Harga nikel untuk pasar domestik disepakati 30 dolar per metrik ton
12 November 2019 20:46 WIB
Sekjen Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I) Haykal Hubeis, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertambangan Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey, Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, CEO Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Alexander Barus (kiri-kanan). (ANTARA/Ade Irma Junida)
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah dan pengusaha sepakat untuk menetapkan harga jual nikel untuk diserap di dalam negeri sebesar 30 dolar AS per metrik ton sebagai jawaban atas keluarnya larangan ekspor bijih (ore) nikel karena sejumlah pelanggaran.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa petang, mengatakan kesepakatan itu didapat dari rapat yang berlangsung panas dengan para pengusaha smelter dan penambang nikel.
"Kesepakatan bahwa harga ore (bijih) yang diterima oleh teman-teman smelter harganya adalah harga internasional dikurangi transhipment dan pajak, kurang lebih maksimal 30 dolar AS per metrik ton, dan itu semua sepakat, tidak ada yang tidak sepakat," kata Bahlil.
Menurut Bahlil, kesepakatan harga itu berlaku untuk bijih nikel berkadar di bawah 1,7 persen hingga 31 Desember 2019 sebelum larangan ekspor benar-benar diimplementasikan per 1 Januari 2020.
Untuk 2020, Bahlil mengatakan pemerintah akan melakukan kaji ulang atas penetapan harga bijih nikel dalam negeri yang baru.
"Batasnya hanya sampai 31 Desember 2019. Kalau 1 Januari 2020 nanti lain lagi, ini darurat," katanya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertambangan Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengaku setuju dengan kesepakatan itu sebagai upaya mendukung program pemerintah soal hilirisasi.
"Jangan semua jual tanah dan air, tapi tolong jangan juga kami penambang terlalu ditekan sehingga bagaimana kami mau dukung hilirisasi kalau kami sendiri tidak terbantu," kata Meidy.
Sementara itu, Sekjen Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I) Haykal Hubeis juga menyetujui kesepakatan tersebut dan akan berupaya untuk melaksanakan kesepakatan.
Dari 37 perusahaan yang mengantongi izin ekspor, sembilan perusahaan telah lolos verifikasi ekspor, dua perusahaan masih dalam proses verifikasi dan sisa 26 perusahaan kemungkinan akan menjual nikelnya di dalam negeri dengan ketentuan harga tadi.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa petang, mengatakan kesepakatan itu didapat dari rapat yang berlangsung panas dengan para pengusaha smelter dan penambang nikel.
"Kesepakatan bahwa harga ore (bijih) yang diterima oleh teman-teman smelter harganya adalah harga internasional dikurangi transhipment dan pajak, kurang lebih maksimal 30 dolar AS per metrik ton, dan itu semua sepakat, tidak ada yang tidak sepakat," kata Bahlil.
Menurut Bahlil, kesepakatan harga itu berlaku untuk bijih nikel berkadar di bawah 1,7 persen hingga 31 Desember 2019 sebelum larangan ekspor benar-benar diimplementasikan per 1 Januari 2020.
Untuk 2020, Bahlil mengatakan pemerintah akan melakukan kaji ulang atas penetapan harga bijih nikel dalam negeri yang baru.
"Batasnya hanya sampai 31 Desember 2019. Kalau 1 Januari 2020 nanti lain lagi, ini darurat," katanya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertambangan Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengaku setuju dengan kesepakatan itu sebagai upaya mendukung program pemerintah soal hilirisasi.
"Jangan semua jual tanah dan air, tapi tolong jangan juga kami penambang terlalu ditekan sehingga bagaimana kami mau dukung hilirisasi kalau kami sendiri tidak terbantu," kata Meidy.
Sementara itu, Sekjen Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I) Haykal Hubeis juga menyetujui kesepakatan tersebut dan akan berupaya untuk melaksanakan kesepakatan.
Dari 37 perusahaan yang mengantongi izin ekspor, sembilan perusahaan telah lolos verifikasi ekspor, dua perusahaan masih dalam proses verifikasi dan sisa 26 perusahaan kemungkinan akan menjual nikelnya di dalam negeri dengan ketentuan harga tadi.
Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2019
Tags: