Labuhan Bajo, NTT (ANTARA) - Direktur Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan Heru Pambudi memastikan adanya lonjakan penerimaan bea keluar dari nikel mentah sejak adanya kepastian larangan ekspor komoditas tersebut mulai Januari 2020.

"Realisasi mulai melonjak pada September atau sejak adanya moratorium," ujar Heru dalam temu media di Labuhan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Rabu.

Heru menjelaskan penerimaan nikel hingga 31 Oktober 2019 sudah mencapai Rp1,1 triliun atau meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan penerimaan nikel sepanjang tahun 2018 sebesar Rp659 miliar.

Baca juga: Realisasi penerimaan bea cukai capai Rp165,46 triliun

Sejak rencana pelarangan tersebut muncul, tercatat penerimaan nikel pada September mencapai Rp170 miliar dan pada Oktober sebesar Rp300 miliar.

Realisasi itu mengalami pertumbuhan drastis dibandingkan periode sama tahun lalu yaitu 191 persen pada September dan 298 persen pada Oktober.

Dalam periode September-Oktober ini, otoritas bea cukai juga melakukan verifikasi terhadap perusahaan yang diduga melakukan pelanggaran terkait ekspor nikel.

Baca juga: Realisasi bea dan cukai hingga Oktober 2019 baru 74,3 persen

Namun, ia memastikan sembilan perusahaan tidak terbukti melakukan pelanggaran dan dua perusahaan masih memerlukan pendalaman lebih lanjut.

"Bea cukai sebagai eksekutor di lapangan akan melayani perusahaan yang memenuhi ketentuan, tapi kita juga melakukan verifikasi mendalam secara kolaboratif mengenai keputusan ekspor," ujarnya.

Sebelumnya, pemerintah pada awal September 2019 memutuskan untuk melarang ekspor bijih nikel mentah mulai Januari 2020.

Kebijakann ini dilakukan mengingat cadangan dalam negeri mulai menipis, padahal pembangunan smelter nikel lokal semakin banyak.

Pelarangan ini ditetapkan dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019.

Baca juga: Dirjen BC pastikan kebijakan reekspor limbah berbahaya sesuai aturan