Jakarta (ANTARA) - Kabar bohong (hoaks) bisa datang dari mana saja, termasuk dari media sosial dan obrolan melalui aplikasi pesan yang bersifat lebih pribadi.

Grup obrolan, seperti WhatsApp Group, ada kalanya berisi terusan artikel atau pesan yang belum tentu kebenarannya.

Praktisi media sosial Savic Ali menyarankan untuk tidak diam saja ketika mendapatkan hoaks.

"Penting untuk tidak diam kalau kita punya pengetahuan," kata Savic ditemui di diskusi Digital Discourses di Jakarta, Jumat sore.

Baca juga: Infrastruktur jadi pekerjaan rumah Kominfo lima tahun ke depan

Baca juga: Hoaxplay.com, situs pelawan hoaks demi literasi digital


Warganet memerlukan keterampilan literasi digital agar tidak mudah percaya pada hoaks, salah satunya mengetahui dari mana sumber informasi tersebut dan seberapa besar kredibilitas sumber informasi tersebut.

Setelah mendapatkan sumber informasi, sebaiknya lakukan cek fakta (fact-checking) ke sumber lain mengenai kebenaran informasi tersebut.

Jika menemukan hoaks, namun tidak memiliki sumber pembanding, Savic menyarankan untuk tidak membagikan informasi tersebut.

Jika memiliki pengetahuan tentang informasi yang dibicarakan, bagikan konten tersebut disertai dengan penjelasan dan bukti klarifikasi.

"Cantumkan tautan (informasi) yang benar, misalnya foto, video, artikel," kata dia.

Jika menemukan konten hoaks di media sosial, seperti Facebook atau Twitter, pakai fitur laporan agar penyedia platform dapat menurunkan konten tersebut.

Jika dilaporkan banyak pengguna, penyedia platform akan mengetahui bahwa konten tersebut tidak benar dan dapat menghapusnya agar hoaks tidak meluas.

Baca juga: Ini cara platform media sosial cegah hoaks

Baca juga: Facebook akan pasang pemeriksa fakta dalam Instagram