Sejarawan: Politik segregasi akan gagal di Indonesia
5 November 2019 16:27 WIB
Sejarawan Dr. Bondan Kanumoyoso usai diskusi di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Selasa (5/10/2019). (ANTARA/Prisca Triferna)
Jakarta (ANTARA) - Sejarah memperlihatkan bahwa upaya pemisahan atau segregasi untuk menjaga kemurnian ras dan identitas etnis akan gagal karena tidak sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia, kata sejarawan Dr. Bondan Kanumoyoso.
"Terbukti kebijakan untuk membuat pemisah agar setiap ras itu murni di Indonesia sudah pernah dicoba di sekitar Batavia itu gagal. Jadi saya tidak terlalu kuatir dengan perdebatan akhir-akhir ini yang mengobsesikan kemurnian ras, karena di Indonesia itu tidak pernah ada dan karakteristik orang Indonesia itu cenderung bercampur baur," ujar akademisi Universitas Indonesia itu ketika menjadi narasumber diskusi di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Selasa.
Bondan memberi contoh kebijakan segregrasi yang dilakukan Belanda pada abad ke-17 dengan membuat di Batavia, nama lama untuk Jakarta, kampung-kampung dari berbagai latar belakang etnis di Indonesia seperti Kampung Melayu dan Kampung Bugis.
Hal itu dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda karena ketakutan bahwa jika berbagai etnis itu bersatu maka dapat berkonspirasi menentang Belanda, yang jumlahnya kalah banyak dibandingkan penduduk asli Indonesia.
Baca juga: Festival Kali Besar usung Jakarta tempo dulu
Baca juga: Jadi pemandu MRT harus jalani pelatihan dulu di Kuala Lumpur
Namun, pada kenyataannya, ujar Bondan, karena tidak diawasi dengan ketat oleh Belanda akhirnya kampung-kampung itu saling berinteraksi penduduknya tanpa bisa dicegah.
Hasilnya, kata dia, pada abad ke-18 kampung-kampung tersebut sudah tidak murni berisi etnis dan suku tertentu tapi sudah bercampur baur sampai hari ini di Jakarta modern.
Jika merujuk dari pengalaman sejarah, politik segregasi di Batavia terbukti gagal ketika Belanda mengadakan sensus pada awal abad ke-20 dan data menunjukkan kampung yang tadinya murni untuk suku dan etnis tertentu sudah bercampur penduduknya.
"Perlahan-lahan yang nama identitas etnis itu hilang," ujar Bondan dalam diskusi Jejak Manusia Nusantara dan Peninggalannya yang diadakan oleh majalah sejarah daring Historia.*
Baca juga: Antara doeloe : Biaja nikah, thalaq dan rudju' di Djakarta''
Baca juga: Becak di Jakarta, dulu dan sekarang
"Terbukti kebijakan untuk membuat pemisah agar setiap ras itu murni di Indonesia sudah pernah dicoba di sekitar Batavia itu gagal. Jadi saya tidak terlalu kuatir dengan perdebatan akhir-akhir ini yang mengobsesikan kemurnian ras, karena di Indonesia itu tidak pernah ada dan karakteristik orang Indonesia itu cenderung bercampur baur," ujar akademisi Universitas Indonesia itu ketika menjadi narasumber diskusi di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Selasa.
Bondan memberi contoh kebijakan segregrasi yang dilakukan Belanda pada abad ke-17 dengan membuat di Batavia, nama lama untuk Jakarta, kampung-kampung dari berbagai latar belakang etnis di Indonesia seperti Kampung Melayu dan Kampung Bugis.
Hal itu dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda karena ketakutan bahwa jika berbagai etnis itu bersatu maka dapat berkonspirasi menentang Belanda, yang jumlahnya kalah banyak dibandingkan penduduk asli Indonesia.
Baca juga: Festival Kali Besar usung Jakarta tempo dulu
Baca juga: Jadi pemandu MRT harus jalani pelatihan dulu di Kuala Lumpur
Namun, pada kenyataannya, ujar Bondan, karena tidak diawasi dengan ketat oleh Belanda akhirnya kampung-kampung itu saling berinteraksi penduduknya tanpa bisa dicegah.
Hasilnya, kata dia, pada abad ke-18 kampung-kampung tersebut sudah tidak murni berisi etnis dan suku tertentu tapi sudah bercampur baur sampai hari ini di Jakarta modern.
Jika merujuk dari pengalaman sejarah, politik segregasi di Batavia terbukti gagal ketika Belanda mengadakan sensus pada awal abad ke-20 dan data menunjukkan kampung yang tadinya murni untuk suku dan etnis tertentu sudah bercampur penduduknya.
"Perlahan-lahan yang nama identitas etnis itu hilang," ujar Bondan dalam diskusi Jejak Manusia Nusantara dan Peninggalannya yang diadakan oleh majalah sejarah daring Historia.*
Baca juga: Antara doeloe : Biaja nikah, thalaq dan rudju' di Djakarta''
Baca juga: Becak di Jakarta, dulu dan sekarang
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019
Tags: