Pengamat imbau menteri Jokowi tak gaduh di ruang publik
8 November 2019 23:08 WIB
Profil penduduk desa di Sulawesi Tenggara. Foto menunjukkan Darmayanti bersama tiga orang anak yang belum pernah mendapatkan bantuan apapun dari Dana Desa. Darmayanti berdiri di pintu rumahnya di Desa Andobeu Jaya, Kecamatan Anggomoare, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, Kamis (7/11/2019). ANTARA FOTO/Jojon
Jakarta (ANTARA) - Pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, mengimbau menteri-menteri kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak saling gaduh di ruang publik.
Hal itu diungkapkan menyusul beda pandangan terkait "desa fiktif" antara Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar.
"Dua pandangan yang sangat berseberangan ini sejatinya diungkapkan dan dibahas tuntas dalam rapat internal kabinet," ujar Sihombing, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, bila terdapat perbedaan pandangan di antara menteri-menteri Jokowi, hal itu sebaiknya dibicarakan dalam fora internal, di antaranya pada rapat kabinet paripurna yang dipimpin presiden, rapat kabinet terbatas yang dipimpin wakil presiden, ataupun rapat kabinet khusus yang dipimpin menteri koordinator terkait.
"Di dalam rapat kabinet inilah mereka berdua adu fakta, data, bukti, landasan hukum yang terkait, argumentasi dan bila diperlukan saling mengemukakan dalil untuk membuat kesepakatan dan atau keputusan sebagai landasan kedua menteri tersebut dalam berwacana di ruang publik," kata dia.
Juga baca: Terkait desa fiktif, FITRA minta Kemendes verifikasi ulang desa
Juga baca: Menteri Desa: Tidak ada desa fiktif
Juga baca: Pemerintah salurkan Rp42,2 triliun dana desa per Agustus 2019
Juga baca: Menkeu: Realisasi dana desa sedikit lebih rendah
Sihombing mengatakan tidak sepatutnya dua menteri beradu argumen di ruang publik, mengingat keduanya berada dalam satu "perahu" yang sama, yakni Kabinet Indonesia Maju.
Lebih lanjut dia mengatakan persoalan antara Mulyani dan Iskandar sudah terlanjur mengemuka, sehingga keduanya harus dapat mempertanggungjawabkan hal tersebut ke publik.
"Jika dua pandangan yang berbeda tersebut ada kecocokan fakta, data dan bukti, hanya yang berbeda dari sudut pandang saja, ini lebih mudah melakukan klarifikasi di ruang publik," kata dia.
"Lain halnya bila ditemukan ada perbedaan data, fakta, dan bukti yang sangat signifikan, maka perlu dilakukan uji validitas secara menyeluruh terhadap sajian lontaran pernyataan dari dua menteri tersebut," sambung dia.
Bila hasilnya ditemukan bahwa fakta, data, dan bukti yang bersumber dari dua menteri itu tidak valid, Sihombing menyarankan agar kedua menteri itu harus meminta maaf kepada publik.
Sebelumnya Mulyani mengatakan ada laporan banyak desa baru yang tidak berpenduduk yang dibentuk agar bisa mendapatkan kucuran dana desa setiap tahun. Desa tersebut kemudian disebut sebagai desa fiktif.
Namun Iskandar mengatakan tidak ada desa fiktif seperti yang disebutkan Mulyani. "Sejauh ini belum ada desa fiktif," kata Iskandar, di Kantor Kepresidenan, Jumat (8/11).
Pada pemerintaha Jokowi yang pertama, beda pendapat di antara menteri-menterinya juga pernah terjadi dan menjadi polemik yang menyita perhatian publik.
Hal itu diungkapkan menyusul beda pandangan terkait "desa fiktif" antara Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar.
"Dua pandangan yang sangat berseberangan ini sejatinya diungkapkan dan dibahas tuntas dalam rapat internal kabinet," ujar Sihombing, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, bila terdapat perbedaan pandangan di antara menteri-menteri Jokowi, hal itu sebaiknya dibicarakan dalam fora internal, di antaranya pada rapat kabinet paripurna yang dipimpin presiden, rapat kabinet terbatas yang dipimpin wakil presiden, ataupun rapat kabinet khusus yang dipimpin menteri koordinator terkait.
"Di dalam rapat kabinet inilah mereka berdua adu fakta, data, bukti, landasan hukum yang terkait, argumentasi dan bila diperlukan saling mengemukakan dalil untuk membuat kesepakatan dan atau keputusan sebagai landasan kedua menteri tersebut dalam berwacana di ruang publik," kata dia.
Juga baca: Terkait desa fiktif, FITRA minta Kemendes verifikasi ulang desa
Juga baca: Menteri Desa: Tidak ada desa fiktif
Juga baca: Pemerintah salurkan Rp42,2 triliun dana desa per Agustus 2019
Juga baca: Menkeu: Realisasi dana desa sedikit lebih rendah
Sihombing mengatakan tidak sepatutnya dua menteri beradu argumen di ruang publik, mengingat keduanya berada dalam satu "perahu" yang sama, yakni Kabinet Indonesia Maju.
Lebih lanjut dia mengatakan persoalan antara Mulyani dan Iskandar sudah terlanjur mengemuka, sehingga keduanya harus dapat mempertanggungjawabkan hal tersebut ke publik.
"Jika dua pandangan yang berbeda tersebut ada kecocokan fakta, data dan bukti, hanya yang berbeda dari sudut pandang saja, ini lebih mudah melakukan klarifikasi di ruang publik," kata dia.
"Lain halnya bila ditemukan ada perbedaan data, fakta, dan bukti yang sangat signifikan, maka perlu dilakukan uji validitas secara menyeluruh terhadap sajian lontaran pernyataan dari dua menteri tersebut," sambung dia.
Bila hasilnya ditemukan bahwa fakta, data, dan bukti yang bersumber dari dua menteri itu tidak valid, Sihombing menyarankan agar kedua menteri itu harus meminta maaf kepada publik.
Sebelumnya Mulyani mengatakan ada laporan banyak desa baru yang tidak berpenduduk yang dibentuk agar bisa mendapatkan kucuran dana desa setiap tahun. Desa tersebut kemudian disebut sebagai desa fiktif.
Namun Iskandar mengatakan tidak ada desa fiktif seperti yang disebutkan Mulyani. "Sejauh ini belum ada desa fiktif," kata Iskandar, di Kantor Kepresidenan, Jumat (8/11).
Pada pemerintaha Jokowi yang pertama, beda pendapat di antara menteri-menterinya juga pernah terjadi dan menjadi polemik yang menyita perhatian publik.
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019
Tags: