Akademisi: Bahasa adalah identitas bagi sebuah bangsa
1 November 2019 10:29 WIB
Sejumlah pejabat dari Badan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan secara resmi meluncurkan produk kebahasaan dan kesastraan di Puncak Peringatan Bulan Bahasa dan Sastra Tahun 2019 sekaligus Peringatan Sumpah Pemuda di Hotel Bidakara Grand Pancoran, Jakarta, Senin (28/10/2019). (ANTARA/Katriana)
Purwokerto (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Edi Santoso mengatakan bahasa adalah identitas paling verbal bagi sebuah bangsa sehingga harus terus dijaga eksistensinya.
"Bahasa itu identitas paling verbal bagi sebuah bangsa, dan bagi bangsa Indonesia yang multikultural, keberadaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan itu berkah yang luar biasa," katanya di Purwokerto, Jumat.
Koordinator program studi, Magister Ilmu Komunikasi Unsoed itu mengatakan, dengan beragamnya perbedaan yang ada, bangsa Indonesa sejatinya membutuhkan banyak pemersatu.
"Dan dengan brilian para pemuda di bulan Oktober 1928 mengikrarkan poin-poin pemersatu, yang di antaranya adalah bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, menariknya, mereka tidak menyatakan 'berbahasa satu bahasa Indonesia, tetapi satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia'," katanya.
Baca juga: Kantor Bahasa: Prinsip "trigatra" harus melekat di ruang publik
Dengan demikian, kata dia, bahasa daerah adalah realitas yang juga harus dipelihara. Keberadaannya sama pentingnya dengan bahasa Indonesia.
"Itu falsafah 'Bhinneka Tunggal Ika'," katanya.
Dia juga menambahkan, pada era informasi seperti sekarang ini, ada tantangan tersendiri untuk menjaga eksistensi bahasa Indonesia," katanya.
"Tantangan kita saat ini, di era informasi ini, ketika tak ada lagi batas-batas penyekat antarbangsa, adalah menjaga agar bahasa Indonesia tetap eksis," katanya.
Sementara itu, dia juga menambahkan, upaya membakukan kata-kata yang berasal dari bahasa asing harus mempertimbangkan berbagai aspek.
"Kalau dalam perspektif komunikasi, bahasa yang baik itu bahasa yang komunikatif, yang mudah dipahami. Misalnya kita biasa mengatakan mouse untuk perangkat komputer, kemudian dibakukan menjadi 'tetikus'. Atau ada juga mikropon, dibakukan menjadi 'pelantang', perlu dipertimbangkan apakah bagi penutur mudah untuk dipahami," katanya.
Menurut dia, budaya asing bisa dianalogikan seperti banjir sehingga untuk bisa bertahan di tengah gempuran banjir mungkin ada bagian-bagian yang harus dilepas, seperti beberapa jendela, agar air bisa mengalir dan bangunan tetap berdiri.
"Poin saya, mungkin jangan ditabukan masuknya bahasa-bahasa serapan, misalnya dari bahasa Inggris, apalagi itu sudah dikenal luas oleh penutur bahasa Indonesia. Penyerapan bahasa asing itu adalah bagian dari strategi bahasa Indonesia untuk terus bertahan," katanya.
Baca juga: Kemendikbud : Bahasa dan sastra terus berkembang
"Bahasa itu identitas paling verbal bagi sebuah bangsa, dan bagi bangsa Indonesia yang multikultural, keberadaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan itu berkah yang luar biasa," katanya di Purwokerto, Jumat.
Koordinator program studi, Magister Ilmu Komunikasi Unsoed itu mengatakan, dengan beragamnya perbedaan yang ada, bangsa Indonesa sejatinya membutuhkan banyak pemersatu.
"Dan dengan brilian para pemuda di bulan Oktober 1928 mengikrarkan poin-poin pemersatu, yang di antaranya adalah bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, menariknya, mereka tidak menyatakan 'berbahasa satu bahasa Indonesia, tetapi satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia'," katanya.
Baca juga: Kantor Bahasa: Prinsip "trigatra" harus melekat di ruang publik
Dengan demikian, kata dia, bahasa daerah adalah realitas yang juga harus dipelihara. Keberadaannya sama pentingnya dengan bahasa Indonesia.
"Itu falsafah 'Bhinneka Tunggal Ika'," katanya.
Dia juga menambahkan, pada era informasi seperti sekarang ini, ada tantangan tersendiri untuk menjaga eksistensi bahasa Indonesia," katanya.
"Tantangan kita saat ini, di era informasi ini, ketika tak ada lagi batas-batas penyekat antarbangsa, adalah menjaga agar bahasa Indonesia tetap eksis," katanya.
Sementara itu, dia juga menambahkan, upaya membakukan kata-kata yang berasal dari bahasa asing harus mempertimbangkan berbagai aspek.
"Kalau dalam perspektif komunikasi, bahasa yang baik itu bahasa yang komunikatif, yang mudah dipahami. Misalnya kita biasa mengatakan mouse untuk perangkat komputer, kemudian dibakukan menjadi 'tetikus'. Atau ada juga mikropon, dibakukan menjadi 'pelantang', perlu dipertimbangkan apakah bagi penutur mudah untuk dipahami," katanya.
Menurut dia, budaya asing bisa dianalogikan seperti banjir sehingga untuk bisa bertahan di tengah gempuran banjir mungkin ada bagian-bagian yang harus dilepas, seperti beberapa jendela, agar air bisa mengalir dan bangunan tetap berdiri.
"Poin saya, mungkin jangan ditabukan masuknya bahasa-bahasa serapan, misalnya dari bahasa Inggris, apalagi itu sudah dikenal luas oleh penutur bahasa Indonesia. Penyerapan bahasa asing itu adalah bagian dari strategi bahasa Indonesia untuk terus bertahan," katanya.
Baca juga: Kemendikbud : Bahasa dan sastra terus berkembang
Pewarta: Wuryanti Puspitasari
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019
Tags: