Nusa Dua, Bali (ANTARA) - Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar menyatakan Indonesia merupakan pasar terbesar minyak sawit dan produk turunannya di dunia mengingat permintaan dalam negeri dari tahun ke tahun semakin meningkat.

Saat menjadi pembicara dalam 15th Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) and 2020 Price Outlook di Nusa Dua, Bali, Jumat, Wamenlu mengatakan, India menduduki urutan kedua pasar minyak sawit dunia kemudian disusul negara-negara lain seperti Eropa, Timur Tengah.

"Maka pemenuhan (kebutuhan) dalam negeri harus dipenuhi, baik untuk edible oil dan variasi turunannya, karena dihitung jangkauan 10 tahun ke depan mayoritas sawit yang dihasilkan akan terserap di dalam negeri," kata mantan Wakil Menteri Perdagangan itu.

Setelah memenuhi kebutuhan pasar domestik, lanjutnya, sisa produksi minyak sawit nasional dan turunnya baru dimanfaatkan untuk mencukupi pasar ekspor.

Baca juga: Strategi Gapki capai 100 persen tersertifikasi ISPO pada akhir 2020

Mahendra menyatakan, negara-negara di kawasan Asia Selatan seperti India, Pakistan dan Banglades merupakan pasar ekspor minyak sawit Indonesia di masa mendatang, karena permintaan yang terus bertumbuh.

"Dalam 7-10 tahun ke depan yang terbesar kontribusi ekonominya adalah negara berkembang bukan negara maju. 10 -15 tahun ke depan bukan negara-negara maju tapi negara berkembang yang harus dipenuhi," katanya.

Untuk itu, lanjut mantan Duta Besar RI untuk Amerika Serikat itu, Indonesia perlu memikirkan permintaan pasar global yang mana kebutuhan terhadap minyak nabati berkelanjutan sangat tinggi seiring pertumbuhan populasi dunia.

"Kita harus melakukan pendekatan, penjelasan dan inisiatif untuk mendorong terpenuhinya ​platform atau sistem yang bisa mendukung keberlanjutan seluruh minyak nabati. Dan sawit siap jadi pioneer (minyak nabati berkelanjutan)," katanya.

Terkait aspek lingkungan untuk memenuhi SDGs sebagaimana tuntutan negara-negara Eropa, Mahendra menyatakan, Pemerintah Indonesia terbuka dan ingin mendorong sebesar-besarnya langkah bersama internasional untuk benar-benar melakukan evaluasi dan kebijakan yg menyeluruh terhadap seluruh minyak nabati dilihat dari sisi lingkungan hidup dan SDGs.

Baca juga: Deputi Kemenko: kampanye negatif sawit tak boleh dibiarkan

Namun demikian, menurut dia, hal itu jangan hanya dilakukan dari satu sisi saja dan harus ilmiah, tidak mengada-ada serta dilihat dari berbagai faktor.

"Dilihat keseluruhan secara fair karena yg harus kita penuhi bukan pasar Eropa tapi pasar populasi dunia yang akan tumbuh terus dan membutuhkan minyak nabati dan harus direspon dengan minyak nabati berkelanjutan," katanya.

Dia menyatakan, jika bukan sawit untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati, maka setidaknya harus membuka 6-10 kali lahan lebih luas dari yang ada saat ini bahkan bisa menjadikan hutan Amazon hilang.

"