Kiara nilai sertifikasi nelayan lebih berorientasi probisnis
12 November 2019 20:16 WIB
SERTIFIKAT KESELAMATAN UNTUK MELAUT Nelayan beraktivitas di kapal yang bersandar, di Pelabuhan Ikan Muara Angke, Jakarta, ANTARA FOTO/Aprillio Akbar. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar)
Jakarta (ANTARA) - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menilai bahwa rencana sertifikasi terhadap nelayan yang direncanakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dinilai lebih berorientasi dan berpihak kepada kepentingan bisnis semata.
"Kiara meminta KKP untuk membatalkan rencana sertifikasi nelayan dan sekaligus meninjau ulang CBIB serta berbagai sertifikasi lainnya yang hanya berorientasi pasar semata," kata Sekjen Kiara, Susan Herawati, di Jakarta, Selasa.
Menurut Susan Herawati, masyarakat bahari, khususnya nelayan skala kecil atau nelayan tradisional, nelayan yang menggunakan kapal di bawah 10 GT, tidak membutuhkan sertifikasi untuk menjelaskan identitas sebagai seorang nelayan.
Selain itu, sertifikasi dinilai Kiara hanya akan mempersulit kehidupan nelayan skala kecil atau nelayan tradisional, yang merupakan mayoritas pelaku perikanan di Indonesia.
"Kami mempertanyakan landasan hukum rencana sertifikasi nelayan, khususnya nelayan skala kecil dan nelayan tradisional," kata Susan.
Sedangkan terkait dengan sertifikasi Cara Berbudidaya Ikan yang Baik (CBIB), ia menyatakan bahwa sertifikasi memiliki kelemahan yang paling mendasar, yaitu tidak adanya aspek perlindungan hak asasi manusia, aspek lingkungan hidup secara komprehensif dan aspek keadilan gender, karena CBIB hanya mengatur urusan teknis budidaya.
Ia berpendapat bahwa dalam praktiknya CBIB dianggap telah gagal melindungi pembudidaya ikan dari praktik pelanggaran HAM sebagaimana terjadi di pertambakan udang Bumi Dipasena, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung.
"Sejak tahun 2015, kami telah melakukan kajian terhadap CBIB. Perlu dilakukan evaluasi terhadap sertifikasi ini. Isinya hanya mengatur teknis budidaya semata," tegasnya.
Sebagaimana diwartakan, nelayan kecil yang masih menangkap dengan cara-cara tradisional di berbagai daerah perlu untuk mendapatkan asuransi seumur hidup dengan jaminan yang ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah.
"Perlindungan bagi nelayan kecil mesti ditingkatkan dengan memberikan asuransi seumur hidup bagi nelayan kecil," kata Ketua Harian Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo) Moh Abdi Suhufan di Jakarta, Senin (11/11).
Menurut Abdi Suhufan, saat ini untuk program asuransi nelayan, maka hanya satu tahun yang ditanggung pemerintah.
Sedangkan untuk meningkatkan kualitas dan jangkauan program asuransi, lanjutnya, maka Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga mesti memperbaiki pendataan dan kualitas data.
Hal yang dinilai dapat dibenahi dalam pendataan antara lain adalah terkait jumlah serta sebaran nelayan kecil yang mau disusur oleh program asuransi tersebut.
Sebelumnya, KKP telah meminta kepada pengusaha perikanan untuk benar-benar mematuhi aturan terkait asuransi nelayan bagi anak buah kapal (ABK) yang bekerja di kapal perikanan milik para pengusaha tersebut.
"Saya meminta kepada pengusaha untuk mematuhi soal ini," kata Dirjen Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar.
"Kiara meminta KKP untuk membatalkan rencana sertifikasi nelayan dan sekaligus meninjau ulang CBIB serta berbagai sertifikasi lainnya yang hanya berorientasi pasar semata," kata Sekjen Kiara, Susan Herawati, di Jakarta, Selasa.
Menurut Susan Herawati, masyarakat bahari, khususnya nelayan skala kecil atau nelayan tradisional, nelayan yang menggunakan kapal di bawah 10 GT, tidak membutuhkan sertifikasi untuk menjelaskan identitas sebagai seorang nelayan.
Selain itu, sertifikasi dinilai Kiara hanya akan mempersulit kehidupan nelayan skala kecil atau nelayan tradisional, yang merupakan mayoritas pelaku perikanan di Indonesia.
"Kami mempertanyakan landasan hukum rencana sertifikasi nelayan, khususnya nelayan skala kecil dan nelayan tradisional," kata Susan.
Sedangkan terkait dengan sertifikasi Cara Berbudidaya Ikan yang Baik (CBIB), ia menyatakan bahwa sertifikasi memiliki kelemahan yang paling mendasar, yaitu tidak adanya aspek perlindungan hak asasi manusia, aspek lingkungan hidup secara komprehensif dan aspek keadilan gender, karena CBIB hanya mengatur urusan teknis budidaya.
Ia berpendapat bahwa dalam praktiknya CBIB dianggap telah gagal melindungi pembudidaya ikan dari praktik pelanggaran HAM sebagaimana terjadi di pertambakan udang Bumi Dipasena, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung.
"Sejak tahun 2015, kami telah melakukan kajian terhadap CBIB. Perlu dilakukan evaluasi terhadap sertifikasi ini. Isinya hanya mengatur teknis budidaya semata," tegasnya.
Sebagaimana diwartakan, nelayan kecil yang masih menangkap dengan cara-cara tradisional di berbagai daerah perlu untuk mendapatkan asuransi seumur hidup dengan jaminan yang ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah.
"Perlindungan bagi nelayan kecil mesti ditingkatkan dengan memberikan asuransi seumur hidup bagi nelayan kecil," kata Ketua Harian Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo) Moh Abdi Suhufan di Jakarta, Senin (11/11).
Menurut Abdi Suhufan, saat ini untuk program asuransi nelayan, maka hanya satu tahun yang ditanggung pemerintah.
Sedangkan untuk meningkatkan kualitas dan jangkauan program asuransi, lanjutnya, maka Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga mesti memperbaiki pendataan dan kualitas data.
Hal yang dinilai dapat dibenahi dalam pendataan antara lain adalah terkait jumlah serta sebaran nelayan kecil yang mau disusur oleh program asuransi tersebut.
Sebelumnya, KKP telah meminta kepada pengusaha perikanan untuk benar-benar mematuhi aturan terkait asuransi nelayan bagi anak buah kapal (ABK) yang bekerja di kapal perikanan milik para pengusaha tersebut.
"Saya meminta kepada pengusaha untuk mematuhi soal ini," kata Dirjen Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2019
Tags: