Jakarta (ANTARA) - Pengamat politik Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Ahmad Khoirul Umam menilai Partai Gelombang Rakyat (Gelora)Indonesia mau tidak mau harus dapat membedakan diri dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

"Harus membedakan diri baik dari aspek karakter pergerakan, identitas ideologis, visi-misi, dan platform kepartaian, hingga kelangsungan logistik," kata Managing Director PPPI itu lewat keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Baca juga: Pengamat: Empat modal yang dibutuhkan Gelora, parpol sempalan PKS

Pendirian Partai Gelora Indonesia itu sendiri diketahui kini masih dalam proses administrasi pengurusan badan hukum. Namun, Khoirul menilai sepak terjang partai hasil eksperimen politik mantan elit PKS, seperti Anis Matta dan Fahri Hamzah patut untuk dicermati.

Di internal PKS sejak lama, sudah tampak dari idiomnya, ada orientasi dan arah perilaku politik yang berbeda terbagi menjadi dua faksi, yaitu 'faksi keadilan' yang dianggap lebih ideologis dan 'faksi kesejahteraan' yang lebih berorientasi ekonomi.

"Anis Matta dan Fahri Hamzah identik sebagai 'faksi kesejahteraan', sedangkan senior-senior seperti Hidayat Nur Wahid identik dengan 'faksi keadilan'. Itu hanya permainan idiom saja. Langkah perilaku politik mereka ke depan yang akan mengonfirmasi di bagian mana mereka berposisi," kata Khoirul.

Baca juga: Pengamat: Anis Matta-Fahri Hamzah di Partai Gelora tak pengaruhi PKS

Kemampuan Partai Gelora Indonesia membedakan diri dari partai 'induknya' akan menentukan kemampuan mereka bertahan dan lolos ambang batas parlemen (parliamentary thresshold) pada Pemilihan umum 2024.

"Tapi kalau (Partai) Gelora hanya menduplikasi apa yang dilakukan PKS, kecil kemungkinan mereka bisa bertahan. Karena ceruk massa dan logistik mereka akan disedot oleh partai 'induknya' sendiri," ujar Dosen Ilmu Politik di Universitas Paramadina itu.

Baca juga: Fahri bentuk Partai Gelora, ditargetkan ikut Pilkada 2020

Baca juga: Syamsuddin Haris: Partai Gelora tidak bisa ikut Pilkada 2020