Pengamat nilai revisi PKPU soal koruptor langgar hierarki hukum
13 November 2019 19:14 WIB
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Margarito Kamis (pertama kanan), Pengamat Politik Voxpol Center Pangi Syarwi (kedua kanan), dan anggota Komisi II DPR RI Hugua (tengah) berfoto bersama usai diskusi publik yang digelar Indonesian Public Institute (IPI) di Jakarta, Rabu. (ANTARA/ Abdu Faisal) (ANTARA/ Abdu Faisal)
Jakarta (ANTARA) - Larangan narapidana koruptor mencalonkan diri pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang diajukan KPU dalam revisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) melanggar hierarki hukum perundang-undangan, kata Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo.
Hal itu disampaikan Karyono dalam diskusi publik yang digelar IPI bersama pembicara pakar hukum tata negara Universitas Indonesia (UI) Margarito Kamis, anggota Komisi II DPR RI Hugua, dan pengamat politik Voxpol Center Pangi Syarwi di Jakarta, Rabu.
Baca juga: PKPU larangan koruptor maju pilkada masih digodok
“KPU kan sudah tahu kalau mantan napi korupsi dibolehkan maju dalam Pilkada sejauh mengumumkan dirinya narapidana koruptor, dan sejauh hak politiknya tidak dicabut di pengadilan. Tapi kenapa KPU terus memasukkan pasal pelarangan tersebut?” kata Karyono.
Menurut dia, seharusnya KPU memperhatikan Keputusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebelum mengeluarkan peraturan teknis pelaksanaan pemilu (PKPU) yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945.
Baca juga: Fraksi PPP: KPU hati-hati susun PKPU terkait Pilkada
“KPU bilang, kalau ini dibatalkan lagi, maka KPU akan memasukkan (aturan itu) lagi dalam Pemilu 2024. Apa supaya dilihat bersih atau sekadar mencari popularitas atau ada agenda lain?” katanya.
Senada dengan Karyono, pengamat politik dari Voxpol Center Pangi Syarwi menilai aturan pelarangan narapidana koruptor berkompetisi dalam pemilu seharusnya diwujudkan dalam produk undang-undang.
Baca juga: KPU gelar uji publik rancangan PKPU Pilkada 2020
“Kalau mau keren, bikin lah undang-undangnya. Jangan hanya peraturan. Bagaimana ceritanya Peraturan KPU bisa mengalahkan undang-undang, mengalahkan Keputusan MK?” kata Pangi.
Berbicara mengenai kedudukan PKPU dalam hierarki perundang-undangan, pakar hukum tata negara UI Margarito Kamis mengatakan, PKPU berkedudukan setara dengan Peraturan Menteri (Permen).
Baca juga: PKPU Pilkada larang mabuk hingga judi, Bawaslu: Harus ada parameternya
“Level PKPU di bawah PP setara Permen. Sistem hukum kita kan hierarkis. Norma PKPU tidak boleh bertentangan dengan UU. Aturan di bawah tidak boleh bertentangan dengan aturan di atasnya,” ujar Margarito.
Ia mengatakan desakan membentuk Undang-Undang seharusnya bukan ada di wilayah KPU namun ada di DPR dan Pemerintah.
Baca juga: DPR: aturan belum memungkinkan larang eks koruptor maju pilkada
“KPU bukan organisasi yang bisa membuat undang-undang,” ujar dia.
Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Hugua mengatakan revisi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada tidak bisa dilakukan dengan singkat. Apalagi sekarang, proses pendaftaran diri untuk Pilkada 2020 sedang dilaksanakan.
“(Proses) tahapan pilkada ini kan sudah dimulai, perekrutan partai politik kan sudah dimulai sekarang. Oleh karena itu setelah kami hitung, membuat UU itu memerlukan waktu yang cukup luas," katanya.
Ia mengatakan jika suatu perubahan undang-undang dilakukan terburu-buru maka akan timbul lagi penolakan seperti RUU Pertanahan, RKUHP, dan UU KPK.
“Jangan sampai berulang ini barang belum matang terus kami bikin undang-undangnya,” ujar dia.
Hal itu disampaikan Karyono dalam diskusi publik yang digelar IPI bersama pembicara pakar hukum tata negara Universitas Indonesia (UI) Margarito Kamis, anggota Komisi II DPR RI Hugua, dan pengamat politik Voxpol Center Pangi Syarwi di Jakarta, Rabu.
Baca juga: PKPU larangan koruptor maju pilkada masih digodok
“KPU kan sudah tahu kalau mantan napi korupsi dibolehkan maju dalam Pilkada sejauh mengumumkan dirinya narapidana koruptor, dan sejauh hak politiknya tidak dicabut di pengadilan. Tapi kenapa KPU terus memasukkan pasal pelarangan tersebut?” kata Karyono.
Menurut dia, seharusnya KPU memperhatikan Keputusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebelum mengeluarkan peraturan teknis pelaksanaan pemilu (PKPU) yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945.
Baca juga: Fraksi PPP: KPU hati-hati susun PKPU terkait Pilkada
“KPU bilang, kalau ini dibatalkan lagi, maka KPU akan memasukkan (aturan itu) lagi dalam Pemilu 2024. Apa supaya dilihat bersih atau sekadar mencari popularitas atau ada agenda lain?” katanya.
Senada dengan Karyono, pengamat politik dari Voxpol Center Pangi Syarwi menilai aturan pelarangan narapidana koruptor berkompetisi dalam pemilu seharusnya diwujudkan dalam produk undang-undang.
Baca juga: KPU gelar uji publik rancangan PKPU Pilkada 2020
“Kalau mau keren, bikin lah undang-undangnya. Jangan hanya peraturan. Bagaimana ceritanya Peraturan KPU bisa mengalahkan undang-undang, mengalahkan Keputusan MK?” kata Pangi.
Berbicara mengenai kedudukan PKPU dalam hierarki perundang-undangan, pakar hukum tata negara UI Margarito Kamis mengatakan, PKPU berkedudukan setara dengan Peraturan Menteri (Permen).
Baca juga: PKPU Pilkada larang mabuk hingga judi, Bawaslu: Harus ada parameternya
“Level PKPU di bawah PP setara Permen. Sistem hukum kita kan hierarkis. Norma PKPU tidak boleh bertentangan dengan UU. Aturan di bawah tidak boleh bertentangan dengan aturan di atasnya,” ujar Margarito.
Ia mengatakan desakan membentuk Undang-Undang seharusnya bukan ada di wilayah KPU namun ada di DPR dan Pemerintah.
Baca juga: DPR: aturan belum memungkinkan larang eks koruptor maju pilkada
“KPU bukan organisasi yang bisa membuat undang-undang,” ujar dia.
Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Hugua mengatakan revisi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada tidak bisa dilakukan dengan singkat. Apalagi sekarang, proses pendaftaran diri untuk Pilkada 2020 sedang dilaksanakan.
“(Proses) tahapan pilkada ini kan sudah dimulai, perekrutan partai politik kan sudah dimulai sekarang. Oleh karena itu setelah kami hitung, membuat UU itu memerlukan waktu yang cukup luas," katanya.
Ia mengatakan jika suatu perubahan undang-undang dilakukan terburu-buru maka akan timbul lagi penolakan seperti RUU Pertanahan, RKUHP, dan UU KPK.
“Jangan sampai berulang ini barang belum matang terus kami bikin undang-undangnya,” ujar dia.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2019
Tags: