ACT bangun family shelter untuk penyintas gempa di Halmahera Selatan
22 Oktober 2019 20:50 WIB
Tim Aksi Cepat Tanggap sedang membangun hunian sementara untuk penyintas yang terdampak gempa bermagnitudo 7,2 di Desa Wayatim, Kecamatan Bacan Timur Tengah, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara.
Ambon (ANTARA) - Organisasi kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) membangun shelter atau hunian sementara untuk para penyintas dampak gempa magnitudo 7,2 di Desa Wayatim, Kecamatan Bacan Timur Tengah, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara.
Direktur Komunikasi ACT Lukman Azis Kurniawan saat dihubungi dari Ambon, Selasa, mengatakan proses pengerjaan family shelter di Wayatim baru berjalan satu pekan. Dari 22 unit yang direncanakan dibangun, empat unit diantaranya sudah rampung dan siap untuk ditempati.
"Sementara ini baru Desa Wayatim, kerusakan bangunan rumah warga di sana juga cukup masif. Karena pengerjaan baru dilakukan satu minggu, yang baru selesai empat unit dari 22 unit yang rencana akan dibangun," terangnya.
Diketahui gempa bermagnitudo 7,2 yang mengguncang Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara pada 14 Juli 2019 telah menyebabkan sedikitnya 60 rumah di kawasan pesisir di Desa Wayatim rusak.
Baca juga: BMKG: gempa Halmahera Selatan tidak berpotensi tsunami
Lukman mengatakan pembangunan family shelter di Desa Wayatim baru bisa dilakukan karena daerahnya jauh dan terisolir dengan akses jalan yang tidak mudah, sehingga tim ACT kesulitan untuk membawa bahan-bahan material ke sana.
Untuk bisa membawa material bangunan ke Wayatim, kata dia tim ACT harus menempuh perjalanan darat selama empat jam dari Kota Labuha, Pulau Bacan melintasi tujuh desa di Kecamatan Bacan Timur Tengah, yakni Babang, Tawa, Songa, Bibinoi, Tabapoma, Tutupa kemudian Tomara.
Baca juga: Sesar aktif pemicu gempa Halmahera Selatan masih misteri
Perjalanan menuju Desa Tomara terbilang cukup sulit, karena harus melintasi lima sungai tanpa jembatan yang mana tidak bisa dilewati kalau sedang turun hujan.
Setelah sampai di Desa Tomara, tim ACT kemudian melanjutkan perjalanan ke Desa Wayatim melalui jalur laut selama satu jam dengan menyewa kapal nelayan setempat, agar bisa mengangkut satu ton bahan material.
"Setelah sekian lama gempa, pembangunan di Wayatim baru bisa dilakukan karena daerahnya jauh dan akses ke sana juga cukup sulit, sehingga memang membutuhkan waktu untuk bisa memulai proses pengerjaan," ucap Lukman.
Baca juga: Jateng bantu Rp1,5 miliar wilayah terdampak gempa Halmahera Selatan
Direktur Komunikasi ACT Lukman Azis Kurniawan saat dihubungi dari Ambon, Selasa, mengatakan proses pengerjaan family shelter di Wayatim baru berjalan satu pekan. Dari 22 unit yang direncanakan dibangun, empat unit diantaranya sudah rampung dan siap untuk ditempati.
"Sementara ini baru Desa Wayatim, kerusakan bangunan rumah warga di sana juga cukup masif. Karena pengerjaan baru dilakukan satu minggu, yang baru selesai empat unit dari 22 unit yang rencana akan dibangun," terangnya.
Diketahui gempa bermagnitudo 7,2 yang mengguncang Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara pada 14 Juli 2019 telah menyebabkan sedikitnya 60 rumah di kawasan pesisir di Desa Wayatim rusak.
Baca juga: BMKG: gempa Halmahera Selatan tidak berpotensi tsunami
Lukman mengatakan pembangunan family shelter di Desa Wayatim baru bisa dilakukan karena daerahnya jauh dan terisolir dengan akses jalan yang tidak mudah, sehingga tim ACT kesulitan untuk membawa bahan-bahan material ke sana.
Untuk bisa membawa material bangunan ke Wayatim, kata dia tim ACT harus menempuh perjalanan darat selama empat jam dari Kota Labuha, Pulau Bacan melintasi tujuh desa di Kecamatan Bacan Timur Tengah, yakni Babang, Tawa, Songa, Bibinoi, Tabapoma, Tutupa kemudian Tomara.
Baca juga: Sesar aktif pemicu gempa Halmahera Selatan masih misteri
Perjalanan menuju Desa Tomara terbilang cukup sulit, karena harus melintasi lima sungai tanpa jembatan yang mana tidak bisa dilewati kalau sedang turun hujan.
Setelah sampai di Desa Tomara, tim ACT kemudian melanjutkan perjalanan ke Desa Wayatim melalui jalur laut selama satu jam dengan menyewa kapal nelayan setempat, agar bisa mengangkut satu ton bahan material.
"Setelah sekian lama gempa, pembangunan di Wayatim baru bisa dilakukan karena daerahnya jauh dan akses ke sana juga cukup sulit, sehingga memang membutuhkan waktu untuk bisa memulai proses pengerjaan," ucap Lukman.
Baca juga: Jateng bantu Rp1,5 miliar wilayah terdampak gempa Halmahera Selatan
Pewarta: Shariva Alaidrus
Editor: Hendra Agusta
Copyright © ANTARA 2019
Tags: