Tokyo (ANTARA) - Aktor Oka Antara sudah dua kali melenggang di karpet merah Tokyo International Film Festival (TIFF) alias Festival Film Internasional Tokyo. Tapi sebenarnya sudah ada tiga filmnya yang ditayangkan di ibu kota Negeri Sakura.

Tahun ini, Oka datang sebagai peran utama film laga "Foxtrot Six" yang menyuguhkan kisah fiksi mengenai Indonesia di masa depan. Oka berbincang-bincang dengan ANTARA di sela TIFF 2019, mulai dari caranya menyelami karakter yang berdialog dalam bahasa Inggris hingga rasanya bolak-balik ke festival film Jepang.


Tanya (T): Ini kali kedua Oka ke TIFF ya? Atau lebih?
Oka (O): Pernah filmnya tayang di TIFF tahun 2015 yang "Mencari Hilal" sutradara Ismail Basbeth. Tapi waktu itu saya enggak datang. Yang kedua film TIFF sendiri Asian Three Fold Mirror tahun lalu.

T: Jadi sudah biasa ya?
O: (Tertawa) Selalu menyenangkan karena banyak programmer yang sudah saya kenal, banyak sutradara yang saya ketemu saat event TIFF dan akhirnya keep in touch sama saya dan mengundang untuk datang ke gala premier film mereka yang jadi opening di TIFF...Jadi selain kerja saya juga senang bersosialisasi sama teman-teman yang pernah saya kenal sebelumnya. It's always fun to be back here.

T: Kayaknya jodoh banget ya sama Jepang? Dari "Killers", "Variable No.3" dan sekarang diundang lagi ke Jepang.
O: Iya nih mudah-mudahan bisa terus jodoh.

T: Di Foxtrot Six, dialognya bahasa Inggris. Bagaimana caranya menyelami karakter dengan bahasa yang bukan bahasa ibu?
O: Berangkat dari tahap pertama, muscle memory, lidahnya kita biasakan ngomong seperti yang ditulis di skenario. Ketika dialog itu sudah menjadi milik, sudah menjadi bagian dari kita, baru kita menyelami emosinya.

Untuk kita mendapatkannya, kita gak bisa langsung paralel jalan bareng seperti ngomong (dan mengekspresikan emosi dalam) bahasa Indonesia. Butuh adaptasi di dalam kepala yang prosesnya enggak pendek, panjang.

T: Apa dari karakter Angga yang menurut Oka menarik?
O: Dia berkutat di area abu-abu. Dia orang arogan padahal dia berasal dari nobody, bukan siapa-siapa, tapi dia bisa sampai ada di sebuah state of mind dia itu untouchable, enggak ada yang bisa mengalahkan dia.

Apa yang bikin manusia bisa bikin sesombong itu, enggak membumi dan merakyat. Itu yang bikin saya tarik kesimpulan ketika mengambil film 'Foxtrot Six' hampir setiap karakter memiliki gejolak abu-abu sendiri.

Sama seperti halnya kayak kita mau nanya, 'Manusia itu sebenarnya baik atau buruk sih?' Manusia menciptakan chaos, bisa menciptakan kelaparan. Zaman nabi, orang enggak ada ekspor impor makanan, tapi hidup baik-baik saja. (Krisis pangan dalam film)ini perbuatan yang dibuat oleh 2-3 persen orang yang punya ide menggerakkan industri tersebut...

Jangan sampai Angga yang bukan siapa-siapa, tahu rasanya miskin, kok dia menikmati komisi dari (orang yang berada di kalangan) satu persen ini. Bagaimana ya cara mengubah orang ini menjadi baik, sampai akhirnya dia mengorbankan diri, dia mau berjihad.

T: Oka sudah membintangi banyak film, ada preferensi genre?
O: Drama. Karena drama buat saya, saya bisa dapatkan sesuatu, memetik pelajaran akting, karena akting adalah pelajaran hidup yang sangat panjang, enggak ada habisnya.

Kalau martial art, gun training, sifatnya teknis, bisa terkikis waktu. Akting bisa dipakai kapan saja. Ketika kita mau aspirasikan main film lagi di usia berapa lah... dan seru saja sih untuk ada di sebuah kesempatan di set, adu akting dengan lawan main atau (akting) sendiri, namun kita bisa unjuk kebolehan bahwa kita sedang hanyut di dalam sebuah adegan dan kita melihat hasilnya, ini pengalaman sinema.






Baca juga: Bincang-bincang film "Foxtrot Six" di Festival Film Tokyo 2019

Baca juga: Oka Antara ingin kenalkan film Indonesia di Asia

Baca juga: Oka Antara lakoni adegan berbahaya di "Foxtrot Six"