Perda Desa "Hantu" tidak mengacu aturan jumlah penduduk
6 November 2019 22:07 WIB
Direktur Penataan dan Administrasi Pemerintahan Desa, Aferi Syamsidar Fudail menjelaskan kepada wartawan tentang kasus desa ‘hantu’ saat ditemui di Kompleks Parlemen RI Jakarta, Rabu (6-11-2019). (ANTARA/ Abdu Faisal)
Jakarta (ANTARA) - Direktur Penataan dan Administrasi Pemerintahan Desa, Aferi Syamsidar Fudail mengatakan kalau peraturan daerah yang membentuk desa hantutidak mengacu aturan jumlah penduduk di Undang-Undang (UU) Desa.
"Kabupaten itu memberikan penegasan bahwa ini desa daerah kami, tanpa melihat sisi kependudukan karena waktu itu belum ada syarat kependudukan," kata Feri di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Kemendagri laporkan desa "hantu" ke Polda Sultra
Bahkan, tanpa menyebut nama desa, Feri mengatakan ada satu desa yang jumlah Kepala Keluarga (KK) hanya ada tujuh. Padahal menurut aturan Pasal 8 ayat 3 UU Desa menyebutkan kalau pembentukan desa baru di wilayah Sulawesi Tenggara harus memiliki minimal 400 KK atau 2.000 jiwa.
Ia menambahkan, dulu Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri menerima usulan pemekaran itu di tahun 2011 sebelum adanya UU Desa nomor 6 tahun 2014.
"Ini Perda nomor 7 tahun 2011, artinya Perda pemekaran sebelum UU nomor 6. Jadi syarat pembentukannya tidak mengacu pada UU nomor 6," kata Feri.
Ia mengatakan tujuan empat desa itu ditetapkan oleh pemerintah daerah saat itu adalah untuk memastikan keempatnya sebagai bagian daerah Kabupaten Konawe yang berbatasan dengan Kabupaten Kolaka Utara.
"Itu memastikan kalau daerah-daerah itu tidak diambil Kabupaten lain sehingga wilayahnya tetap berada dalam Kabupaten Konawe," kata Feri.
Ditambah lagi berdasarkan Pasal 116 UU Desa menyebutkan bahwa desa yang ada sebelum UU Nomor 6 tahun 2014 berlaku, tetap diakui sebagai desa.
Baca juga: Kemendagri: Desa hantu tidak mendapat alokasi dana desa sejak 2017 Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri, Nata Irawan, menyatakan mulai terungkap sejak dua bulan lalu.
"Kami bahas dalam rapat pimpinan antara Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketika itu disampaikan oleh pimpinan KPK, ada56 desa fiktif," ujar Nata ketika ditemui usai rapat kerja dengan Komisi II DPR, Rabu.
Ia mengaku langsung membentuk tim untuk menindaklanjuti pada 15-17 Oktober.
"Tim kami dari Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa, turun ke Sulawesi Tenggara bersama aparat pemerintah provinsi masuk juga langsung ke Kabupaten, kami kumpulkan 56 desa yang dimaksud fiktif," ujar dia.
Nata mengatakan kalau tim itu juga sudah berkomunikasi dengan Bupati Konawe dan menanyakan keberadaan ke-56 desa yang dimaksud oleh KPK.
"Setelah kami verifikasi yang dinyatakan fiktif sebenarnya ada empat," ujar dia.
Adapun nama-nama ke empat desa hantu tersebut ialah desa Larehoma di Kecamatan Anggaberi, desa Wiau di Kecamatan Routa, desa Arombu Utama di Kecamatan Latoma serta desa Napooha di Kecamatan Latoma.
Baca juga: KPK sebut pernah lakukan kajian dana desa 2015
"Kabupaten itu memberikan penegasan bahwa ini desa daerah kami, tanpa melihat sisi kependudukan karena waktu itu belum ada syarat kependudukan," kata Feri di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Kemendagri laporkan desa "hantu" ke Polda Sultra
Bahkan, tanpa menyebut nama desa, Feri mengatakan ada satu desa yang jumlah Kepala Keluarga (KK) hanya ada tujuh. Padahal menurut aturan Pasal 8 ayat 3 UU Desa menyebutkan kalau pembentukan desa baru di wilayah Sulawesi Tenggara harus memiliki minimal 400 KK atau 2.000 jiwa.
Ia menambahkan, dulu Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri menerima usulan pemekaran itu di tahun 2011 sebelum adanya UU Desa nomor 6 tahun 2014.
"Ini Perda nomor 7 tahun 2011, artinya Perda pemekaran sebelum UU nomor 6. Jadi syarat pembentukannya tidak mengacu pada UU nomor 6," kata Feri.
Ia mengatakan tujuan empat desa itu ditetapkan oleh pemerintah daerah saat itu adalah untuk memastikan keempatnya sebagai bagian daerah Kabupaten Konawe yang berbatasan dengan Kabupaten Kolaka Utara.
"Itu memastikan kalau daerah-daerah itu tidak diambil Kabupaten lain sehingga wilayahnya tetap berada dalam Kabupaten Konawe," kata Feri.
Ditambah lagi berdasarkan Pasal 116 UU Desa menyebutkan bahwa desa yang ada sebelum UU Nomor 6 tahun 2014 berlaku, tetap diakui sebagai desa.
Baca juga: Kemendagri: Desa hantu tidak mendapat alokasi dana desa sejak 2017 Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri, Nata Irawan, menyatakan mulai terungkap sejak dua bulan lalu.
"Kami bahas dalam rapat pimpinan antara Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketika itu disampaikan oleh pimpinan KPK, ada56 desa fiktif," ujar Nata ketika ditemui usai rapat kerja dengan Komisi II DPR, Rabu.
Ia mengaku langsung membentuk tim untuk menindaklanjuti pada 15-17 Oktober.
"Tim kami dari Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa, turun ke Sulawesi Tenggara bersama aparat pemerintah provinsi masuk juga langsung ke Kabupaten, kami kumpulkan 56 desa yang dimaksud fiktif," ujar dia.
Nata mengatakan kalau tim itu juga sudah berkomunikasi dengan Bupati Konawe dan menanyakan keberadaan ke-56 desa yang dimaksud oleh KPK.
"Setelah kami verifikasi yang dinyatakan fiktif sebenarnya ada empat," ujar dia.
Adapun nama-nama ke empat desa hantu tersebut ialah desa Larehoma di Kecamatan Anggaberi, desa Wiau di Kecamatan Routa, desa Arombu Utama di Kecamatan Latoma serta desa Napooha di Kecamatan Latoma.
Baca juga: KPK sebut pernah lakukan kajian dana desa 2015
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2019
Tags: