Wantim MUI: Historis terabaikan dalam penunjukkan Menag dan Mendikbud
25 Oktober 2019 08:38 WIB
Presiden Jokowi dan Wapres Ma'ruf Amin serta para Menteri Kabinet Indonesia Maju berfoto bersama di tangga Istana Merdeka Jakarta, Rabu (22/10/2019). ANTARA/Desca L Natalia/am.
Jakarta (ANTARA) - Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Watim MUI) Din Syamsuddin mengatakan terdapat persoalan historis yang terabaikan dalam penunjukkan Menteri Agama (Menag) serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Ada persoalan historis dan psikologis yang diabaikan yakni penempatan menteri pada kementerian yang memiliki dimensi historis kuat seperti bidang agama dan pendidikan, kata Din mengutip sari Rapat Pleno Dewan Pertimbangan MUI Ke-44 sebagaimana siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat.
Dia menambahkan sejarah posisi Menag erat terkait dengan kompromi politik di awal kemerdekaan untuk akomodasi aspirasi golongan Islam.
Baca juga: Mendikbud diharapkan bisa selesaikan masalah pengangguran lulusan SMK
Kemenag, ujar dia juga berperan sentral untuk memfungsikan agama sebagai faktor pendorong pembangunan bangsa.
Sedangkan Kemendikbud, lanjut dia terikat erat dengan amanat konstitusi "mencerdaskan kehidupan bangsa" yang berhubungan dengan pembentukan watak bangsa.
Agaknya, keputusan yang ada bersifat ahistoris dan asosiologis, sebutnya.
Sementara itu, Din mengemukakan secara khusus arahan Presiden Joko Widodo kepada Menteri Agama untuk mengatasi radikalisme adalah sangat tendensius.
Radikalisme yang memang harus kita tolak terutama pada bentuk tindakan nyata ingin memotong akar 'radix' dari NKRI yang berdasarkan Pancasila. Di sini, presiden dan pemerintah tidak bersikap adil dan bijaksana, jelas dia.
Baca juga: Presiden Jokowi harapkan Menag Fachrul Razi utamakan toleransi
Radikalisme yang ingin mengubah akar kehidupan kebangsaan Pancasila, lanjutnya tidak hanya bermotif keagamaan tapi juga bersifat politik dan ekonomi.
Sistem dan praktek politik yang ada nyata bertentangan dengan sila keempat Pancasila, begitu pula sistem dan praktik ekonomi nasional dewasa ini jelas menyimpang dari sila kelima Pancasila. Mengapa itu tidak dipandang sebagai bentuk radikalisme nyata terhadap Pancasila, terang dia.
Dia mengatakan bahkan ada sikap dan tindakan radikal terhadap negara Pancasila seperti Komunisme atau separatisme yang ingin memisahkan diri dari NKRI tapi tidak dipandang sebagai musuh Negara Pancasila.
Jika presiden dan pemerintah hanya mengarahkan tuduhan dan tindakan antiradikalisme terhadap kalangan Islam, maka itu tidak akan berhasil dan hanya akan mengembangkan radikalisme yang bermotif keagamaan, jelasnya.
Baca juga: KPK akan surati para menteri ingatkan soal LHKPN
Ada persoalan historis dan psikologis yang diabaikan yakni penempatan menteri pada kementerian yang memiliki dimensi historis kuat seperti bidang agama dan pendidikan, kata Din mengutip sari Rapat Pleno Dewan Pertimbangan MUI Ke-44 sebagaimana siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat.
Dia menambahkan sejarah posisi Menag erat terkait dengan kompromi politik di awal kemerdekaan untuk akomodasi aspirasi golongan Islam.
Baca juga: Mendikbud diharapkan bisa selesaikan masalah pengangguran lulusan SMK
Kemenag, ujar dia juga berperan sentral untuk memfungsikan agama sebagai faktor pendorong pembangunan bangsa.
Sedangkan Kemendikbud, lanjut dia terikat erat dengan amanat konstitusi "mencerdaskan kehidupan bangsa" yang berhubungan dengan pembentukan watak bangsa.
Agaknya, keputusan yang ada bersifat ahistoris dan asosiologis, sebutnya.
Sementara itu, Din mengemukakan secara khusus arahan Presiden Joko Widodo kepada Menteri Agama untuk mengatasi radikalisme adalah sangat tendensius.
Radikalisme yang memang harus kita tolak terutama pada bentuk tindakan nyata ingin memotong akar 'radix' dari NKRI yang berdasarkan Pancasila. Di sini, presiden dan pemerintah tidak bersikap adil dan bijaksana, jelas dia.
Baca juga: Presiden Jokowi harapkan Menag Fachrul Razi utamakan toleransi
Radikalisme yang ingin mengubah akar kehidupan kebangsaan Pancasila, lanjutnya tidak hanya bermotif keagamaan tapi juga bersifat politik dan ekonomi.
Sistem dan praktek politik yang ada nyata bertentangan dengan sila keempat Pancasila, begitu pula sistem dan praktik ekonomi nasional dewasa ini jelas menyimpang dari sila kelima Pancasila. Mengapa itu tidak dipandang sebagai bentuk radikalisme nyata terhadap Pancasila, terang dia.
Dia mengatakan bahkan ada sikap dan tindakan radikal terhadap negara Pancasila seperti Komunisme atau separatisme yang ingin memisahkan diri dari NKRI tapi tidak dipandang sebagai musuh Negara Pancasila.
Jika presiden dan pemerintah hanya mengarahkan tuduhan dan tindakan antiradikalisme terhadap kalangan Islam, maka itu tidak akan berhasil dan hanya akan mengembangkan radikalisme yang bermotif keagamaan, jelasnya.
Baca juga: KPK akan surati para menteri ingatkan soal LHKPN
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Hendra Agusta
Copyright © ANTARA 2019
Tags: