Jakarta (ANTARA News) - Koordinator Pusat Data dan Analisis Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas mengatakan, persentase royalti batubara yang harus dibayarkan perusahaan pertambangan kepada negara perlu ditinjau ulang. "Selama ini, besaran persentase royalti adalah sebesar 13,5 persen dari hasil penjualan. Harus dipertanyakan apakah besaran tersebut benar-benar sudah memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran negara," kata Firdaus kepada wartawan di Jakarta, Jumat. Ia memaparkan, sebenarnya perusahaan pertambangan banyak menangguk untung selama ini antara lain karena adanya kenaikan permintaan dan tingkat harga batubara dalam beberapa tahun terakhir ini meski tidak setinggi kenaikan harga minyak bumi. Selain itu, ICW juga mempertanyakan mengapa besaran royalti diperhitungkan berdasarkan hasil penjualan dan bukannya hasil produksi dari yang dihasilkan perusahaan tersebut. "Kalau dihitung dari hasil penjualan maka perusahaan bisa saja menggunakan modus transfer pricing atau memberikan data hasil penjualan yang lebih rendah dari yang sebenarnya," kata Firdaus. Untuk itu, ICW menginginkan agar besaran royalti kembali dihitung berdasarkan hasil produksi batubara dari perusahaan yang bersangkutan sebagaimana pernah diberlakukan pemerintah sebelum dikeluarkannya kebijakan deregulasi pada tahun 1996. Sebelumnya, Dirjen Mineral, Batubara, dan Panas Bumi Departemen ESDM Bambang Setiawan pada Rabu (6/8) mengatakan, total tunggakan royalti enam perusahaan tambang batubara mulai 2001 sampai 2007 mencapai Rp7 triliun. Keenam perusahaan yang menunggak tersebut merupakan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) generasi pertama, yaitu PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin Indonesia, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, PT Berau Coal, dan PT BHP Kendilo Coal. (*)