Tanjungpinang (ANTARA) - Abdul Malik, budayawan sekaligus penulis buku sejarah melayu Kepri, mengelompokan sejarah lahirnya Bahasa Indonesia pada puncak ketiga yang dikenal dengan Zaman Riau-Johor. Teraju kepemimpinan Melayu dilanjutkan oleh putra Sultan Mahmud yang bergelar Sultan Ala’uddin Riayat Syah II.
"Beliau mendirikan negara Melayu baru yang pemerintahannya berpusat di Johor pada 1530. Beliau berkali-kali berusaha untuk merebut kembali Melaka atau Malaka, tetapi tetap tak berjaya," ucapnya.
Walau demikian, menurut Malik, di Johor ini dilakukan pembinaan dan pengembangan bahasa dan kesusastraan untuk menggantikan khazanah Melaka yang telah musnah. Di samping itu, diterbitkan pula karya-karya baru. Di antara karya tradisi Johor itu yang terkenal ialah Sejarah Melayu (Sulatu’s Salatin ‘Peraturan Segala Raja’) tulisan Tun Mahmud Sri Lanang gelar Bendahara Paduka Raja. Karya yang amat masyhur ini mulai ditulis di Johor pada 1535 selesai pada 1021 H. bersamaan dengan 13 Mei 1612 di Lingga.
Bahasa yang digunakan dalam tradisi Johor ini biasa disebut bahasa Melayu Riau-Johor atau bahasa Melayu Johor-Riau. Di Indonesia bahasa itu dikenal dengan nama bahasa Melayu Riau, sedangkan di Malaysia biasa juga disebut bahasa Melayu Johor, selain sebutan bahasa Melayu Johor-Riau.
Misi Belanda di bawah pimpinan William Velentijn yang berkunjung ke Riau (Kepulauan) pada 2 Mei 1687 mendapati Riau sebagai bandar perdagangan yang maju dan ramai. Orang-orang dari pelbagai penjuru dunia datang ke sana dan mereka terkagum-kagum akan kepiawaian orang Riau dalam bidang perdagangan dan kelautan umumnya.
Pada 1778 perdagangan di Kerajaan Riau bertambah maju dengan pesat. Dengan sendirinya, rakyat hidup dengan makmur, yang diikuti oleh kehidupan beragama (Islam) yang berkembang pesat. Kala itu pemerintahan dipimpin oleh Raja Haji, Yang Dipertuan Muda Riau IV. Raja Haji pulalah yang membangun koalisi Nusantara yang terdiri atas Batu Bahara, Siak, Indragiri, Jambi, pesisir Kalimantan, Selangor, Naning, dan Rembau, bahkan mencoba berhubungan dengan para raja di Jawa dalam melawan kompeni Belanda untuk membela muruah bangsanya.
Akhirnya, Raja Haji mati syahid di medan perang pada 19 Juni 1784 di Teluk Ketapang.
Menurut Francois Valentijn, pendeta sekaligus pakar sejarah berkebangsaan Belanda, pada abad ke-18 bahasa Melayu di bawah Kerajaan Riau-Johor telah mengalami kemajuan pesat dan telah menyamai bahasa-bahasa Eropa. Berikut ini penuturannya, seperti dikutip oleh Nik Sapiah Karim dkk., 2003:14 dan Hassim dkk., 2010:4) dalam bahasa Melayu Malaysia.
“Bahasa mereka, Bahasa Melayu, bukan sahaja dituturkan di daerah pinggir laut, tetapi juga digunakan di seluruh Kepulauan Melayu dan di segala negeri Timur, sebagai suatu bahasa yang difahami di mana-mana sahaja oleh setiap orang, tidak ubah seperti bahasa Prancis atau Latin di Eropa, atau sebagai bahasa Lingua Franca di Itali dan di Levant. Sungguh luas tersebarnya bahasa Melayu itu sehingga kalau kita memahaminya tidaklah mungkin kita kehilangan jejak, kerana bahasa itu bukan sahaja difahami di Parsi, bahkan lebih jauh dari negeri itu, dan di sebelah timurnya sehingga Kepulauan Filipina," tuturnya.
Malik menjelaskan bahwa keterangan Francois Valentijn itu mempertegas Bahasa Melayu telah sejak lama menjadi bahasa ibu atau bahasa pertama masyarakat di Kepulauan Melayu. Bersamaan dengan itu, Bahasa Melayu bukan pula baru digunakan sebagai bahasa kedua oleh seluruh penduduk Nusantara ini.
Hal ini perlu digarisbawahi dalam kita menyikapi persilangan pendapat tentang asal-usul bahasa Indonesia karena ada sarjana yang mengemukakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari pijin atau kreol Melayu. Pada bagian selanjutnya persoalan ini dibahas kembali. Pada 1824, melalui Treaty of London (Perjanjian London), Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang dibagi dua. Riau-Lingga berada di bawah Belanda, sedangkan Johor-Pahang di bawah Inggris.
Pada permulaan abad ke-19 di Singapura bersinar kepengarangan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Buah karyanya yang kesemuanya dalam bahasa Melayu, antara lain, Syair Singapura Terbakar (1830), Kisah Pelayaran Abdullah dari Singapura ke Kelantan (1838), Dawa ul Kulub (?), Syair Kampung Gelam Terbakar (1847), Hikayat Abdullah (1849), Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah (1854). Selain itu, karya-karya terjemahannya, antara lain, Hikayat Pancatanderan (1835), Injil Matheus (bersama Thomsen), Kisah Rasul-Rasul, dan Henry dan Pengasuhnya (bersama Paderi Keasberry).
"Karya-karya Abdullah itu penting artinya bagi pengembangan bahasa Melayu, apalagi karya-karyanya itu tak lagi bersifat istana sentris, sebagai langkah awal menuju tradisi Melayu modern," ujarnya.
Pusat Tamadun Melayu
Puncak utama dalam sejarah Bahasa Indonesia dikenal dengan Zaman Riau-Lingga, kata Malik.
Di Kerajaan Riau-Lingga pada pertengahan dan akhir abad ke-19 serta awal abad ke-20 kreativitas ilmu, pengetahuan, dan budaya mengalir dengan subur.
"Tak berlebihanlah apabila disebut bahwa pada abad itu Kerajaan Riau-Lingga menjadi pusat tamadun Melayu-Islam. Di antara para penulis dan karya-karyanya disenaraikan berikut ini," ucapnya.
Raja Ali Haji (1808—1873) paling masyhur di antara kaum intelektual Riau kala itu. Beliau menulis dua buah buku dalam bidang bahasa (Melayu), yaitu Bustanul Katibin (1857) dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858).
Buah karyanya yang lain dalam bidang hukum dan pemerintahan, yaitu Tsamarat Al-Muhimmah dan Muqaddima Fi Intizam, bidang sejarah Silsilah Melayu dan Bugis (1866) dan Tuhfat Al-Nafis (1865), bidang filsafat yang berbaur dengan puisi Gurindam Dua Belas (1847), bidang sastra (puisi), yang ada juga berbaur dengan bidang agama Syair Abdul Muluk (1846), Syair Sinar Gemala Mestika Alam, Syair Suluh Pegawai, dan Syair Siti Sianah.
Karyanya yang lain ialah Al-Wusta, Al-Qubra, dan Al-Sugra. Dia juga diperkirakan menulis naskah Peringatan Sejarah Negeri Johor. Abu Muhammad Adnan menghasilkan karya asli dan terjemahan.
Karyanya dalam bidang bahasa adalah Kitab Pelajaran Bahasa Melayu dengan rangkaian Penolong Bagi yang Menuntut Akan Pengetahuan yang Patut, Pembuka Lidah dengan Teladan Umpama yang Mudah, Rencana Madah pada Mengenal Diri yang Indah. Selain itu, dia juga menulis Hikayat Tanah Suci, Kutipan Mutiara, Syair Syahinsyah, Ghayat al-Muna, dan Seribu Satu Hari.
Penulis berikutnya Raja Ali Kelana. Dia menghasilkan karya dalam bidang bahasa, yaitu Bughiat al-Ani Fi Huruf al-Ma’ani.
Karyanya yang lain ialah Pohon Perhimpunan, Perhimpunan Pelakat, Rencana Madah, Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas, dan Percakapan Si Bakhil.
"Penulis lain yang juga sangat dikenal ialah Haji Ibrahim. Dari penulis ini, Kepulauan Riau mewarisi paling tidak lima buah buku. Karyanya dalam bidang bahasa ialah Cakap-Cakap Rampai-Rampai Bahasa Melayu-Johor (dua jilid; penerbitan pertama 1868 dan kedua 1875, di Batavia)," katanya.
Karya-karyanya yang lain ialah Perhimpunan Pantun-Pantun Melayu, Hikayat Raja Damsyik, Syair Raja Damsyik, dan Cerita Pak Belalang dan Lebai Malang. Raja Ahmad Engku Haji Tua (ayahnda Raja Ali Haji menulis tiga buah buku: (1) Syair Engku Puteri, (2) Syair Perang Johor, dan (3) Syair Raksi. Dia juga mengerjakan kerangka awal buku Tuhfat al-Nafis yang kemudian disempurnakan dan diselesaikan oleh anaknya, Raja Ali Haji.
Penulis yang lain adalah Raja Haji Daud, saudara seayah Raja Ali Haji. Dia menulis buku (1) Asal Ilmu Tabib dan (2) Syair Peperangan Pangeran Syarif Hasyim.
Raja Hasan, anak laki-laki Raja Ali Haji, diketahui menulis sebuah syair. Syair Burung nama gubahannya itu.
"Pengarang berikutnya adalah Umar bin Hasan. Dia menulis buku Ibu di dalam Rumah Tangga. Masih banyak karya lainnya," katanya.
Untuk mengoptimalkan kreativitas intelektual dan kultural mereka, para cendekiawan dan budayawan Kerajaan Riau-Lingga itu mendirikan pula Rusydiyah Klab pada 1880. Rusydiyah Klab merupakan perkumpulan cendekiawan Riau-Lingga, tempat mereka membahas berbagai hal yang berkaitan dengan ihwal pekerjaan mereka itu.
"Dunia kepengarangan tak akan lengkap tanpa percetakan. Sadar akan kenyataan itu, kerajaan mendirikan percetakan Rumah Cap Kerajaan di Lingga, Mathba’at Al-Riauwiyah di Penyengat, dan Al-Ahmadiyah Press di Singapura. Dengan adanya ketiga percetakan itu, karya-karya Riau-Lingga itu dapat dicetak dengan baik, yang pada gilirannya disebarluaskan," katanya.
Malik mengemukakan Bahasa Melayu yang dibina dan dikembangkan pada masa Imperium Melayu sejak abad ke-14 sampai dengan abad ke-19 itu disebut bahasa Melayu klasik. Ciri utamanya ialah begitu melekat dan bersebatinya bahasa Melayu itu dengan Islam.
"Oleh sebab itu, tamadun yang dinaunginya terkenal dengan sebutan tamadun Melayu-Islam. Dari tamadun itulah bangsa Melayu mewarisi tulisan Jawi atau tulisan Arab-Melayu," ucapnya.
Pada masa pendudukannya di Nusantara ini, Pemerintah Kolonial Belanda berkali-kali berusaha untuk mengatasi kedudukan istimewa Bahasa Melayu, yang hendak digantikannya dengan bahasa Belanda. Ketika pada 1849 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah bagi orang Jawa, muncullah persoalan bahasa: bahasa apakah yang harus digunakan sebagai bahasa pengantar?
"Terjadilah perselisihan pendapat. Akan tetapi, Gubernur Jenderal Rochussen dengan tegas berpandangan bahwa pengajaran itu harus diantarkan dengan bahasa Melayu karena sudah menjadi alat komunikasi di seluruh Kepulauan Hindia," tutur Malik.
Menurut dia, ada satu hal lagi yang tak boleh dilupakan dalam kaitannya dengan perkembangan Bahasa Melayu di Nusantara ini. Walau di bawah penjajahan Belanda, bahasa Melayu tetap digunakan sebagai bahasa resmi antara pihak Belanda dan raja-raja serta pemimpin rakyat kala itu. Oleh C.A. Mees (1957:16) disimpulkannya, “Demikianlah bahasa Melayu itu mempertahankan sifat yang internasional dan bertambah kuat dan luaslah kedudukannya yang istimewa itu.”
Memasuki abad ke-20 Bahasa Melayu memainkan peran sebagai bahasa pergerakan nasional. Ketika Dewan Rakyat dilantik pada 1918, dimunculkan keinginan akan bahasa persatuan. Pada 25 Juni 1918, berdasarkan Ketetapan Raja Belanda, para anggota Dewan diberi kebebasan menggunakan bahasa Melayu.
"Begitulah selanjutnya, berdirinya penerbit Balai Pustaka dengan Majalah Panji Pustaka, Majalah Pujangga Baru, Surat Kabar Bintang Timur (Jakarta), Pewarta Deli (Medan), organisasi sosial dan politik, semua menggunakan bahasa Melayu," ujarnya.
Di antaranya, ada yang berdiri sebelum dan sesudah peristiwa Kongres Pemuda yang mencetuskan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, yang mengukuhkan bahasa Melayu Riau menjadi Bahasa Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang (1942—1945) kedudukan bahasa Melayu (Indonesia) menjadi lebih kuat lagi karena Pemerintah Kolonial Jepang tak mengizinkan bangsa Indonesia menggunakan bahasa Belanda.
Alhasil, dalam waktu hanya tujuh belas tahun sejak 1928 dengan menggunakan bahasa Indonesia (bahasa Melayu) sebagai alat perjuangan, bangsa Indonesia berhasil merebut kembali kemerdekaannya. Padahal, sebelum itu bangsa kita sudah berjuang lebih kurang 333 tahun, tetapi tak mampu mengusir penjajah.
Persilangan Pendapat
Masih terdapat perbedaan pendapat tentang asal-usul Bahasa Indonesia. Kesepakatan yang ada hanya bahwa Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Melayu. Bahasa Melayu yang mana? Para sarjana dan pakar bahasa mengikuti jalan mereka masing-masing.
Rogers T. Bell (1976:167) mengemukakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari variasi pijin bahasa Melayu. “Bahasa Indonesia berasal dari satu variasi pijin bahasa Melayu, yang dengan demikian, tak ada masyarakat pemakai B1-nya (bahasa pertama, bahasa ibu), lebih menyukainya daripada bahasa Jawa dengan 40 persen penutur. Pemilihan ini sangatlah menarik dari segi sosiolinguistik karena ini memperlihatkan keputusan untuk mengangkat satu bahasa pijin dan menyesuaikannya dalam pemakaian sebagai bahasa nasional, yaitu mengubahnya menjadi satu bahasa baku.”
Pendapat lain menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari variasi kreol bahasa Melayu. Sarjana yang berpandangan demikian, antara lain, R.A. Hall Jr. Soal mitos Bahasa Indonesia berasal dari pijin dan kreol Melayu sudah dibantah oleh Harimurti Kridalaksana (1991:176—177). Dalam bantahan itu disebutkan, antara lain, bahwa ketika diangkat menjadi bahasa Indonesia, 1928, bahasa Melayu secara substansiil sudah merupakan bahasa penuh (full-fledged language) dan menjadi bahasa ibu masyarakat yang tinggal di wilayah Sumatera sebelah timur, Riau, dan Kalimantan, dan sudah mempunyai kesusastraan yang berkembang—kesusastraan yang lazim disebut Angkatan Balai Pustaka atau Angkatan 20—yang berhubungan historis dengan kesusastraan Melayu Klasik yang sudah berkembang sejak abad ke-14. Selanjutnya, menurut Kridalaksana, “Sebelum menjadi bahasa Indonesia, bahasa Melayu telah mengalami proses standardisasi, terutama melalui sistem pendidikan kolonial Belanda.”
"Jelas dalam sejarah, bahasa Melayu telah sejak lama menjadi bahasa pertama atau bahasa ibu masyarakat Kepulauan Melayu. Bahasa Melayu pun telah sejak berabad-abad menjadi bahasa kedua penduduk seluruh nusantara, jauh sebelum diangkat menjadi bahasa Indonesia," kata Malik, yang juga Dekan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang.
Pada masa kegemilangannya bahasa Melayu telah sejak lama menjadi bahasa internasional. Francois Valentijn, bahkan, mengatakan bahwa sejak abad ke-18 bahasa Melayu telah menyamai bahasa-bahasa penting di Eropa dan persebarannya sangat luas sampai ke Persia. Mana mungkin bahasa seperti itu disebut bahasa pijin atau kreol atau Melayu Pasar.
Perihal Bahasa Indonesia merupakan nama lain dari Bahasa Melayu banyak pakar yang sependapat. Dalam esainya yang dimuat dalam majalah Pujangga Baru pada 1933, S. Takdir Alisjahbana mengatakan: "Nyatalah kepada kita, bahwa perbedaan yang sering dikemukakan orang [antara bahasa Indonesia dan bahasa Melayu, AM] itu tiada beralasan sedikit.
Dan saya yakin, bahwa meski bagaimana sekalipun orang tiada akan mungkin menunjukkan perbedaan yang sesungguhnya nyata antara bahasa yang disebut sekarang bahasa Indonesia dengan bahasa yang disebut bahasa Melayu … ” (Alisjahbana, 1978:47).
Tokoh lain yang perlu disebut ialah R.M. Soewardi Soeryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Dalam makalahnya “Bahasa Indonesia di dalam Perguruan”, yang disajikan dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo pada 1938, beliau lebih tegas lagi menyebutkan, “Yang dinamakan ‘bahasa Indonesia’ adalah bahasa Melayu . . . dasarnya berasal dari ‘Melayu Riau’ . . . .” (Puar, 1985:324; lih. juga Malik, 1992:3).
Dalam rumusan hasil Kongres Bahasa Indonesia II, Medan, 1954 sekali lagi ditegaskan: “...asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melayu. Dasar bahasa Indonesia ialah Bahasa Melayu yang disesuaikan dengan pertumbuhannya dalam masyarakat Indonesia sekarang”
Dari beberapa rujukan penting itu jelaslah bahwa bahasa Melayu dan bahasa Indonesia itu adalah bahasa yang sama. Lagi pula, secara linguistik, bahasa itu adalah bahasa yang satu karena sistemnya (fonologi, morfologi, dan sintaksis) sama. Malah, Ki Hajar Dewantara, secara kesatria, menegaskan bahwa Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Melayu Riau. Beliau dapat menegaskan itu karena beliaulah yang menjadi pengusul pertamanya.
Pendapat yang menyebutkan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Balai Pustaka sangat kurang beralasan. Pasalnya, bukan hanya penulis Balai Pustaka yang menyebarkan bahasa Melayu ke seluruh nusantara ini, melainkan telah terjadi jauh sebelumnya yakni pada masa Melayu Klasik lagi. Lagi pula, berdasarkan dokumen Belanda, bahasa Melayu Tinggi yang diajarkan di sekolah-sekolah pada masa pemerintahan Hindia Belanda adalah bahasa Melayu Riau.
Bahasa itu disebut Melayu Tinggi karena sudah mengalami proses standardisasi yang diupayakan oleh para cendekiawan Kerajaan Riau-Lingga pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Soal pemakaian bahasa, dalam tradisi Riau-Lingga, memang dituntut tanggung jawab yang besar.
Lembaga pendidikan Kweekschool di Bukittinggi merupakan tempat bahasa Melayu Tinggi atau bahasa Melayu Riau diajarkan. Alumni dari sekolah itulah yang kebanyakannya menjadi penulis Balai Pustaka. Yang jelas, bahasa ibu para penulis Balai Pustaka itu sangat berbeda dengan bahasa yang mereka gunakan dalam tulisan-tulisan mereka. Karya-karya mereka menggunakan bahasa Melayu Tinggi atau bahasa Melayu Riau yang memang wajib dipelajari dalam pendidikan di seluruh Nusantara, sesuai dengan kebijakan pendidikan kolonial kala itu.
Ternyata, bahasa Melayu Riau juga memiliki subdialek yang beragam. Kalau demikian keadaannya, di manakah tempat asal bahasa Indonesia, yang diangkat dari bahasa Melayu Riau itu? Untuk menjawab pertanyaan itu, dapatlah dicermati rujukan berikut ini.
Dalam buku Kees Groeneboer, Jalan ke Barat (1995:166) tercatat pada Pasal 28 dari Peraturan untuk Pendidikan Dasar Pribumi dari tahun 1872, disebutkan “Untuk pendidikan dalam bahasa rakyat, dipakai bahasa yang paling murni ucapannya dan yang paling berkembang di tempat-tempat itu seperti bahasa Jawa menurut bahasa yang biasa dipakai di Surakarta, bahasa Sunda menurut yang biasa dipakai di Bandung, bahasa Batak menurut bahasa yang dipakai di Mandailing, bahasa Melayu akan diajarkan menurut aturan dan ejaan bahasa Melayu murni yang dipergunakan di Semenanjung Melaka dan di Kepulauan Riau [huruf tebal oleh AM], dan bahasa-bahasa selebihnya akan ditentukan kemudian” (KG 25-5-1872, Stb. No. 99, dalam Brouwer 1899: Lampiran I).
Ternyata, para pendiri bangsa ini memilih bahasa Melayu yang diubah namanya menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional melalui Kongres I Pemuda Indonesia pada 2 Mei 1926 dan dikukuhkan pada peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Jelaslah asal bahasa nasional Indonesia itu.
"Dalam hal ini, bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Melayu Kepulauan Riau. Kenyataan itu tak terbantahkan oleh upaya pembinaan bahasa yang memang telah dilakukan oleh Raja Ali Haji dkk. sejak abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20 di Kerajaan Riau-Lingga yang pusat pemerintahannya sekarang disebut Propinsi Kepulauan Riau. Dengan upaya itu, bahasa Melayu menjadi baik lafalnya (murni ucapannya) dan ejaan serta tata bahasanya menjadi baku," ujar Malik.
Oleh itu, pemerintah Hindia-Belanda menjadikannya sebagai bahasa pengantar pendidikan di kawasan jajahannya.
Pembinaan yang intensif yang dilakukan oleh Raja Ali Haji dkk. di Kerajaan Riau-Lingga sejak abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20 memungkinkan bahasa Melayu Riau menjadi bahasa baku, yang biasa disebut bahasa Melayu Tinggi. Bahasa Melayu Tinggi itu, pada Kongres I Pemuda Indonesia, 2 Mei 1926 diberi nama baru dan pada peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, dikukuhkan sebagai bahasa Indonesia.
Bahasa Melayu yang berasal dari Kepulauan Riau-lah yang dijadikan bahasa Indonesia. Pemilihan itu sesuai dengan kebijakan pemerintah Hindia-Belanda sebelumnya yang menilai bahwa bahasa Melayu Kepulauan Riau paling murni lafalnya serta paling baik tata bahasa dan ejaannya sehingga diwajibkan menjadi bahasa pengantar pendidikan pribumi di seluruh kawasan pemerintahan Hindia-Belanda.
"Karena kebijakan itu, kalau tak menjadi bahasa pertama, bahasa Melayu Kepulauan Riau menjadi bahasa kedua sebagian besar penduduk nusantara. Oleh itu, ketika diusulkan oleh Ki Hajar Dewantara, Muh. Yamin, dan M. Tabrani (dengan perubahan nama menjadi bahasa Indonesia untuk mewadahi bangsa Indonesia yang merdeka), para pendiri bangsa ini, apa pun latar belakang suku dan bahasa ibunya, dengan suara bulat menerimanya," katanya.
Baca juga: Kemendikbud: Bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi
Baca juga: Bahasa Indonesia diajarkan di universitas Wina Austria
Baca juga: Umah Indo gaet masyarakat Vietnam belajar bahasa Indonesia
Baca juga: Jokowi tanda tangani Perpres Penggunaan Bahasa Indonesia
Artikel
Menelusuri sejarah Bahasa Indonesia (tulisan II dari II)
28 Oktober 2019 17:37 WIB
Sejumlah pemuda-pemudi membacakan Sumpah Pemuda di Bukit Kursi, Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang (Nikolas Panama)
Pewarta: Nikolas Panama
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019
Tags: