Jakarta (ANTARA) - Sebuah diskusi bertema "Pahlawan Anti-Radikal Untuk Indonesia Maju" yang diadakan di Jakarta, Jumat, menyoroti secara berbeda faktor penyebab terjadinya radikalisme di Tanah Air.

Nara sumber pada diskusi itu, yakni pegiat antiradikalisme Haidar Alwi mengatakan salah satu penyebab utama munculnya radikalisme di Tanah Air disebabkan oleh masalah ekonomi.

Namun, narasumber lainnya, yakni anak kandung pahlawan nasional Bung Tomo, yakni Bambang Sulistomo menegaskan bahwa bukan faktor ekonomi sebagai penyebabnya, melainkan lebih kepada sistem nasional.

Dalam diskusi itu, Haidar Alwi menyatakan orang-orang yang berangkat ke Suriah dan Irak untuk berperang bersama ISIS kalau ditanya semua menjawab dengan alasan yang sama, yaitu ekonomi.

Ia mengatakan sebelum bertolak, kelompok-kelompok yang berangkat ke Suriah dan Irak tersebut sudah dijanjikan gaji tinggi, fasilitas memadai, hingga pendidikan yang bagus

Melihat kondisi tersebut, ia berpendapat pemerintah Indonesia perlu lebih maksimal lagi dalam meningkatkan taraf hidup dan perekonomian rakyat sehingga dapat diantisipasi sedini mungkin.

Ia tidak menampik saat ini kondisi ekonomi di Tanah Air masih dalam kondisi kurang bagus sehingga terdapat sejumlah orang yang memilih bertolak ke Suriah dan Irak untuk bergabung bersama ISIS.

"Memang belum bagus, semua orang juga tahu. Artinya semua butuh proses karena lima tahun ke belakang Presiden Jokowi fokus ke infrastruktur," katanya.

Secara umum, katanya, ke depan tugas dari Presiden Jokowi adalah memberantas radikalisme dengan meningkatkan taraf perekonomian masyarakat sehingga diharapkan tidak ada lagi warga dari Tanah Air bergabung bersama ISIS.

Sistem nasional

Sementara itu, Bambang Sulistomo mengatakan radikalisme muncul bukan karena masalah ekonomi namun lebih kepada sistem nasional.

"Apakah sistem hukum kita sudah benar? Jadi, bukannya faktor ekonomi," katanya.

Menurut dia jika sistem hukum di Tanah Air tidak benar, hukum diperjualbelikan maka hanya yang kuat bisa hidup sehingga terjadi ketimpangan sosial.

Hal tersebut lah, kata dia, yang menyebabkan tidak terwujudnya masyarakat Pancasila yang adil.

Sebagai contoh, ia mempertanyakan apakah semua masyarakat sudah mengenyam pendidikan, mendapatkan layanan kesehatan dan lain sebagainya.

"Jadi menurut saya sistem nasional yang harus ditata dengan benar, kalau tidak akan tetap seperti ini," demikian Bambang Sulistomo.

Baca juga: Menag ingin akhiri polemik radikalisme

Baca juga: MUI: Perlu definisi ulang istilah radikalisme

Baca juga: PBNU: Keamanan tidak bisa jadi pembenar larangan cadar

Baca juga: Muhammadiyah hormati beda penafsiran soal cadar