Artikel
Membentuk SDM milenial 4.0 untuk pacu pertumbuhan ekonomi
Oleh M Razi Rahman
7 November 2019 16:13 WIB
Direktur Umum dan SDM BPJS Ketenagakerjaan, Naufal Mahfudz memberikan sambutan pada wisuda IPB tahap IV tahun akademik 2018/2019 yang diikuti 775 lulusan. (Megapolitan.Antaranews.com/Foto : Laily Rahmawaty) (Megapolitan.Antaranews.com/Foto : Laily Rahmawaty/)
Jakarta (ANTARA) - Arah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam periode 2019-2024 untuk membenahi sumber daya manusia (SDM) sudah lama dicanangkan ke tengah masyarakat, begitu pula dengan konsep Industri 4.0 yang telah kencang pula digaungkan oleh pemerintah.
Dalam melakukan hal itu, Asisten Deputi Ketenagakerjaan Kemenko Bidang Perekonomian Yulius dalam diskusi yang digelar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) tentang "Merumuskan Hubungan Ketenagakerjaan di Era Digital" di Jakarta, 24 Oktober 2019, menyatakan pemerintah di antaranya berfokus membenahi pendidikan vokasi.
Yulius mengemukakan bahwa Kemenko Perekonomian telah diminta untuk mengkoordinasi terhadap berbagai institusi terkait hal tersebut, serta road map atau peta jalan terkait hal itu hingga tahun 2025 juga sudah dibuat.
Ia memaparkan permasalahan pertama terkait hal tersebut adalah terkait dengan kelembagaan atau kurikulum yang kerap tidak selaras antara apa yang diajarkan dengan apa yang diinginkan dunia kerja.
"Kurikulum pendidikan kita tidak matching hingga 50 persen apa yang diajarkan dengan yang diinginkan dunia usaha. Ini juga dilansir oleh milenial dalam berbagai diskusi bahwa kurikulumnya tidak cocok," katanya.
Selain itu, ujar dia, jumlah guru vokasi yang benar-benar memahami mengenai aspek penguasaan kepraktisan dinilai hanya sekitar 20-30 persen, serta sarana dan prasarananya juga dinilai ketinggalan hingga beberapa generasi.
Terkait dengan berbagai persoalan seperti kurikulum yang tidak baik, guru yang jumlahnya kurang, hingga sarana yang tidak memadai, maka pemerintah juga telah mengeluarkan aturan insentif pajak kepada dunia usaha yang mau melakukan kegiatan pendidikan dan pelatihan vokasi.
Pemberian insentif itu ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.
Penerbitan PP yang merupakan revisi dari Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 itu dilakukan untuk mendorong investasi pada industri padat karya, mendukung program penciptaan lapangan kerja dan penyerapan tenaga kerja RI.
Dalam peraturan itu, Wajib Pajak Badan dalam negeri yang menyelenggarakan kegiatan praktik kerja, pemagangan, atau pembelajaran dapat diberikan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 200 persen dari jumlah biaya yang dikeluarkan.
Kompetensi yang diberikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui program praktik kerja, pemagangan, atau pembelajaran yang strategis untuk mencapai efektivitas dan efisiensi tenaga kerja sebagai bagian dari investasi SDM.
Generasi milenial
Terkait Industri 4.0, pola perusahaan yang selaras dengan penerapan Industri 4.0 dinilai juga harus dapat menyesuaikan diri dengan karakteristik dan pola yang dianut oleh generasi milenial yang saat ini jumlahnya sangat dominan bagi sumber daya manusia nasional.
"Kita melihat bahwa kemajuan zaman tidak bisa dielakkan. Kalau kita melawan maka kita akan tertinggal," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Industri Johnny Darmawan dalam diskusi yang digelar Apindo tentang "Merumuskan Hubungan Ketenagakerjaan di Era Digital" di Jakarta pada akhir Oktober 2019.
Apalagi, ujar dia, Indonesia dapat disebut sebagai negara unik dengan jumlah populasi yang besar, tetapi sekitar 60 persen tenaga kerjanya adalah lulusan SD dan SMP.
Untuk itu, ia mengingatkan bahwa bila konsep Industri 4.0 mau diterapkan, maka juga harus dipahami karakter generasi milenial yang saat ini menjadi SDM.
Menurut Johnny, generasi milenial rata-rata ingin melaksanakan pekerjaan yang dia senangi dan bila mendapatkan penghasilan biasanya akan dihabiskan segera.
Selain itu, Ketua Apindo Bidang Industri juga menyebutkan bahwa milenial cenderung tidak mau diatur dengan waktu atau dengan kata lain lebih mengutamakan fleksibilitas jam kerja.
Sedangkan penerapan Industri 4.0, menurut dia, pada akhirnya bisa mengurangi tenaga kerja manusia menjadi mesin otomatis sehingga perlu ditekankan adanya program menciptakan kerja.
Sementara itu Direktur Eksekutif Indonesia Services Dialogue Devi Ariyani mengingatkan bahwa saat ini pola kerja yang sedang trendi atau naik daun adalah pola kerja gig economy.
Dengan gig economy tersebut, menurut Devi Ariyani, maka semakin banyak pekerjaan yang sifatnya independen atau freelancer atau pekerja lepas.
Selain itu, ujar dia, adanya perkembangan teknologi digital juga membuat semakin banyak generasi termasuk kalangan milenial menjadi lebih berdaya.
Rombak kurikulum
Sejumlah pihak seperti Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria menyatakan pihaknya telah merombak kurikulum agar selaras dengan penerapan Industri 4.0.
Menurut Arif Satria dalam acara Seminar Nasional Sekolah Bisnis IPB di Jakarta, Sabtu (2/11), sekarang ini berbagai kurikulum telah benar-benar menitikberatkan kepada inovasi agar juga dapat tercipta smart farming, smart forestry, smart fishing, serta juga smart business.
Arif juga mengungkapkan berbagai inovasi yang telah ditelurkan oleh mahasiswa IPB, seperti teknologi pemantau presisi produksi kelapa sawit, teknologi untuk produk halal serta mengenali spesies ikan.
Sementara itu, Rektor Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie, Hisar Sirait menyarankan agar pemerintah menyiapkan tenaga kerja muda dengan konsep pendidikan berorientasi pada kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI).
Hisar menjelaskan bahwa kalau merujuk kembali pada apa yang disampaikan oleh bapak Presiden Joko Widodo visi Indonesia 2045, para pemuda dan tenaga kerja yang berada pada tahun tersebut adalah sosok yang memasuki usia sangat produktif antara 35 sampai dengan 45 tahun.
Ekonom sekaligus akademisi ini sepakat dengan apa yang disampaikan Mendikbud Nadiem Makarim bahwa mulai dari pendidikan SMP para pelajar diperkenalkan dengan pola berpikir algoritma atau bagaimana cara berpikir untuk membuat coding, karena pada gilirannya para pelajar tersebut akan menghadapi era ke arah tersebut.
Sedangkan bagi para pelajar SMA, mereka harus sudah mulai dipastikan untuk bisa masuk ke dalam konsep-konsep membangun yang namanya aplikasi-aplikasi sederhana, seperti gim atau animasi sederhana.
"Untuk yang pendidikan tinggi, harapan kita bersama adalah untuk bagaimana pendidikan tinggi kita saat ini yang sudah terlalu lama bertahan dengan konsep-konsep konvensional sudah saatnya untuk masuk ke dalam masa-masa dimana mahasiswa harus didorong untuk berpikir kreatif dan bebas," kata Hisar Sirait.
Harus diingat pula bahwa Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Ngakan Timur Antara memperkirakan revolusi Industri 4.0 akan menciptakan tambahan 10 juta tenaga kerja baru pada 2030.
Menurut Ngakan, Industri 4.0 juga akan menciptakan beragam lapangan pekerjaan baru di berbagai bidang, di antaranya bidang penelitian dan pengembangan, branding, sistem logistik, perbengkelan robot, hingga pengembang aplikasi yang dibutuhkan industri.
"Orang akan banyak membuat aplikasi, itu diterapkan di industri yang menekankan konektivitas, dari mesin satu ke mesin lainnya, dari industri ke distributor, banyak sekali aplikasi yang bisa dibuat. Dan inilah yang menjadi kantong-kantong tenaga kerja baru," ungkapnya.
Lapangan pekerjaan bidang baru tersebut, lanjut Ngakan, akan dapat terisi apabila bonus demografi yang akan dialami Indonesia pada 2030 dipersiapkan dengan baik, yakni dengan memberikan pelatihan-pelatihan yang sesuai dengan peradaban masa kini.
Pertumbuhan ekonomi
Dengan menciptakan kurikulum yang selaras dengan generasi milenial dan konsep Industri 4.0, maka ke depannya juga diharapkan dapat berimbas kepada melesatnya pertumbuhan ekonomi.
Anggota DPR RI Ali Taher Parasong menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dicapai harus sungguh-sungguh dapat menciptakan lapangan kerja serta juga harus diimbangi dengan pelatihan dan pembenahan terhadap SDM nasional.
"Yang paling penting, pertumbuhan ekonomi harus mampu mengangkat tenaga kerja. Jika 1 persen bisa mengangkat 400-700 ribu tenaga kerja baru, maka pertumbuhan ekonomi, kalau di atas 5 persen saja, bisa menyerap 2-3 juta angkatan kerja baru per tahun," kata Ali.
Namun, politisi PAN itu mengingatkan bahwa faktanya di lapangan, masih ada Balai Latihan Kerja yang tidak berfungsi dengan bagus, serta ada jenis pelatihan yang belum mengikuti perkembangan zaman.
Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani mengatakan bahwa permasalahan tingkat pengangguran yang terdapat di Tanah Air dapat diatasi, antara lain, dengan meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional yang baik.
Politisi PKS itu mengingatkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia per tahun rata-rata hanya mencapai sekitar 5 persen. Angka tersebut dinilai masih belum mampu untuk menyerap tenaga kerja yang setiap tahunnya terdapat sekitar 3.000.000 angkatan kerja baru.
Selain itu, kata dia, penting pula untuk menyoroti keselarasan kurikulum pendidikan dalam hal ini SMK dengan kebutuhan pasar akan lapangan kerja, yang dinilai masih belum memadai di Nusantara.
"Output link pendidikan kita belum semuanya link and match dengan kebutuhan pasar. Jadi, lulusan sekolah ini kadang tidak memenuhi kebutuhan yang disodorkan oleh pasar. Ini perlu diperhatikan oleh pemerintah," kata Netty.
Dalam melakukan hal itu, Asisten Deputi Ketenagakerjaan Kemenko Bidang Perekonomian Yulius dalam diskusi yang digelar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) tentang "Merumuskan Hubungan Ketenagakerjaan di Era Digital" di Jakarta, 24 Oktober 2019, menyatakan pemerintah di antaranya berfokus membenahi pendidikan vokasi.
Yulius mengemukakan bahwa Kemenko Perekonomian telah diminta untuk mengkoordinasi terhadap berbagai institusi terkait hal tersebut, serta road map atau peta jalan terkait hal itu hingga tahun 2025 juga sudah dibuat.
Ia memaparkan permasalahan pertama terkait hal tersebut adalah terkait dengan kelembagaan atau kurikulum yang kerap tidak selaras antara apa yang diajarkan dengan apa yang diinginkan dunia kerja.
"Kurikulum pendidikan kita tidak matching hingga 50 persen apa yang diajarkan dengan yang diinginkan dunia usaha. Ini juga dilansir oleh milenial dalam berbagai diskusi bahwa kurikulumnya tidak cocok," katanya.
Selain itu, ujar dia, jumlah guru vokasi yang benar-benar memahami mengenai aspek penguasaan kepraktisan dinilai hanya sekitar 20-30 persen, serta sarana dan prasarananya juga dinilai ketinggalan hingga beberapa generasi.
Terkait dengan berbagai persoalan seperti kurikulum yang tidak baik, guru yang jumlahnya kurang, hingga sarana yang tidak memadai, maka pemerintah juga telah mengeluarkan aturan insentif pajak kepada dunia usaha yang mau melakukan kegiatan pendidikan dan pelatihan vokasi.
Pemberian insentif itu ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.
Penerbitan PP yang merupakan revisi dari Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 itu dilakukan untuk mendorong investasi pada industri padat karya, mendukung program penciptaan lapangan kerja dan penyerapan tenaga kerja RI.
Dalam peraturan itu, Wajib Pajak Badan dalam negeri yang menyelenggarakan kegiatan praktik kerja, pemagangan, atau pembelajaran dapat diberikan pengurangan penghasilan bruto paling tinggi 200 persen dari jumlah biaya yang dikeluarkan.
Kompetensi yang diberikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui program praktik kerja, pemagangan, atau pembelajaran yang strategis untuk mencapai efektivitas dan efisiensi tenaga kerja sebagai bagian dari investasi SDM.
Generasi milenial
Terkait Industri 4.0, pola perusahaan yang selaras dengan penerapan Industri 4.0 dinilai juga harus dapat menyesuaikan diri dengan karakteristik dan pola yang dianut oleh generasi milenial yang saat ini jumlahnya sangat dominan bagi sumber daya manusia nasional.
"Kita melihat bahwa kemajuan zaman tidak bisa dielakkan. Kalau kita melawan maka kita akan tertinggal," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Industri Johnny Darmawan dalam diskusi yang digelar Apindo tentang "Merumuskan Hubungan Ketenagakerjaan di Era Digital" di Jakarta pada akhir Oktober 2019.
Apalagi, ujar dia, Indonesia dapat disebut sebagai negara unik dengan jumlah populasi yang besar, tetapi sekitar 60 persen tenaga kerjanya adalah lulusan SD dan SMP.
Untuk itu, ia mengingatkan bahwa bila konsep Industri 4.0 mau diterapkan, maka juga harus dipahami karakter generasi milenial yang saat ini menjadi SDM.
Menurut Johnny, generasi milenial rata-rata ingin melaksanakan pekerjaan yang dia senangi dan bila mendapatkan penghasilan biasanya akan dihabiskan segera.
Selain itu, Ketua Apindo Bidang Industri juga menyebutkan bahwa milenial cenderung tidak mau diatur dengan waktu atau dengan kata lain lebih mengutamakan fleksibilitas jam kerja.
Sedangkan penerapan Industri 4.0, menurut dia, pada akhirnya bisa mengurangi tenaga kerja manusia menjadi mesin otomatis sehingga perlu ditekankan adanya program menciptakan kerja.
Sementara itu Direktur Eksekutif Indonesia Services Dialogue Devi Ariyani mengingatkan bahwa saat ini pola kerja yang sedang trendi atau naik daun adalah pola kerja gig economy.
Dengan gig economy tersebut, menurut Devi Ariyani, maka semakin banyak pekerjaan yang sifatnya independen atau freelancer atau pekerja lepas.
Selain itu, ujar dia, adanya perkembangan teknologi digital juga membuat semakin banyak generasi termasuk kalangan milenial menjadi lebih berdaya.
Rombak kurikulum
Sejumlah pihak seperti Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria menyatakan pihaknya telah merombak kurikulum agar selaras dengan penerapan Industri 4.0.
Menurut Arif Satria dalam acara Seminar Nasional Sekolah Bisnis IPB di Jakarta, Sabtu (2/11), sekarang ini berbagai kurikulum telah benar-benar menitikberatkan kepada inovasi agar juga dapat tercipta smart farming, smart forestry, smart fishing, serta juga smart business.
Arif juga mengungkapkan berbagai inovasi yang telah ditelurkan oleh mahasiswa IPB, seperti teknologi pemantau presisi produksi kelapa sawit, teknologi untuk produk halal serta mengenali spesies ikan.
Sementara itu, Rektor Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie, Hisar Sirait menyarankan agar pemerintah menyiapkan tenaga kerja muda dengan konsep pendidikan berorientasi pada kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI).
Hisar menjelaskan bahwa kalau merujuk kembali pada apa yang disampaikan oleh bapak Presiden Joko Widodo visi Indonesia 2045, para pemuda dan tenaga kerja yang berada pada tahun tersebut adalah sosok yang memasuki usia sangat produktif antara 35 sampai dengan 45 tahun.
