Jakarta (ANTARA) - Diplomasi lingkungan hidup pemerintah Indonesia akan diarahkan untuk mendukung diplomasi ekonomi, yang menjadi salah satu prioritas kebijakan luar negeri RI.

Sesuai dengan visi dan misi Presiden Joko Widodo untuk periode 2019-2024, maka seluruh perangkat dan kekuatan pemerintah akan difokuskan untuk pembangunan ekonomi Indonesia, dan tidak terbatas pada kebijakan luar negeri.

“Namun, hal ini tidak berarti diplomasi lingkungan hidup kemudian menjadi nomor dua. Bahkan sebaliknya, diplomasi lingkungan hidup menjadi salah satu pendukung diplomasi ekonomi,” kata Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Febrian Alphyanto Ruddyard dalam forum bertajuk “Curah Gagasan: Diplomasi Lingkungan Hidup Indonesia” di Jakarta, Rabu.

Baca juga: Mahendra: Rendahnya pertumbuhan dunia alasan diplomasi ekonomi penting

Hal tersebut, sesuai dengan upaya pencapaian Agenda 2030 untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dimana keseimbangan dan sinergi harus terus terjaga antara pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.

“Pada praktiknya, kerap kali negara-negara maju hanya mendorong isu lingkungan hidup tanpa mengindahkan kedua pilar lainnya,” ujar Febrian.

Dalam konteks ini, diplomasi lingkungan hidup Indonesia harus bisa memastikan bahwa dalam memperjuangkan kepentingannya, dimensi ekonomi atau room to grow tetap ada untuk negara berkembang.

Baca juga: Menkeu: Potensi pengelolaan dana lingkungan hidup capai Rp800 triliun

Menurut Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sarwono Kusumaatmadja, diplomasi lingkungan hidup memang harus terintegrasi dengan aspek ekonomi dan sosial sebagai perpaduan yang tidak bisa terpisahkan.

Salah satu praktik yang bisa diterapkan dalam konteks ini adalah jual beli komoditas dengan menggunakan standar lingkungan yang jelas dan bisa diterima semua pihak, misalnya sertifikat FLEGT untuk produk kayu atau sertifikat RSPO untuk produk sawit.

Dengan mengimplementasikan praktik ini, diharapkan isu seperti kampanye hitam terhadap produk sawit, misalnya, bisa diminimalisasi.

“Sehingga akhirnya saling tuduh bahwa suatu produk itu melanggar kaidah lingkungan (bisa dilihat sebagai) bagian dari persaingan,” kata Sarwono.

Baca juga: Menteri LHK: PR mulai sampah limbah hingga "tailing" Freeport

Pada 2019, profil diplomasi lingkungan hidup mendapat perhatian yang cukup penting, diawali oleh forum global UNEA-4 yang kemudian dilanjutkan dengan beberapa High Level/Conference of Parties (COP) berbagai konvensi, diantaranya Konvensi Basel, Konvensi Rotterdam, Konvensi Stockholm, CITES, UNCCD, UNHABITAT, dan diakhiri dengan UNFCCC.

Menjelang Konferensi Perubahan Iklim (COP25) di Madrid, Spanyol, 2-13 Desember 2019, Indonesia akan membawa isu perubahan iklim, sampah, ekonomi sirkular, upaya mitigasi deforestasi dan degradasi hutan serta gambut.