Jakarta (ANTARA) - Hasil survei kepatuhan pajak yang diselenggarakan oleh Centre for Indonesia Taxation Analysis (CITA) dan Pusat Data dan Analisis Tempo (PDAT) menyebutkan bahwa kesadaran masyarakat Indonesia dalam membayar pajak sudah cukup tinggi.

“Pertanyaannya cukup banyak membutuhkan waktu 15 menit untuk menjawabnya. Oleh karena itu kami berterima kasih karena banyak orang yang mau terlibat untuk menjawab secara sukarela,” kata Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo di Jakarta, Sabtu.

Survei tersebut melibatkan 1.142 responden terdiri dari 929 WP Pribadi dan 213 WP Badan yang 68 persen berasal dari Jawa dan 32 persen luar Jawa serta dilaksanakan melalui online selama September 2019 untuk menggali pandangan wajib pajak tentang kepatuhan,keadilan, dan efisiensi pelayanan pajak.

Baca juga: Ditjen Pajak luncurkan pengawasan kepatuhan berbasis risiko

Dari 928 WP Pribadi tersebut terdiri dari dua persen responden berumur di bawah usia 25 tahun, 25-34 tahun sebanyak 22 persen, 35-44 tahun sebanyak 29 persen, 45-54 tahun sebanyak 25 persen, 55-60 tahun sebanyak 12 persen, dan di atas 60 tahun sebanyak 10 persen.

Sedangkan dari 213 WP Badan terdiri dari delapan persen perusahaan beromset tahunan Rp4 miliar, 72 persen beromset Rp4,01 miliar sampai Rp50 miliar, dan beromset di atas Rp50 miliar sebanyak 20 persen.

Dari hasil survei tersebut menunjukkan tingkat kesadaran membayar pajak sudah cukup tinggi baik di kelompok WP Pribadi maupun Badan yaitu sebesar 90 persen dari total 1.142 responden.

Yustinus mengatakan para responden tersebut mengaku pajak merupakan sebuah kewajiban moral yang penting dalam berwarga negara untuk membantu pemerintah melakukan pembangunan.

Di sisi lain, mengenai transparansi pengelolaan dan pemanfaatan pajak untuk pembangunan justru proporsi yang setuju berkurang yaitu 50 persen untuk responden kelompok WP Pribadi maupun Badan dan 40 persen untuk milenial.

“Jadi masih ada kesenjangan antara kewajiban moral dengan transparansi, tentu ini bukan tugas Dirjen Pajak karena mereka ini mengumpulkan. Nah yang membelanjakan ini tantangan pemerintah pusat maupun daerah,” katanya.

Sementara itu, sebanyak 50 persen responden WP Pribadi menyarankan agar pemerintah melakukan perbaikan ekosistem perpajakan sehingga lebih berkepastian hukum, akuntabel, dan transparan.

Sedangkan sebanyak 35 persen responden WP Badan merekomendasikan agar memanfaatkan pajak demi pembangunan infrastruktur yang dapat dinikmati oleh masyarakat luas.

Tak hanya itu, survei tersebut juga menunjukkan bahwa 75 persen WP Pribadi, 79 persen WP Badan, dan 85 persen kaum milenial mengaku internet merupakan media yang umum digunakan untuk mengetahui aturan atau administrasi pajak.

Selanjutnya, dari 928 responden WP Pribadi sekitar 78 persennya memiliki inisiatif yang cukup tinggi untuk selalu mencari informasi tentang aturan pajak dan 80 persennya sering berkonsultasi dengan pihak yang memahami aturan pajak.

“Kalau untuk WP Badan selain juga kedua hal tersebut, mereka pun punya inisiatif yang tinggi dalam mengalokasikan dana untuk membayar pajak,” katanya.

Bahkan, menurut Yustinus kalangan milenial turut memiliki inisiatif dalam mencari informasi aturan pajak dan berkonsultasi kepada yang lebih memahami perpajakan yaitu dengan proporsi lebih dari 50 persen dari total milenial yang menjadi responden.

Yustinus melanjutkan, sistem politik yang demokratis juga turut menjadi faktor sosial yang berpengaruh dalam pemenuhan pajak yaitu dinyatakan oleh 75 persen dari WP Pribadi, 60 persen WP Badan, serta 69 persen WP kaum milenial.

“Sebagian besar responden yaitu 90 persen juga selalu menghitung besaran pajak dengan benar, melaporkan SPT, membayar pajak tepat waktu, dan bersedia memberikan data apabila diperlukan,” katanya.

Baca juga: DJP: Belum optimal, kepatuhan formal WP lapor SPT
Baca juga: Menkeu: upaya persuasi untuk dorong kepatuhan pajak