Keragaman gender di media dalam perspektif HAM didiskusikan AJI Ambon
24 Oktober 2019 18:36 WIB
AJI Ambon bahas keragaman gender di media dalam Perspektif HAM di kantor Perwakilan Komnas HAM Maluku, Kamis (24/10/2019) di Ambon. (FOTO ANTARA/Shariva Alaidrus)
Ambon (ANTARA) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Cabang Ambon, Provinsi Maluku membahas keragaman gender di media massa dalam perspektif hak asasi manusia (HAM) guna mendorong adanya pemberitaan yang lebih berimbang kepada publik.
Pembahasan yang dilaksanakan dalam bentuk lokakarya dan diskusi terbatas oleh wartawan dari berbagai media cetak dan elektronik lokal itu digelar di kantor Perwakilan Komnas HAM Maluku, Kamis, di Ambon.
Sejumlah isu seperti orientasi seksual, karakteristik seks, identitas dan ekspresi gender serta diskriminasi keberagaman gender dalam perspektif sosial kultural dan HAM, termasuk kode etik jurnalistik (KEH) dibahas dalam diskusi tersebut.
Dalam kesempatan itu, Ketua Perwakilan Komnas HAM Maluku Benediktus Sarkol, Halim Silawane dari komunitas transgender Gaya Warna Lentera, Direktur Lembaga Pengabdian Pemuda Bangsa (LP2B) Madina Mansyur, Sekretaris AJI Ambon Khairiyah Fitri dan wartawan senior Ambon Ekspres Yani Kubangun dihadirkan sebagai narasumber.
Yani Kubangunan dari Ambon Ekspres dalam paparannya mengatakan wartawan melalui karya jurnalistiknya, bertugas menyampaikan pemberitaan berdasarkan fakta di lapangan, bukan beropini sendiri.
Karena itu, dalam menjalankan profesinya, wartawan haruslah berpegang pada prinsip dasar 11 kode etik jurnalistik sehingga independensi tetap terjaga, dan berita-berita yang dihasilkan pun berimbang.
"Karya jurnalistik adalah apa yang kita wawancarai di lapangan, bukan opini kita sendiri. Opini berpengaruh terhadap independensi wartawan dalam menjalankan profesinya di lapangan," katanya.
Dikatakannya bahwa ketika memberitakan isu-isu yang bersifat sensitif, wartawan harusnya mengutamakan jurnalisme empati, memikirkan dengan saksama dampak yang dihasilkan dari pemberitaan kepada masyarakat luas.
Dalam hal ini, kata dia, wartawan diharuskan berhati-hati dalam penggunaan kata maupun diksi dalam pemberitaan.
Ia mencontohkan pemberitaan terkait kekerasan seksual yang melibatkan anak, seharusnya wartawan tidak menggambarkan secara gamblang peristiwa yang terjadi, mengungkap identitas korban dan pelaku, termasuk melabeli berdasarkan kelompok agama tertentu.
"Terkadang karena kita terlalu bersemangat dalam memberitakan, kita tidak berhati-hati dalam memberitakan, kita mengungkap dengan jelas identitas korban, orang tuanya bahkan alamat lengkap," demikian Yani Kubangunan.
Baca juga: LIPI: Kesetaraan gender dan ketahanan keluarga bangun SDM unggul
Baca juga: MUI : Perlu peran tokoh lintas agama akhiri kekerasan berbasis gender
Baca juga: Tokoh agama ikuti pelatihan cegah kekerasan berbasis gender
Pembahasan yang dilaksanakan dalam bentuk lokakarya dan diskusi terbatas oleh wartawan dari berbagai media cetak dan elektronik lokal itu digelar di kantor Perwakilan Komnas HAM Maluku, Kamis, di Ambon.
Sejumlah isu seperti orientasi seksual, karakteristik seks, identitas dan ekspresi gender serta diskriminasi keberagaman gender dalam perspektif sosial kultural dan HAM, termasuk kode etik jurnalistik (KEH) dibahas dalam diskusi tersebut.
Dalam kesempatan itu, Ketua Perwakilan Komnas HAM Maluku Benediktus Sarkol, Halim Silawane dari komunitas transgender Gaya Warna Lentera, Direktur Lembaga Pengabdian Pemuda Bangsa (LP2B) Madina Mansyur, Sekretaris AJI Ambon Khairiyah Fitri dan wartawan senior Ambon Ekspres Yani Kubangun dihadirkan sebagai narasumber.
Yani Kubangunan dari Ambon Ekspres dalam paparannya mengatakan wartawan melalui karya jurnalistiknya, bertugas menyampaikan pemberitaan berdasarkan fakta di lapangan, bukan beropini sendiri.
Karena itu, dalam menjalankan profesinya, wartawan haruslah berpegang pada prinsip dasar 11 kode etik jurnalistik sehingga independensi tetap terjaga, dan berita-berita yang dihasilkan pun berimbang.
"Karya jurnalistik adalah apa yang kita wawancarai di lapangan, bukan opini kita sendiri. Opini berpengaruh terhadap independensi wartawan dalam menjalankan profesinya di lapangan," katanya.
Dikatakannya bahwa ketika memberitakan isu-isu yang bersifat sensitif, wartawan harusnya mengutamakan jurnalisme empati, memikirkan dengan saksama dampak yang dihasilkan dari pemberitaan kepada masyarakat luas.
Dalam hal ini, kata dia, wartawan diharuskan berhati-hati dalam penggunaan kata maupun diksi dalam pemberitaan.
Ia mencontohkan pemberitaan terkait kekerasan seksual yang melibatkan anak, seharusnya wartawan tidak menggambarkan secara gamblang peristiwa yang terjadi, mengungkap identitas korban dan pelaku, termasuk melabeli berdasarkan kelompok agama tertentu.
"Terkadang karena kita terlalu bersemangat dalam memberitakan, kita tidak berhati-hati dalam memberitakan, kita mengungkap dengan jelas identitas korban, orang tuanya bahkan alamat lengkap," demikian Yani Kubangunan.
Baca juga: LIPI: Kesetaraan gender dan ketahanan keluarga bangun SDM unggul
Baca juga: MUI : Perlu peran tokoh lintas agama akhiri kekerasan berbasis gender
Baca juga: Tokoh agama ikuti pelatihan cegah kekerasan berbasis gender
Pewarta: Shariva Alaidrus
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019
Tags: