Jakarta (ANTARA) - Pakar kebijakan publik Prof Eko Prasojo mengatakan pemerintah harus meninggalkan gaya pengelolaan model lama pada era keterbukaan informasi seperti saat ini.

"Pada era keterbukaan informasi seperti saat ini masyarakat sudah sadar dan selalu memperhatikan apa yang dilakukan pemerintah. Sayangnya, yang jadi masalah adalah pemerintah yang belum banyak berubah baik dari kompetensi maupun budaya kerjanya," ujar Eko dalam konferensi internasional "Demokrasi dan Akuntabilitas Publik di Era Digital" yang diselenggarakan Universitas Terbuka di Tangerang Selatan, Banten, Kamis.

Indonesia memiliki kekuatan pada masyarakatnya yang sudah sadar maupun berdaya. Hal itu dikarenakan pengaruh sosial media maupun penguatan yang terjadi di masyarakat baik positif dalam bentuk yang konstruktif atau negatif seperti demonstasi.

Baca juga: Akademisi: Masyarakat memiliki fungsi pengawasan yang kuat

"Generasi sekarang ini, Y maupun Z memang sedikit unik. Mereka apatis terhadap isu pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden, tapi begitu ada isu nasional misalnya terkait RUU KPK, mereka diam-diam turun ke lapangan (demonstrasi)," terang Eko yang juga Dekan Ilmu Administrasi Universitas Indonesia itu.

Keterbukaan informasi publik yang terjadi saat ini juga didorong banyaknya generasi muda yang melek informasi serta tak lepas dari gawai. Jumlahnya generasi muda tersebut mencapai 62 persen populasi Indonesia.

"Jadi pemerintah tidak bisa lagi menutup diri dari masyarakat," tambahnya.

Menurut dia, yang terjadi saat ini pemerintah sudah membuat sistem digital, akan tetapi tidak diiringi dengan peningkatan kompetensi dan budaya kerja yang baik.

Di sejumlah daerah, jelas dia masih banyak ditemui rumitnya sistem birokrasi yang tidak transparan, atau dengan kata lain meskipun sistemnya sudah bagus tapi yang menggerakkan tetap manusia dengan budaya lama.

Baca juga: Sri Mulyani minta pejabat Kemenkeu tidak pasif

Hal tersebut, lanjut Eko dikarenakan hilangnya satu fase yakni pembentukan budaya di Tanah Air. Kondisi itu berbeda dengan negara lain seperti Singapura dan Korea Selatan yang sudah melakukan fase budaya sepanjang era 1980-an hingga 2000-an.

"Prosesnya cukup lama, karena ini terkait dengan penanaman nilai budaya atau karakter suatu bangsa. Di Indonesia yang ada, kita membangun sistem dan infrastruktur tapi lupa membangun budaya bangsa," terangnya.

Dia memberi contoh Singapura, yang menanamkan budaya tidak korupsi atau kejujuran sejak usia dini. Hasilnya bisa dirasakan, yang mana masyarakat tidak mau mengambil yang bukan miliknya.

"Persoalan bonus demokrasi bukan hanya soal kompetensi tenaga kerja, tetapi bagaimana budaya tenaga kerja itu. Jangan sampai generasi muda yang mencapai 62 persen ketularan perilaku buruk generasi sebelumnya," tambahh Eko.

Baca juga: Sri Mulyani sanggupi tantangan soal keterbukaan informasi