Jakarta (ANTARA) - Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardhani menyebutkan radikalisme masih menjadi ancaman nyata bagi Indonesia, bahkan peningkatan terus terjadi sejak 10 tahun lalu.
"Sepuluh tahun terakhir ini, radikalisme tidak hanya muncul di institusi pemerintah, tetapi juga di institusi masyarakat, termasuk di bidang pendidikan. Semua membuktikan ancaman radikalisme ini nyata," kata Jaleswari dalam diskusi bertema "Menangkal Radikalisme, Menjaga Indonesia" yang digagas Partai NasDem di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, alarm tentang adanya gerakan radikalisme di Indonesia sesungguhnya sudah berbunyi, bahkan ketika Indonesia tengah melakukan pesta demokrasi lima tahunan serta menurunnya kualitas toleransi di Indonesia.
Oleh karena itu, kata Jaleswari, pemerintahan Jokowi pada periode kedua ini akan memprioritaskan pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang berlandaskan Pancasila.
Baca juga: Akademisi UIN: Radikalisme membajak agama
"Soal radikalisme kita tahu bahwa alarm kita sudah berbunyi. Saat ini pun pembangunan Jokowi 5 tahun ke depan adalah SDM yang berlandaskan Pancasila," ujarnya.
Mantan Asops Panglima TNI Mayor Jenderal (Purn.) Supiadin Aries Saputra menjelaskan bahwa gerakan radikalisme sudah ada sejak lama di Indonesia.
Ia lantas mencontohkan bagaimana ketika ada pemberontakan DI TII maupun NII pada masa awal kemerdekaan.
"Tadinya gerakan radikalisme adalah gerakan tradisional. Namun, dengan berkembangnya media sosial, gerakan radikal juga ikut berkembang," kata anggota DPR RI periode 2014—2019.
Sampai dengan saat ini, kata dia, ada sekitar 120 juta pengguna sosial di Indonesia. Dari jumlah itu, sebagian besar atau mayoritas datang dari kaum milenial.
"Media sosial menjadi media untuk kelompok radikal untuk menghancurkan moral generasi milenial. Kita kenal dengan asimetrik warfare, perang anomali, ujung tombaknya proxy war, yakni perang yang tidak menggunakan angkatan perang," ucapnya.
Baca juga: BNPT: ASN berhati-hati dalam menggunakan media sosial
Menurut Supiadin Aries Saputra, yang paling mungkin menghancurkan bangsa Indonesia adalah bangsanya sendiri.
Kalau dilihat dari indeks pengukuran ketahanan nasional laboratorium Lembaga Ketahanan Nasional, diketahui di bidang ideologi dan sosial budaya nilai atau indeks berada di posisi 2, atau tidak tangguh.
"Yang nilainya tidak tangguh yakni indeks 2 adalah di bidang ideologi. Di bidang sosial budaya juga rendah. Tingkat pendidikan rendah dan ini yang menyebabkan mudahnya penyebaran informasi menyesatkan di media sosial," kata Supiadin.
KSP sebut radikalisme masih menjadi ancaman nyata
25 Oktober 2019 20:22 WIB
Situasi diskusi bertema "Menangkal Radikalisme, Menjaga Indonesia" yang digagas Partai NasDem di Jakarta, Jumat (25-10-2019). ANTARA/Syaiful Hakim
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019
Tags: