Jakarta (ANTARA) - Radikalisme acap kali jadi topik pembicaraan hangat dalam berita pagi akhir-akhir ini. Bila menengok ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti radikalisme berarti paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara drastis.

Radikalisme memiliki kata dasar radikal yang artinya cenderung positif, yaitu sebuah adjektiva yang menjelaskan sesuatu secara mendasar (sampai pada hal yang prinsip). Contoh penggunaan kata radikal dalam kalimat, seperti perubahan yang radikal.

Masih menurut KBBI, kata radikal dalam politik memiliki makna amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan). Radikal juga berarti maju dalam berpikir atau bertindak.

Pada rapat terbatas di Kantor Presiden RI, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelaskan pemerintah harus melakukan upaya serius untuk memberantas radikalisme.

Saat itu, Presiden meminta pilihan pengganti sebagai sebutan bagi para pelaku radikalisme. "Apakah ada istilah lain yang bisa kita gunakan, misalnya manipulator agama?" kata Presiden di Jakarta, Kamis.

Baca juga: Jokowi cari alternatif sebutan radikalis jadi "manipulator agama"

Penggantian frasa pelaku radikalisme menjadi frasa lain seperti manipulator agama yang diusulkan oleh Presiden Joko Widodo, menurut Pimpinan Program Studi Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran Dr. Lina Meilinawati Rahayu, adalah usaha untuk memperhalus makna.

Apakah makna pelaku radikalisme sebegitu kasarnya sehingga harus diganti dengan istilah manipulator agama?

Dalam penggantian penggunaan istilah kata pelaku radikal menjadi manipulator agama bisa disebabkan karena kata radikal sendiri memiliki makna yang amat keras, demikian pendapat dosen Linguistik Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang, Febri Taufiqurrahman kepada ANTARA.

Manipulator agama, menurut Febri, memiliki makna orang yang sedang memanipulasi atau memprovokasi agama dengan melakukan tindakan yang melanggar aturan hukum dan agama.

"Jadi, Presiden mungkin ingin menyebut orang-orang yang selama ini membuat kerusuhan mengatasnamakan agama itu adalah manipulator agama, bukan radikalisme agamaa," kata Febri.

Padahal, jika Presiden ingin menyatakan sesuatu yang buruk dan berlebihan yang saat ini masih menggunakan kata radikal, ada lema yang lebih cocok dan sesuai dengan artinya. Kata itu adalah sektarian.

Baca juga: Pakar sebut penggantian "radikalisme" untuk perhalus makna

Dalam KBBI, lema sektarian diartikan sebagai berkaitan dengan anggota (pendukung, penganut) suatu sekte atau mazhab, picik, terkungkung pada satu aliran saja, anggota kelompok keagamaan, orang yang sangat fanatik pada suatu doktrin dan menolak paham yang berbeda dengannya.

Kata sektarianisme sendiri diartikan sebagai semangat membela suatu sekte atau mazhab, kepercayaan, atau pandangan agama yang berbeda dari pandangan agama yang lebih lazim diterima oleh para penganut agama tersebut, aliran dalam politik yang antikomunikasi, reaksioner, amat emosional, tidak kritis, angkuh, dan antidialog.

Maka, ketika suatu kebijakan berhubungan dengan pencegahan fanatisme agama dan terorisme, sudah seharusnya kata sektarian dan sektarianisme yang digunakan.

Istilah radikalisasi dan pelaku radikalisme, misalnya, harusnya diubah menjadi sektarianisasi dan sektarian karena frasa itulah yang sebenarnya menggambarkan pengertian yang tepat dan tidak salah. Kata radikal sepatutnya diarahkan pada sesuatu yang positif, seperti contohnya radikalisasi Pancasila.

Lo, maksudnya bukan Pancasila itu radikal, ya. Bukan itu!

Menurut Mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Yudi Latif, radikalisasi Pancasila itu dimaksudkan untuk membuat Pancasila menjadi lebih operasional dalam kehidupan dan ketatanegaraan, sanggup memenuhi kebutuhan praktis atau pragmatis, dan bersifat fungsional.

Jadi, radikal bisa digunakan untuk merujuk sesuatu yang positif seperti Pancasila.


Manipulator Agama

Nah, kembali lagi ke pernyataan Presiden Jokowi soal upaya memberantas radikalisme atau bahasa lain beliau manipulator agama.

Agama mana yang dimaksud? Kalau menyebut manipulator agama, seharusnya berlaku universal. Tidak seharusnya diidentikkan dengan umat Islam saja.

Jokowi meminta menteri-menteri terkait untuk mencegah penyebaran paham radikal yang menyalahgunakan agama.

"Saya serahkan kepada Pak Menko Polhukam untuk mengkoordinasikan masalah ini," kata Presiden merujuk kepada Mahfud MD.

Namun, Mahfud MD malah menyoroti ceramah agama di masjid pemerintah yang notabene merupakan sarana ibadah umat Islam.

Ia meminta agar masjid mensyiarkan dan membangun kedamaian serta kesejukan.

Baca juga: Penggantian "radikalisme" perlu diperjelas agar tak sempitkan makna

"Pesan saya ke masjid agar masjid-masjid pemerintah itu dikelola secara baik sebagai pembawa pesan agama. Apa pesan agama paling pokok? Membangun kedamaian di hati, membangun persaudaraan sesama umat manusia," kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat.

Mahfud mengatakan masjid itu bukan tempat untuk membangun pertentangan dan permusuhan. Akan tetapi, masjid dan pengajian di kantor-kantor itu untuk membangun persaudaraan dan kesejukan.

Mahfud mungkin lupa, manipulator agama marak beraksi ketika momen-momen politik seperti pemilihan umum akan berlangsung.

Menurut Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin, pada tahun politik, potensi kerukunan antarumat itu bisa makin terganggu dan berat.

Din menyebutkan ada faktor nonagama yang kerap memicu rusaknya kerukunan beragama di tengah masyarakat, di samping faktor ekonomi dan kesenjangan sosial, yaitu faktor politik.

"Ada politik yang bersifat sektarian maka kerukunan sejati itu sulit terwujud," kata Din pada tanggal 31 Oktober 2017.

Maka, kata Din lagi, semua pihak harus segera tarik umat masing-masing pada kesadaran kolektif bahwa beda agama, suku, ada perbedaan di antara anak bangsa ini tetapi banyak persamaan di antara mereka.

Mahfud mungkin tak bermaksud menyinggung umat Islam. Namun, karena beliau adalah tokoh Islam, mayoritas penduduk Indonesia juga umat Islam, Mahfud tidak salah bila menyoroti ceramah agama di masjid.

Namun, warganet di Twitter sempat kesal dengan pernyataannya itu hingga Mahfud pun sempat menjadi trending topic di Twitter. Pasalnya, banyak yang tidak suka dengan "kecentilan" Mahfud menyentil perilaku umat Islam saja. Padahal, di luar sana yang radikal bukan cuma umat Islam.

Kendati demikian, manipulator agama harus diberantas agar agama tidak menjadi sesuatu yang tercela. Akan tetapi, sentilan Mahfud agaknya kurang tepat karena bisa menjadikan justifikasi radikal bagi umat tertentu di tengah masyarakat.

Menghormati HAM

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) Taufan Damanik mengatakan bahwa negara seharusnya berfungsi menghormati dan melindungi hak warga negaranya.

Damanik mengatakan bahwa pelaksana negara jangan salah kaprah. Mereka, kata Damanik, kadang suka salah kaprah. Pelaksana negara itu belum apa-apa pikirannya sudah melarang-larang, membatas-batasi, dan mengurang-ngurangi.

"Tugasmu itu yang pertama untuk menghormati. Saya sebagai warga negara punya hak untuk berekspresi. Negara hormati dulu," kata Damanik di dalam Seminar Nasional di Universitas Atma Jaya Jakarta, Sabtu (2-11-2019).

Menurut Damanik, karena terlalu khawatir kebebasan berekspresi melanggar kebebasan orang lain, terkadang membuat aparatur negara langsung melarang-larang.

"Jadi, aneh ini mindset atau mentalitas dari pelaksana negara. Makanya, dalam beberapa waktu terakhir, catatan nasional maupun internasional, ruang demokrasi kita itu menyempit," kata Damanik.

Ia menyayangkan sikap sebagian pelaksana negara yang masih melarang-larang seperti salah satunya melarang celana cingkrang dan cadar. Padahal, sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, hal itu tidak tepat.

"Soalnya membayangkan orang harus seperti yang kita mau. Itu yang salah," katanya menegaskan.

Baca juga: Ahli bahasa: Sah saja mengganti 'radikalisme' jadi 'manipulator agama'

Memang sebetulnya, kata Damanik, kemerdekaan berekspresi itu bukanlah kemerdekaan yang absolut atau tidak bisa dibatasi.

Oleh karena itu, pertama bisa ditunda, bisa dikurangi, bisa dibatasi. Yang pakai melarang-larang itu, inilah dia logikanya. Akan tetapi, prosedur dan mekanisme atau prasyarat untuk melakukan itu ada.

"Jadi, bukan semena-mena, ketika saya jadi menteri, terus saya melarang-larang orang pakai celana cingkrang, apaan urusan, lo?" kata Damanik.

Prasyarat untuk membatasi kebebasan berekspresi, kata Damanik, pertama apabila mengganggu moral nasional. Misalnya, ketika tiba-tiba ada orang telanjang di muka umum, itu bisa dilawan karena terpaksa 'kan. Atas nama moral bangsa.

Prasyarat kedua, kata Damanik, apabila mengancam keselamatan nasional. Apabila kedua prasyarat itu dipegang teguh, akan aman saja demokrasi di negara Indonesia.

Adanya provokasi, menghasut, ajakan-ajakan membenci suku dan agama tertentu, ini adalah awal mula adanya radikalisasi dan intoleransi menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika Rosarita Niken Widiastuti ketika ditemui pada kegiatan bertajuk “Merajut Kebangsaan Melalui Keterbukaan Informasi” di pintu Silang Monas Barat Daya depan bundaran patung kuda Jalan Medan Merdeka Barat Jakarta, Minggu (3-11-2019).

"Tidak mau menghargai orang lain, tidak mau menghormati dan saling menghormati, yang ada adalah bahwa saya paling benar, saya yang harus diikuti oleh semuanya. Itu adalah bibit-bibit dari radikalisasi," ujar Niken.

Oleh karena itu, semua pihak harus menyadari kalau Indonesia itu ialah negara Bhinneka Tunggal Ika yang memiliki banyak suku, agama, ras, dan golongan namun tetap dapat hidup bersama. Oleh karena itu, semua anak bangsa ini perlu bergandeng tangan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.