Ekonom sekaligus akademisi ini sepakat dengan apa yang disampaikan Mendikbud Nadiem Makarim bahwa mulai dari pendidikan SMP para pelajar diperkenalkan dengan pola berpikir algoritma atau bagaimana cara berpikir untuk membuat coding, karena pada gilirannya para pelajar tersebut akan menghadapi era ke arah tersebut.
Sedangkan bagi para pelajar SMA, mereka harus sudah mulai dipastikan untuk bisa masuk ke dalam konsep-konsep membangun yang namanya aplikasi-aplikasi sederhana, seperti gim atau animasi sederhana.
"Untuk yang pendidikan tinggi, harapan kita bersama adalah untuk bagaimana pendidikan tinggi kita saat ini yang sudah terlalu lama bertahan dengan konsep-konsep konvensional sudah saatnya untuk masuk ke dalam masa-masa dimana mahasiswa harus didorong untuk berpikir kreatif dan bebas," kata Hisar Sirait.
Harus diingat pula bahwa Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Ngakan Timur Antara memperkirakan revolusi Industri 4.0 akan menciptakan tambahan 10 juta tenaga kerja baru pada 2030.
Menurut Ngakan, Industri 4.0 juga akan menciptakan beragam lapangan pekerjaan baru di berbagai bidang, di antaranya bidang penelitian dan pengembangan, branding, sistem logistik, perbengkelan robot, hingga pengembang aplikasi yang dibutuhkan industri.
"Orang akan banyak membuat aplikasi, itu diterapkan di industri yang menekankan konektivitas, dari mesin satu ke mesin lainnya, dari industri ke distributor, banyak sekali aplikasi yang bisa dibuat. Dan inilah yang menjadi kantong-kantong tenaga kerja baru," ungkapnya.
Lapangan pekerjaan bidang baru tersebut, lanjut Ngakan, akan dapat terisi apabila bonus demografi yang akan dialami Indonesia pada 2030 dipersiapkan dengan baik, yakni dengan memberikan pelatihan-pelatihan yang sesuai dengan peradaban masa kini.
Pertumbuhan ekonomi
Dengan menciptakan kurikulum yang selaras dengan generasi milenial dan konsep Industri 4.0, maka ke depannya juga diharapkan dapat berimbas kepada melesatnya pertumbuhan ekonomi.
Anggota DPR RI Ali Taher Parasong menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dicapai harus sungguh-sungguh dapat menciptakan lapangan kerja serta juga harus diimbangi dengan pelatihan dan pembenahan terhadap SDM nasional.
"Yang paling penting, pertumbuhan ekonomi harus mampu mengangkat tenaga kerja. Jika 1 persen bisa mengangkat 400-700 ribu tenaga kerja baru, maka pertumbuhan ekonomi, kalau di atas 5 persen saja, bisa menyerap 2-3 juta angkatan kerja baru per tahun," kata Ali.
Namun, politisi PAN itu mengingatkan bahwa faktanya di lapangan, masih ada Balai Latihan Kerja yang tidak berfungsi dengan bagus, serta ada jenis pelatihan yang belum mengikuti perkembangan zaman.
Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani mengatakan bahwa permasalahan tingkat pengangguran yang terdapat di Tanah Air dapat diatasi, antara lain, dengan meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional yang baik.
Politisi PKS itu mengingatkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia per tahun rata-rata hanya mencapai sekitar 5 persen. Angka tersebut dinilai masih belum mampu untuk menyerap tenaga kerja yang setiap tahunnya terdapat sekitar 3.000.000 angkatan kerja baru.
Selain itu, kata dia, penting pula untuk menyoroti keselarasan kurikulum pendidikan dalam hal ini SMK dengan kebutuhan pasar akan lapangan kerja, yang dinilai masih belum memadai di Nusantara.
"Output link pendidikan kita belum semuanya link and match dengan kebutuhan pasar. Jadi, lulusan sekolah ini kadang tidak memenuhi kebutuhan yang disodorkan oleh pasar. Ini perlu diperhatikan oleh pemerintah," kata Netty.
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019
Tags: