Peneliti katakan perlu tinjau ulang skema distribusi pupuk bersubsidi
12 November 2019 13:37 WIB
ILUSTRASI: Seorang petani di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, menaburkan pupuk ke tanaman padi. ANTARA/Akhmad Nazaruddin Lathif.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania menyatakan, pemerintah perlu meninjau ulang skema distribusi pupuk bersubsidi karena permasalahan tersebut dicemaskan dapat mengganggu produktivitas sektor pertanian nasional.
"Masalah pada distribusi pupuk bersubsidi ini tidak jarang membuat pupuk bersubsidi tidak tersedia pada saat petani membutuhkan pupuk," kata Galuh Octania di Jakarta, Selasa.
Menurut Galuh, hal itu membuat petani kesulitan karena mereka tidak memiliki pilihan lain. Mau tidak mau akhirnya petani menggunakan pupuk nonsubsidi yang harganya berbeda cukup jauh dengan pupuk subsidi.
Ia memaparkan, beberapa masalah yang sering dialami pada pupuk bersubsidi antara lain adalah kelangkaan, terlambatnya distribusi pupuk dan subsidi tidak tepat sasaran.
Masalah-masalah tersebut, lanjutnya, dinilai dapat menyebabkan hasil panen tidak maksimal dan menghambat produktivitas petani.
Ia mengungkapkan, pupuk bersubsidi memiliki harga yang jauh lebih murah dibandingkan pupuk nonsubsidi. Saat ini harga pupuk bersubsidi, baik Urea, NPK dan merk lainnya sekitar Rp2.000 per kilogram, sedangkan harga pupuk non subsidi berkisar antara Rp8.000 hingga Rp12.000 per kilogram.
Perbedaan harga yang sangat tinggi ini, masih menurut dia, terjadi dikarenakan pupuk nonsubsidi, terutama yang diproduksi oleh perusahaan, merupakan produk impor.
"Perbedaan harga ini membuat pilihan petani menjadi semakin terbatas. Petani yang punya modal besar kemungkinan besar akan sanggup membeli pupuk nonsubsidi. Sementara mereka yang tidak memiliki modal atau hanya bermodal seadanya akan kesulitan membeli pupuk nonsubsidi dikarenakan harganya yang tidak terjangkau bagi mereka. Pupuk yang disubsidi pemerintah saat ini diproduksi oleh perusahaan BUMN," ucapnya.
Galuh menyarankan perlunya ada perubahan pada skema subsidi pupuk agar tidak terpaku pada subsidi produk tertentu, di mana subsidi dapat dialihkan kepada petani melalui kartu tani.
Kartu tani, ujar dia, dapat digunakan untuk membelanjakan pupuk yang selama ini termasuk dalam kategori pupuk non subsidi dengan subsidi yang di kartu tani tersebut.
Dengan subsidi dialihkan ke kartu tani, petani dapat membeli pupuk dari produsen swasta dengan potongan harga dari subsidi pada kartu tani tersebut.
"Penerapan skema ini diharapkan bisa mengurangi ketergantungan petani terhadap pupuk subsidi buatan perusahaan pupuk BUMN. Para petani dapat memiliki alternatif selain produk-produk subsidi buatan perusahaan pupuk BUMN untuk memenuhi kebutuhan pupuknya. Skema ini juga dapat memberikan kebebasan petani untuk membeli saprotan (sarana produksi pertanian) yang sesuai dengan kebutuhan mereka," papar Galuh.
Baca juga: Anggota DPR ingin pemerintah atasi persoalan distribusi pupuk subsidi
Baca juga: Jelang musim tanam, diserukan penyaluran pupuk harus tepat sasaran
"Masalah pada distribusi pupuk bersubsidi ini tidak jarang membuat pupuk bersubsidi tidak tersedia pada saat petani membutuhkan pupuk," kata Galuh Octania di Jakarta, Selasa.
Menurut Galuh, hal itu membuat petani kesulitan karena mereka tidak memiliki pilihan lain. Mau tidak mau akhirnya petani menggunakan pupuk nonsubsidi yang harganya berbeda cukup jauh dengan pupuk subsidi.
Ia memaparkan, beberapa masalah yang sering dialami pada pupuk bersubsidi antara lain adalah kelangkaan, terlambatnya distribusi pupuk dan subsidi tidak tepat sasaran.
Masalah-masalah tersebut, lanjutnya, dinilai dapat menyebabkan hasil panen tidak maksimal dan menghambat produktivitas petani.
Ia mengungkapkan, pupuk bersubsidi memiliki harga yang jauh lebih murah dibandingkan pupuk nonsubsidi. Saat ini harga pupuk bersubsidi, baik Urea, NPK dan merk lainnya sekitar Rp2.000 per kilogram, sedangkan harga pupuk non subsidi berkisar antara Rp8.000 hingga Rp12.000 per kilogram.
Perbedaan harga yang sangat tinggi ini, masih menurut dia, terjadi dikarenakan pupuk nonsubsidi, terutama yang diproduksi oleh perusahaan, merupakan produk impor.
"Perbedaan harga ini membuat pilihan petani menjadi semakin terbatas. Petani yang punya modal besar kemungkinan besar akan sanggup membeli pupuk nonsubsidi. Sementara mereka yang tidak memiliki modal atau hanya bermodal seadanya akan kesulitan membeli pupuk nonsubsidi dikarenakan harganya yang tidak terjangkau bagi mereka. Pupuk yang disubsidi pemerintah saat ini diproduksi oleh perusahaan BUMN," ucapnya.
Galuh menyarankan perlunya ada perubahan pada skema subsidi pupuk agar tidak terpaku pada subsidi produk tertentu, di mana subsidi dapat dialihkan kepada petani melalui kartu tani.
Kartu tani, ujar dia, dapat digunakan untuk membelanjakan pupuk yang selama ini termasuk dalam kategori pupuk non subsidi dengan subsidi yang di kartu tani tersebut.
Dengan subsidi dialihkan ke kartu tani, petani dapat membeli pupuk dari produsen swasta dengan potongan harga dari subsidi pada kartu tani tersebut.
"Penerapan skema ini diharapkan bisa mengurangi ketergantungan petani terhadap pupuk subsidi buatan perusahaan pupuk BUMN. Para petani dapat memiliki alternatif selain produk-produk subsidi buatan perusahaan pupuk BUMN untuk memenuhi kebutuhan pupuknya. Skema ini juga dapat memberikan kebebasan petani untuk membeli saprotan (sarana produksi pertanian) yang sesuai dengan kebutuhan mereka," papar Galuh.
Baca juga: Anggota DPR ingin pemerintah atasi persoalan distribusi pupuk subsidi
Baca juga: Jelang musim tanam, diserukan penyaluran pupuk harus tepat sasaran
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2019
Tags: