Irjen Gatot: Radikalisme menyebar ke milenial lewat internet
15 November 2019 23:39 WIB
Ketua Satgas Nusantara Irjen Pol Gatot Edi Pramono di Jakarta usai menjadi pembicara dalam sebuah diskusi di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Jumat (15/11/2019) (ANTARA News/Fathur Rochman)
Jakarta (ANTARA) - Ketua Satgas Nusantara Irjen Pol Gatot Edi Pramono mengatakan radikalisme menyebar dengan mudah melalui internet dan media sosial menyebabkan kalangan milenial menjadi salah satu kelompok yang rentan terpapar paham tersebut.
"Internet ini dari beberapa penelitian merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi. Bahkan ada yang mengatakan jalan tol berkembangnya paham radikal itu," ujar Gatot dalam sebuah diskusi di Jakarta Pusat, Jumat.
Baca juga: MPR: Indonesia hadapi ancaman radikalisme dan sekularisme
Gatot mencontohkan beberapa bom bunuh diri yang terjadi di Tanah Air, pelakunya belajar membuat bom melalui internet. Tak sedikit dari mereka yang kemudian juga menjadi "pengantin" bom bunuh diri.
"Kita lihat berbagai peristiwa. Lone wolf itu mereka belajar agama tidak menggunakan guru. Dia belajar sendiri kemudian dia bersedia menjadi pengantin. Pengantin itu bom bunuh diri. Itu yang mereka pahami," kata pria yang juga menjabat Kapolda Metro Jaya itu.
Baca juga: Wapres Ma'ruf: Bangun narasi kerukunan untuk cegah radikalisme
Dia mengatakan pengawasan di media sosial dan internet tidak selalu mudah. Dia mencontohkan kelompok seperti ISIS juga menggunakan media sosial yang terenkripsi agar tidak mudah dideteksi aparat.
Oleh karena itu, kata dia, perlu ada upaya untuk menjaga kalangan milenial agar tidak terpapar paham ini. Salah satu cara adalah dengan menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam keseharian mereka.
Baca juga: Setara Institute: pemerintah perlu kerangka kerja atasi radikalisme
Namun, cara menyampaikannya tidak bisa dengan doktrin lama. Menurut Gatot, butuh perlakuan khusus agar milenial bisa menerimanya.
Dia tidak menjelaskan cara seperti apa yang bisa diterima kalangan milenial. Secara garis besar, langkahnya tetap sama seperti kontraradikalisasi dan kontraideologi.
Baca juga: Ormas harus perangi radikalisme
Gatot menegaskan bahwa tugas memerangi radikalisme di kalangan milenial bukan tugas Polri semata. Organisasi masyarakat, akademisi, tokoh agama, dan lainnya juga memiliki peran untuk itu.
"(Kelompok) Islam moderat seperti NU, Muhammadiyah dan banyak lagi itu bisa menyampaikan pencerahan-pencerahan. Kita turun ke tempat mana yang memang sudah kita petakan terjadi potensi kelompok kelompok milenial yang akan terpapar paham radikal tadi," kata Gatot.
Baca juga: Cegah radikalisme, Kemenag: Buku agama harus "ditashih" Kemenag
Gatot berharap kalangan milenial juga ikut memerangi penyebaran paham ini. Dia bercerita pernah menghadiri seminar yang digelar milenial dengan tema menghentikan penyebaran radikalisme.
Menurut dia, kalangan milenial juga harus memiliki kesadaran untuk tidak terpapar paham tersebut.
"Kalau semuanya bangkit, saya kira apa yang namanya radikalisme, apa yang namanya ekstrimisme agama, ini bisa kita minimalisir," ujar Gatot.
"Internet ini dari beberapa penelitian merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi. Bahkan ada yang mengatakan jalan tol berkembangnya paham radikal itu," ujar Gatot dalam sebuah diskusi di Jakarta Pusat, Jumat.
Baca juga: MPR: Indonesia hadapi ancaman radikalisme dan sekularisme
Gatot mencontohkan beberapa bom bunuh diri yang terjadi di Tanah Air, pelakunya belajar membuat bom melalui internet. Tak sedikit dari mereka yang kemudian juga menjadi "pengantin" bom bunuh diri.
"Kita lihat berbagai peristiwa. Lone wolf itu mereka belajar agama tidak menggunakan guru. Dia belajar sendiri kemudian dia bersedia menjadi pengantin. Pengantin itu bom bunuh diri. Itu yang mereka pahami," kata pria yang juga menjabat Kapolda Metro Jaya itu.
Baca juga: Wapres Ma'ruf: Bangun narasi kerukunan untuk cegah radikalisme
Dia mengatakan pengawasan di media sosial dan internet tidak selalu mudah. Dia mencontohkan kelompok seperti ISIS juga menggunakan media sosial yang terenkripsi agar tidak mudah dideteksi aparat.
Oleh karena itu, kata dia, perlu ada upaya untuk menjaga kalangan milenial agar tidak terpapar paham ini. Salah satu cara adalah dengan menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam keseharian mereka.
Baca juga: Setara Institute: pemerintah perlu kerangka kerja atasi radikalisme
Namun, cara menyampaikannya tidak bisa dengan doktrin lama. Menurut Gatot, butuh perlakuan khusus agar milenial bisa menerimanya.
Dia tidak menjelaskan cara seperti apa yang bisa diterima kalangan milenial. Secara garis besar, langkahnya tetap sama seperti kontraradikalisasi dan kontraideologi.
Baca juga: Ormas harus perangi radikalisme
Gatot menegaskan bahwa tugas memerangi radikalisme di kalangan milenial bukan tugas Polri semata. Organisasi masyarakat, akademisi, tokoh agama, dan lainnya juga memiliki peran untuk itu.
"(Kelompok) Islam moderat seperti NU, Muhammadiyah dan banyak lagi itu bisa menyampaikan pencerahan-pencerahan. Kita turun ke tempat mana yang memang sudah kita petakan terjadi potensi kelompok kelompok milenial yang akan terpapar paham radikal tadi," kata Gatot.
Baca juga: Cegah radikalisme, Kemenag: Buku agama harus "ditashih" Kemenag
Gatot berharap kalangan milenial juga ikut memerangi penyebaran paham ini. Dia bercerita pernah menghadiri seminar yang digelar milenial dengan tema menghentikan penyebaran radikalisme.
Menurut dia, kalangan milenial juga harus memiliki kesadaran untuk tidak terpapar paham tersebut.
"Kalau semuanya bangkit, saya kira apa yang namanya radikalisme, apa yang namanya ekstrimisme agama, ini bisa kita minimalisir," ujar Gatot.
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2019
Tags: