Telaah
Belajar dari kasus anggaran "heboh" DKI Jakarta
Oleh Arnaz Ferial Firman *)
5 November 2019 10:46 WIB
Wakil Ketua DPW Partai Solidaritas Indonesia DKI Jakarta Rian Ernest (kiri) dan Ketua Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta Idris Ahmad (kanan) menyampaikan pandangan soal anggaran DKI Jakarta pada media di Gedung DPRD DKI Jakarta, Senin (4/11/2019). ANTARA/Ricky Prayoga/aa.
Jakarta (ANTARA) - Ternyata urusan uang anggaran di mana pun, terutama yang menyangkut pemerintah daerah, selalu menarik untuk disimak karena dan menjadi pusat perhatian masyarakat.
Pemenjaraan mantan ketua DPD Irman Gusman, mantan ketua DPR Setya Novanto, kemudian juga mantan Menteri Sosial Idrus Marham serta mantan wakil ketua DPR Taufik Kurniawan akibat operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terjadi karena semua mantan pejabat negara itu “hijau matanya” setelah disodori bertumpuk uang.
Selain itu, juga ada kasus mantan gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mantan gubernur Jambi Zumi Zola, mantan bupati Bekasi Neneng serta puluhan mantan anggota DPRD Sumatera Utara serta Kota Malang, Jawa Timur juga pasti masih terngiang-ngiangi di telinga jutaan orang di Tanah Air.
Akhir-akhir ini, rakyat terutama di Daerah Ibu Kota (DKI) Jakarta dibuat heboh dengan munculnya kasus Anggaran Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara ( KUA-PPAS).
Kehebohan terutama terjadi karena ada beberapa mata anggaran yang nilainya luar biasa besarannya, misalnya pengadaan perekat atau lem yang tidak kurang dari Rp82,8 miliar serta pengadaan alat tulis kantor (ATK) seperti pulpen yang amat fantastis, tidak kurang dari Rp123,8 miliar.
Rakyat Jakarta bisa membayangkan berapa juta atau bahkan miliaran pensil atau pulpen dapat dibeli dengan anggaran lebih dari Rp100 miliar tersebut. Belum lagi lem atau perekat yang dapat dibeli dengan dana sekitar Rp80 miliar ini.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengungkapkan bahwa keanehan yang luar biasa ini tidak hanya terjadi untuk tahun anggaran 2020, tapi juga sejak beberapa tahun terakhir ini. Karena itu, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini menginginkan agar penyusunan anggaran, selain dengan anggaran elektronis (e-budgeting) alias dengan teknologi komputer, juga ditopang dengan cara konvensional atau sistem kuno yang manual.
Gara-gara kasus anggaran yang menghebohkan ini, dua pejabat di lingkungan DKI Jakarta memilih mundur sehingga memilih posisi-posisi lain. Mereka itu adalah Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sri Mahendra Wirawan serta Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Edy Junaedi.
Ceroboh atau sengaja?
Mantan wakil gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat menduga pembuatan masa anggaran yang sangat menggelembung itu merupakan ulah yang sengaja dilakukan karena jika itu terjadi secara tidak sengaja atau akibat kecerobohan maka angka-angka anggaran belanja itu tidak seperti yang tercantum dalam rancangan kebijakan umum tersebut.
Karaena Djarot pernah mengenal liku-liku pemerintahan DKI Jakarta termasuk oknum-oknum pegawai atau pejabatnya, maka rakyat Jakarta bisa memahami betul ucapan mantan pejabat ini. Memang warga ibu kota tidak bisa langsung memvonis bahwa ada unsur-unsur ksengajaan dalam penyusunan anggaran yang nilainya miliaran rupiah. Apalagi penduduk Jakarta pasti tahu bahwa APBD daerah ini mencapai triliunan rupiah tiap tahunnya.
Karena ini zaman canggih yang ditandai dengan pemakaian komputer maka tentunya pembuatan konsep dasar anggaran di instansi mana pun juga seharusnya semakin mudah. Yang sangat penting adalah setiap data atau angka yang tercantum di dalamnya haruslah dicek atau dikoreksi beberapa kali untuk menghindari munculnya kesalahan.
Karena APBD sebuah provinsi pasti sangat besar, maka tentu pengecekan ulang merupakan hal yang amat penting. Koreksi harus dilakukan secara berjenjang sesuai dengan fungsi atau tugas masing-masing pegawai Bersama para atasannya.
Seorang juru ketik, misalnya, bukan hanya memiliki tugas utama untuk mengetik saja, tetapi juga harus memahami atau mengerti bahwa ketikannya itu sudah benar atau tidak. Sementara itu, berbagai pejabat harus membaca secara teliti apakah hasil pengetikan itu sudah benar-benar tanpa kesalahan apa pun juga dan sesuai dengan tujuan dasarnya, termasuk misalnya bagi para siswa.
Baca juga: Anies sebut kelemahan e-budgeting dikoreksi bukan diviralkan
Baca juga: DKI Jakarta akan sesuaikan anggaran lem aibon hingga pulpen
Baca juga: Fraksi Nasdem DKI sarankan Anies buka rancangan anggaran ke publik
Jika kembali masalah mendasarnya, maka anggaran pembelian lem (perekat) itu, maka masyarakat tentu berhak bertanya-tanya apakah seberapa banyak perekat itu benar-benar akan dibeli dan untuk siapa saja lem itu akan dibagi-bagikan.
Normalkah perekat Rp82 miliar itu benar-benar akan dimanfaatkan oleh para pegawai di lingkungan pemerintahan DKI Jakarta. Kemudian juga apakah pembelian alat tulis kantor seperti pulpen dan pensil benar-benar akan dibagi-bagikan kepada seluruh siswa di ibu kota tercinta ini?
Masyarakat tentu belum boleh curiga kepada para pejabat yang seharusnya bertanggung jawab terhadap pembuatan atau penyusunan e-budgeting ini. Akan tetapi jika masyarakat mengacu kepada begitu banyak pejabat yang telah terbuktii "mencuri" uang negara yang artinya uang rakyat maka kecurigaan itu pada dasarnya berhak dimunculkan.
Karena itu, niat Gubernur Anies Baswedan untuk memperbaiki sistem e-budgeting patut dihargai, apalagi cara konvensional juga masih dipakai/dimanfaatkan untuk mencegah terjadinya peluang korupsi.
APBN tahun anggaran 2020 direncanakan pemerintah pusat akan lebih dari Rp2.000 triliun dan jika ditambah dengan APBD tingkat provinsi yang jumlahnya 34 buah maka nilainya akan sangat besar sehingga bisa saja terjadi peluang korupsi.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sudah menyatakan bahwa Kemendagri tidak berhak mengoreksi APBD provinsi mana pun juga apalagi jika masih dibahas oleh Bappeda. Karena itu, permintaan mantan Kapolri itu agar penyusunan APBD-APBD harus masuk akal (rasional), amat pantas untuk benar-benar diterapkan.
Seluruh jajaran pegawai negeri harus benar-benar bekerja sepenuh hati untuk rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak mengambil keuntungan untuk kantong pribadinya masing-masing. Perjalanan NKRI masih sangat panjang apalagi jutaan orang di Tanah Air masih hidup dalam kemiskinan sehinga tak pantaslah ada pegawai pemerintah yang korupsi atau pun bermaksud korupsi. Kasus anggaran DKI Jakarta selayaknya tidak terjadi di provinsi-provinsi lain ataupun di ratusan kabupaten/kota, agar tidak memusingkan dan menambah persoalan bangsa.
*) Arnaz F Firman adalah wartawan LKBN ANTARA tahun 1982-2018, pernah meliput acara kepresidenan tahun 1987-2009
Pemenjaraan mantan ketua DPD Irman Gusman, mantan ketua DPR Setya Novanto, kemudian juga mantan Menteri Sosial Idrus Marham serta mantan wakil ketua DPR Taufik Kurniawan akibat operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terjadi karena semua mantan pejabat negara itu “hijau matanya” setelah disodori bertumpuk uang.
Selain itu, juga ada kasus mantan gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mantan gubernur Jambi Zumi Zola, mantan bupati Bekasi Neneng serta puluhan mantan anggota DPRD Sumatera Utara serta Kota Malang, Jawa Timur juga pasti masih terngiang-ngiangi di telinga jutaan orang di Tanah Air.
Akhir-akhir ini, rakyat terutama di Daerah Ibu Kota (DKI) Jakarta dibuat heboh dengan munculnya kasus Anggaran Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara ( KUA-PPAS).
Kehebohan terutama terjadi karena ada beberapa mata anggaran yang nilainya luar biasa besarannya, misalnya pengadaan perekat atau lem yang tidak kurang dari Rp82,8 miliar serta pengadaan alat tulis kantor (ATK) seperti pulpen yang amat fantastis, tidak kurang dari Rp123,8 miliar.
Rakyat Jakarta bisa membayangkan berapa juta atau bahkan miliaran pensil atau pulpen dapat dibeli dengan anggaran lebih dari Rp100 miliar tersebut. Belum lagi lem atau perekat yang dapat dibeli dengan dana sekitar Rp80 miliar ini.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengungkapkan bahwa keanehan yang luar biasa ini tidak hanya terjadi untuk tahun anggaran 2020, tapi juga sejak beberapa tahun terakhir ini. Karena itu, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini menginginkan agar penyusunan anggaran, selain dengan anggaran elektronis (e-budgeting) alias dengan teknologi komputer, juga ditopang dengan cara konvensional atau sistem kuno yang manual.
Gara-gara kasus anggaran yang menghebohkan ini, dua pejabat di lingkungan DKI Jakarta memilih mundur sehingga memilih posisi-posisi lain. Mereka itu adalah Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sri Mahendra Wirawan serta Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Edy Junaedi.
Ceroboh atau sengaja?
Mantan wakil gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat menduga pembuatan masa anggaran yang sangat menggelembung itu merupakan ulah yang sengaja dilakukan karena jika itu terjadi secara tidak sengaja atau akibat kecerobohan maka angka-angka anggaran belanja itu tidak seperti yang tercantum dalam rancangan kebijakan umum tersebut.
Karaena Djarot pernah mengenal liku-liku pemerintahan DKI Jakarta termasuk oknum-oknum pegawai atau pejabatnya, maka rakyat Jakarta bisa memahami betul ucapan mantan pejabat ini. Memang warga ibu kota tidak bisa langsung memvonis bahwa ada unsur-unsur ksengajaan dalam penyusunan anggaran yang nilainya miliaran rupiah. Apalagi penduduk Jakarta pasti tahu bahwa APBD daerah ini mencapai triliunan rupiah tiap tahunnya.
Karena ini zaman canggih yang ditandai dengan pemakaian komputer maka tentunya pembuatan konsep dasar anggaran di instansi mana pun juga seharusnya semakin mudah. Yang sangat penting adalah setiap data atau angka yang tercantum di dalamnya haruslah dicek atau dikoreksi beberapa kali untuk menghindari munculnya kesalahan.
Karena APBD sebuah provinsi pasti sangat besar, maka tentu pengecekan ulang merupakan hal yang amat penting. Koreksi harus dilakukan secara berjenjang sesuai dengan fungsi atau tugas masing-masing pegawai Bersama para atasannya.
Seorang juru ketik, misalnya, bukan hanya memiliki tugas utama untuk mengetik saja, tetapi juga harus memahami atau mengerti bahwa ketikannya itu sudah benar atau tidak. Sementara itu, berbagai pejabat harus membaca secara teliti apakah hasil pengetikan itu sudah benar-benar tanpa kesalahan apa pun juga dan sesuai dengan tujuan dasarnya, termasuk misalnya bagi para siswa.
Baca juga: Anies sebut kelemahan e-budgeting dikoreksi bukan diviralkan
Baca juga: DKI Jakarta akan sesuaikan anggaran lem aibon hingga pulpen
Baca juga: Fraksi Nasdem DKI sarankan Anies buka rancangan anggaran ke publik
Jika kembali masalah mendasarnya, maka anggaran pembelian lem (perekat) itu, maka masyarakat tentu berhak bertanya-tanya apakah seberapa banyak perekat itu benar-benar akan dibeli dan untuk siapa saja lem itu akan dibagi-bagikan.
Normalkah perekat Rp82 miliar itu benar-benar akan dimanfaatkan oleh para pegawai di lingkungan pemerintahan DKI Jakarta. Kemudian juga apakah pembelian alat tulis kantor seperti pulpen dan pensil benar-benar akan dibagi-bagikan kepada seluruh siswa di ibu kota tercinta ini?
Masyarakat tentu belum boleh curiga kepada para pejabat yang seharusnya bertanggung jawab terhadap pembuatan atau penyusunan e-budgeting ini. Akan tetapi jika masyarakat mengacu kepada begitu banyak pejabat yang telah terbuktii "mencuri" uang negara yang artinya uang rakyat maka kecurigaan itu pada dasarnya berhak dimunculkan.
Karena itu, niat Gubernur Anies Baswedan untuk memperbaiki sistem e-budgeting patut dihargai, apalagi cara konvensional juga masih dipakai/dimanfaatkan untuk mencegah terjadinya peluang korupsi.
APBN tahun anggaran 2020 direncanakan pemerintah pusat akan lebih dari Rp2.000 triliun dan jika ditambah dengan APBD tingkat provinsi yang jumlahnya 34 buah maka nilainya akan sangat besar sehingga bisa saja terjadi peluang korupsi.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sudah menyatakan bahwa Kemendagri tidak berhak mengoreksi APBD provinsi mana pun juga apalagi jika masih dibahas oleh Bappeda. Karena itu, permintaan mantan Kapolri itu agar penyusunan APBD-APBD harus masuk akal (rasional), amat pantas untuk benar-benar diterapkan.
Seluruh jajaran pegawai negeri harus benar-benar bekerja sepenuh hati untuk rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak mengambil keuntungan untuk kantong pribadinya masing-masing. Perjalanan NKRI masih sangat panjang apalagi jutaan orang di Tanah Air masih hidup dalam kemiskinan sehinga tak pantaslah ada pegawai pemerintah yang korupsi atau pun bermaksud korupsi. Kasus anggaran DKI Jakarta selayaknya tidak terjadi di provinsi-provinsi lain ataupun di ratusan kabupaten/kota, agar tidak memusingkan dan menambah persoalan bangsa.
*) Arnaz F Firman adalah wartawan LKBN ANTARA tahun 1982-2018, pernah meliput acara kepresidenan tahun 1987-2009
Copyright © ANTARA 2019
Tags: