Jakarta (ANTARA) - PT Krakatau Steel tbk akhirnya berhasil memecahkan rekor untuk produksi baja lembar panas (hot rolled coil, HRC) mencapai 203 ribu ton lebih atau tepatnya 203.315,55 ton pada Oktober 2019.

Menurut Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, Silmy Karim rekor produksi HRC sebelumnya dicapai pada Desember 20017 mencapai 200 ribu ton.

"Capaian tahun ini menunjukkan kalau proses transformasi dan restrukturisasi yang kami jalankan telah membuahkan hasil," kata Silmy dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.

Menurut dia, hampir keseluruhan dari produksi merupakan baja yang sudah dipesan, sehingga Krakatau Steel mampu menjaga stock inventory pada tingkat yang efisien.

Selain itu, tambahnya, hasil ini juga menunjukkan komitmen manajemen dan karyawan dalam rangka mendukung proses transformasi agar Krakatau Steel sehat kembali.

Capaian produksi tersebut, juga diikuti dengan pengiriman produk jadi di bulan Oktober yang melebihi target, yakni mencapai 164.284 metrik ton kepada konsumen.

"Ini adalah angka tertinggi shipment sepanjang 2019. Sementara untuk kolektivitas pembayaran di bulan yang sama juga berhasil melampaui target," ujar dia.


Baca juga: Krakatau Steel ekspor baja hingga 60.000 ton ke Australia
Baca juga: Krakatau Steel lakukan restrukturisasi untuk tingkatkan daya saing

Dalam hal pengembangan kapasitas, saat ini tengah dilakukan pembangunan Hot Strip Mill#2 yang pada kuartal 4 2019 nanti akan selesai mechanical completion-nya.

Di awal 2020, pabrik SM#2 akan mulai produksi. Dengan adanya kedua pabrik HSM#1 dan HSM#2 ini, kapasitas produksi HRC meningkat menjadi 3,9 juta ton per tahun dan selanjutnya dapat dikembangkan menjadi 6,4 juta ton per tahun, jelasnya.

“Dengan beroperasinya HSM#2 maka kapasitas terpasang pabrik penghasil HRC di Indonesia sudah lebih besar daripada permintaan pasar, sehingga seluruh kebutuhan HRC dapat 100% dipasok dari dalam negeri. Tidak perlu impor,” tutur Silmy.

Silmy menyampaikan sejauh ini perseroan tidak memiliki masalah dalam hal produksi, masalah justru terjadi pada tata niaga dan impor baja nasional.

Dikatakannya, tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana menghentikan impor baja dan mewujudkan swasembada baja. Industri baja nasional belakangan ini menghadapi impor baja dengan cara circumvention (pengalihan HS code) sehingga tidak membayar bea masuk. Ini mematikan industri baja nasional.

"Kami berharap Pemerintah dapat melindungi investasi yang sudah masuk ke Indonesia melalui kebijakan tata niaga dan pengetatan ijin impor untuk meningkatkan utilisasi pabrik baja terintegrasi dari hulu hingga ke hilir”, ujar Silmy.

Baca juga: Asosiasi minta deregulasi impor baja perhatikan kondisi industri
Baca juga: Pengusaha minta pemerintah kendalikan impor baja