Suhu di Bali tak masuk dalam kategori ekstrem, sebut BBMKG
24 Oktober 2019 13:55 WIB
Petugas menunjukkan citra satelit Himawari di Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah 3 Denpasar, Bali, Rabu (11/9/2019). . ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/ama (ANTARA FOTO/FIKRI YUSUF)
Denpasar (ANTARA) - Kepala Bidang Data dan Informasi Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BBMKG) Wilayah III Denpasar, Iman Faturahman, mengatakan saat ini suhu di Bali tidak masuk dalam kategori ekstrem.
"Bali sendiri saat ini tercatat suhu tertinggi terjadi pada 11 dan 22 Oktober 2019 di Sanglah yang mencapai 35 derajat Celcius. Namun hal ini tidak masuk dalam kategori ekstrem, karena sebelumnya pernah juga suhu mencapai 34.9 derajat Celcius," katanya saat dikonfirmasi di Denpasar, Kamis.
Ia menjelaskan kondisi suhu itu tidak terjadi secara terus menerus meningkat melainkan sifatnya fluktuatif.
"Suhu ekstrem disebut jika suhu yang terjadi atau yang terukur itu memiliki perbedaan tiga derajat Celsius," katanya.
"Bisa jadi besok temperatur turun, hal ini tergantung dari kondisi per awanan yang terbentuk. Jika terhalang awan, maka radiasi panas matahari bisa berkurang," tambahnya.
Ia menjelaskan gelombang panas tentu berbeda dengan suhu ekstrem. "Gelombang panas itu belum pernah terjadi di Bali, cuma gelombang panas memang salah satu suhu ekstrem juga dan bisa menimbulkan kematian," ucap Iman.
Menurutnya, suhu merupakan catatan berdasarkan alat pengukur suhu yang terjadi di tempat observasi. Saat itu, lebih ke adanya pemanasan dari matahari. Semakin mataharinya tidak tertutup oleh awan, artinya radiasi panas yang diakibatkan oleh matahari itu intensitas panasnya akan lebih banyak.
Sehingga, kata dia, suhu yang terukur di situ, untuk panas udaranya sesuai dengan pancaran radiasi panas matahari. Sedangkan kalau gelombang panas merupakan pergerakan dari satu tempat ke tempat yang lain.
"Ya seperti perpindahan, sudah dibawa dari lingkungan lain ke lingkungan baru. Itu gelombang panas, dia bergerak. Kalau suhu kan enggak, dia terbentuk di situ karena pemanasan dari matahari," katanya.
Untuk kondisi suhu di wilayah Bali pada 24 Oktober 2019, yaitu antara 22 sampai 34 derajat Celsius.
Selain itu, Iman menjelaskan untuk kondisi angin jika saat ini tengah memasuki masa transisi dari kemarau ke musim hujan. Dari hal itu biasanya terjadi fenomena angin kencang seperti fenomena gusty yang beberapa waktu lalu sempat terjadi.
Hal ini, kata dia, karena adanya pemanasan yang berbeda di beberapa wilayah yang menyebabkan tekanan udara juga beda - beda. Semakin tinggi temperatur maka semakin rendah tekanan, sehingga banyaknya titik yang bertekanan rendah memicu angin mengalir ke daerah itu.
"Sehingga terjadilah salah satunya fenomena gusty dan juga angin puting beliung, untuk itu, kita harus tetap waspada, karena angin ini sangat cepat terbentuk dan punahnya dalam hitungan menit sehingga sangat sulit diprediksi," katanya.
"Kalau musim kemarau lebih rata pemanasannya ya karena semuanya mendapatkan radiasi yang sama sehingga dengan panasnya sama otomatis tekanannya sama," demikian Iman Faturahman.
Baca juga: BMKG Denpasar prakiraan musim hujan di Bali mundur
Baca juga: BMKG katakan cuaca panas di Bali masih normal
Baca juga: BBMG Denpasar: Perairan Bali Rawan Gelombang Besar
"Bali sendiri saat ini tercatat suhu tertinggi terjadi pada 11 dan 22 Oktober 2019 di Sanglah yang mencapai 35 derajat Celcius. Namun hal ini tidak masuk dalam kategori ekstrem, karena sebelumnya pernah juga suhu mencapai 34.9 derajat Celcius," katanya saat dikonfirmasi di Denpasar, Kamis.
Ia menjelaskan kondisi suhu itu tidak terjadi secara terus menerus meningkat melainkan sifatnya fluktuatif.
"Suhu ekstrem disebut jika suhu yang terjadi atau yang terukur itu memiliki perbedaan tiga derajat Celsius," katanya.
"Bisa jadi besok temperatur turun, hal ini tergantung dari kondisi per awanan yang terbentuk. Jika terhalang awan, maka radiasi panas matahari bisa berkurang," tambahnya.
Ia menjelaskan gelombang panas tentu berbeda dengan suhu ekstrem. "Gelombang panas itu belum pernah terjadi di Bali, cuma gelombang panas memang salah satu suhu ekstrem juga dan bisa menimbulkan kematian," ucap Iman.
Menurutnya, suhu merupakan catatan berdasarkan alat pengukur suhu yang terjadi di tempat observasi. Saat itu, lebih ke adanya pemanasan dari matahari. Semakin mataharinya tidak tertutup oleh awan, artinya radiasi panas yang diakibatkan oleh matahari itu intensitas panasnya akan lebih banyak.
Sehingga, kata dia, suhu yang terukur di situ, untuk panas udaranya sesuai dengan pancaran radiasi panas matahari. Sedangkan kalau gelombang panas merupakan pergerakan dari satu tempat ke tempat yang lain.
"Ya seperti perpindahan, sudah dibawa dari lingkungan lain ke lingkungan baru. Itu gelombang panas, dia bergerak. Kalau suhu kan enggak, dia terbentuk di situ karena pemanasan dari matahari," katanya.
Untuk kondisi suhu di wilayah Bali pada 24 Oktober 2019, yaitu antara 22 sampai 34 derajat Celsius.
Selain itu, Iman menjelaskan untuk kondisi angin jika saat ini tengah memasuki masa transisi dari kemarau ke musim hujan. Dari hal itu biasanya terjadi fenomena angin kencang seperti fenomena gusty yang beberapa waktu lalu sempat terjadi.
Hal ini, kata dia, karena adanya pemanasan yang berbeda di beberapa wilayah yang menyebabkan tekanan udara juga beda - beda. Semakin tinggi temperatur maka semakin rendah tekanan, sehingga banyaknya titik yang bertekanan rendah memicu angin mengalir ke daerah itu.
"Sehingga terjadilah salah satunya fenomena gusty dan juga angin puting beliung, untuk itu, kita harus tetap waspada, karena angin ini sangat cepat terbentuk dan punahnya dalam hitungan menit sehingga sangat sulit diprediksi," katanya.
"Kalau musim kemarau lebih rata pemanasannya ya karena semuanya mendapatkan radiasi yang sama sehingga dengan panasnya sama otomatis tekanannya sama," demikian Iman Faturahman.
Baca juga: BMKG Denpasar prakiraan musim hujan di Bali mundur
Baca juga: BMKG katakan cuaca panas di Bali masih normal
Baca juga: BBMG Denpasar: Perairan Bali Rawan Gelombang Besar
Pewarta: Ayu Khania Pranishita
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019
Tags: