Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Komisi D DPRD Jember menyesalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang akan diberlakukan pada 1 Januari 2020 karena banyak warga yang mengeluhkan tingginya kenaikan iuran tersebut dan dampaknya sangat dirasakan bagi pekerja bukan penerima upah (PBPU) atau peserta mandiri.

"Kenaikan iuran BPJS kesehatan memang sungguh sangat mengejutkan karena naiknya hingga dua kali lipat," kata Ketua Komisi D DPRD Jember Hafidi di Jember, Senin.

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yakni kenaikan iuran BPJS yang diterapkan pada 1 Januari 2020 dengan rincian iuran kepesertaan kelas I sebesar Rp160 ribu, kelas II sebesar Rp110 ribu, dan kelas III sebesar Rp42 ribu yang ditetapkan untuk peserta pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja.

"Di sisi lain, kenaikan iuran itu sebagai upaya pemerintah untuk menyelamatkan lembaga BPJS karena utang di semua rumah sakit selalu menjadi masalah dalam mengurai layanan kesehatan," tuturnya.

Menurutnya hal tersebut tentu sangat berdampak terhadap sebuah proses adminitrasi di semua titik layanan kesehatan dan kenaikan iuran tersebut berdampak pada semakin banyaknya peserta yang menunggak iuran.

"Ketika Iurannya tidak dinaikkan saja masih muncul angka tunggakan dan terbukti ketika pemegang kartu mandiri harus balik arah untuk mencari cara agar bisa gratis mendapatkan layanan kesehatan di rumah sakit," katanya.

Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jember itu memberikan contoh banyak warga yang beralih menggunakan surat keterangan miskin (SKM) untuk mendapatkan layanan kesehatan gratis, meskipun tidak semudah yang dibayangkan masyarakat.

Baca juga: BPJS:Rp151,24 triliun digelontorkan pemerintah biayai JKN warga miskin


"Saat iuran masih belum naik saja ada indikasi tunggakan iuran peserta yang tidak terbayar, apalagi kini naik hingga dua kali lipat, sehingga risiko yang akan muncul justru akan menambah persentase jumlah utang BPJS itu sendiri," ujarnya.

Hafidi menjelaskan pemerintah berharap bisa menutupi defisit lembaga BPJS Kesehatan dengan menaikkan iuran, namun hal tersebut belum tepat dalam kondisi ekonomi masyarakat yang kini sedang lesu.

"Misalnya di Jember yang mayoritasnya adalah petani. Ketika harga gabah, kopi, dan tembakau anjlok, maka masyarakat tidak akan berpikir untuk bayar iuran BPJS, namun mereka akan fokus untuk membayar utang akibat gagal pertanian," katanya.

Hal senada juga disampaikan oleh salah seorang peserta mandiri, Abrina Jayasari yang mengeluhkan tingginya kenaikan iuran BPJS Kesehatan karena ia harus menanggung empat orang dalam satu KK yang didaftarkan sebagai peserta.

"Naiknya iuran sampai dua kali lipat, sehingga sangat memberatkan bagi peserta mandiri. Apalagi pelayanan di sejumlah rumah sakit terhadap peserta BPJS Kesehatan juga kurang bagus," ujarnya.

Sementara Kepala BPJS Kesehatan Cabang Jember Antokalina Sari Verdiana mengatakan jumlah peserta mandiri atau pekerja bukan penerima upah di Kabupaten Jember yang tercatat sebesar 13 persen atau 201.198 orang, namun secara keseluruhan beban kenaikan iuran tersebut ditanggung oleh pemerintah.

"Kontribusi pemerintah terhadap penyesuaian iuran BPJS Kesehatan yang paling besar karena pada prinsipnya komponen kepesertaan JKN-KIS yang ditanggung pemerintah lebih besar dibandingkan peserta mandiri atau pekerja bukan penerima upah (PBPU)," katanya.


Baca juga: Cara turun kelas kepesertaan jelang kenaikan iuran BPJS Kesehatan