyarakat yang merasa terancam dari adanya ujaran kebencian itu.

Ia memberikan contoh intoleransi itu tentang ancaman yang berkaitan dengan kebebasan masyarakat untuk berkeyakinan dan beragama.

Baca juga: Hasil survei: Pemerintahan Jokowi miliki modal besar atasi intoleransi

“Jadi, ketika ada orang yang melakukan ancaman, intimidasi dan dengan sengaja melarang kebebasan beragama orang lain, polisi harus bertindak karena sudah mengganggu ketertiban umum. Pancasila menjamin setiap orang untuk mengekspresikan keagamaannya, dan negara menjamin setiap orang untuk memeluk agama masing-masing dan itu harus itu dihormati,” kata alumni Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang tahun 1996 ini.

Benny juga mengatakan bahwa perlunya sosialisasi dari pemerintah terkait peraturan-peraturan yang ada, sehingga bisa meminimalisir terjadinya gesekan di masyarakat.

“Misalnya PBM (Peraturan Bersama Menteri) tentang peraturan pendirian rumah ibadat. Itu jelas bahwa yang namanya pendirian rumah ibadat keluarga itu tidak perlu izin. Seperti kasus di Bantul itu (kasus penolakan pendirian gereja) tidak perlu terjadi karena itu ibadat keluarga, bukan ibadat permanen. Yang izin itu ibadat permanen seperti pendirian masjid, gereja, pura dan sebagainya. Tapi kalau orang kebaktian di rumah, itu tidak perlu izin,” tegasnya.

Hal tersebut menurutnya juga tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 29 tentang hak-hak kewarganegaraan untuk bebas beragama.

Masih banyak masyarakat yang tidak tahu mengenai hal tersebut sehingga perlu adanya sosialisasi kembali.

“Harus ada sosialisasi karena itu hak setiap orang untuk berdoa, selamatan, memperingati hari ulang tahun, kematian. Misalnya di Muslim ada kebiasaan tahlilan, kristen punya kebiasaan misa keluarga. Itu tidak ada masalah. Itu hak yang dijamin oleh UUD 1945, yaitu pasal 29 itu,” ujarnya.

Baca juga: Komnas HAM: Intoleransi dipicu dari politik identitas