Semarang (ANTARA News) - Mantan pengawal Presiden Soekarno Soekardjo Wilardjito dalam diskusi buku di Semarang, Sabtu, kembali menyatakan bahwa penandatanganan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) di bawah todongan senjata. Ia menceritakan pertemuan empat perwira tinggi TNI Angkatan Darat yakni Brigjen M Jusuf, Brigjen Basuki Rahmat, Brigjen Amirmachmud, dan Brigjen M Panggabean dengan Presiden Soekarno di Istana Bogor saat berlangsung penandatanganan Supersemar. Saat itu Soekardjo berpangkat Letnan Satu. Soekardjo menceritakan Presiden Soekarno mempertanyakan kop surat tersebut bukan bertanda dari kepresidenan. Basuki Rahmat mengatakan bahwa untuk mengubah waktunya sangat sempit dan ia minta agar Presiden menandatanganinya, kata Soekardjo. Pernyataan Basuki itu diikuti Panggabean yang mencabut pistol dari sarungnya, kata Soekardjo. "Saya pun secara spontan juga mengeluarkan pistol. Saya tidak mau digantung. Kalau Presiden ditembak maka saya akan digantung," kata Soekardjo yang saat ini telah berusia sekitar 85 tahunan. Soekardjo menyatakan masih ingat kejadian yang terjadi dinihari sekitar pukul 01:30 WIB dan ia menyakini surat yang ditandatangani Soekarno itu merupakan Supersemar. "Bukan surat cinta dan tentu bukan surat tagihan Bank," ujarnya disambut hadirin. "Presiden mengatakan, ya sudah kalau surat ini harus kutandatangani tetapi nanti kalau masyarakat sudah aman, mandat ini dikembalikan kepadaku. Tetapi sampai Soeharto meninggal mandat itu tidak dikembalikan," kata Soekarjo yang setelah kejadian di Istana Bogor itu bersama sejumlah pengawal Soekarno ditahan di rumah tahanan militer dan diberhentikan dari dinas militer tanpa uang pensiun. Soekardjo bahkan tidak mengetahui Supersemar yang asli sedangkan Supersemar yang ada di Arsip Nasional adalah fotokopi dengan spasi pengetikan berbeda. "Anehnya ketika petugas Arsip Nasional datang ke rumah saya di Yogyakarta mengatakan saya mau diajak ke Jakarta karena keponakan Jenderal Yusuf menemukan Supersemar yang asli ada di suatu bank," katanya. Sementara itu sejarawan Baskara T Wardya mengatakan Supersemar adalah surat perintah perintah harian. "Surat perintah 11 Maret berbeda dengan surat perintah 12 Maret atau 13 Maret, karena hanya berlaku untuk hari itu," katanya. Supersemar tersebut berisi perintah untuk mengamankan situasi ketika itu namun masalahnya Supersemar dijadikan seakan-akan pengalihan kekuasaan. Padahal Bung Karno dengan tegas mengatakan Supersemar bukan pengalihan kekuasaan dan bukan pengalihan otoritas, kata Baskara. "Yang menjadi masalah karena Supersemar menjadi transfer kekuasan dan Ketetapan MPR. Ini jadi masalah," ujarnya. Keaslian Supersemar juga menjadi masalah kompleks karena yang asli hilang apalagi kemudian muncul surat-surat lain seperti dua surat di Arsip Nasional dan keluarga M Jusuf yang juga mengklaim punya Supersemar asli, katanya. "Bung Karno menandatangani satu. Jika ada tiga, bisa jadi ketiga-tiga palsu atau ada dua yang palsu," katanya. Menurut Baskara, tidak perlu mempermasalahkan keaslian naskah Supersemar karena hal terpenting adalah mencegah agar kejadian serupa tidak terjadi lagi. "Itu terjadi kalau pemerintahan diserahkan ke elite dan rakyat tidak ikut. Lalu penguasa pada berebut kekuasan dan rakyat menjadi pasif," katanya. Buku yang diluncurkan dan didiskusikan itu berjudul "Mereka Menodong Bung Karno Kesaksian Seorang Pengawal Presiden" karya Soekardjo Wilardjito.(*)