Jakarta (ANTARA) - Dalam lima tahun terakhir, dunia menyaksikan bagaimana resiliensi atau ketahanan ekonomi Indonesia diuji dengan derasnya terpaan ketidakpastian perekonomian global.
Aliran ekonomi dan bisnis global dalam beberapa tahun terakhir memang sedang berada pada kondisi yang tidak menguntungkan bagi banyak negara, termasuk Indonesia.
Lanskap perekonomian global telah berubah. Dunia membutuhkan sumber-sumber baru pertumbuhan ekonomi di tengah interkonektivitas ekonomi yang semakin tinggi.
Lanskap perekonomian global telah berubah sejalan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi di banyak negara,--tidak terkecuali negara berkembang--, kemudian dinamika kebijakan suku bunga acuan negara-negara maju yang menghantui pasar finansial, penurunan harga komoditas ekspor, serta rusaknya rantai pasok global karena eskalasi perang dagang antara AS dan China.
Kondisi itu ditambah instabilitas karena faktor geopolitik dan keamanan seperti demonstrasi berkepanjangan di Hong-Kong, kemacetan untuk kesepakatan Brexit hingga ketegangan Amerika Serikat dan Iran yang membuat arah harga minyak kian sulit diprediksi.
Bagi Indonesia, pertumbuhan ekonomi pada tahun ini diperkirakan melambat menjadi 5,1 persen dari 5,17 persen pada 2018. Bahkan sejumlah ekonom memperkirakan pertumbuhan ekonomi bisa merosot ke bawah 5,0 persen atau mendekati masa suram pada 2015 ketika pertumbuhan hanya mencapai 4,88 persen. Hal itu memang cukup mengewakan, namun tidaklah terlalu buruk dibandingkan negara-negara sepadan (peers) atau negara maju yang kini di ambang resesi.
Baca juga: BPPT: Jadikan inovasi jadi penggerak ekonomi
Perlambatan ekonomi Indonesia pada tahun ini disebabkan berlanjutnya pelemahan kinerja ekspor, serta pertumbuhan investasi yang jauh di bawah ekspektasi. Dua hal itu memang sangat dipengaruhi kondisi ekonomi global.
Berkaca pada lima tahun terakhir, Indonesia menunjukkan tren perbaikan pertumbuhan ekonomi yang menuai pujian banyak negara dan lembaga internasional, meskipun perlu diakui banyak kelemahan yang tetap perlu dikritisi.
Pada 2014, ketika pasangan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo - Jusuf Kalla mengawali kepemimpinan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,01 persen. Angka pada 2014 memang sempat anjlok setahun setelahnya ke level 4,88 persen pada 2015.
Setelah itu, tren pertumbuhan ekonomi Indonesia membaik menuju 5,03 persen pada 2016 dan 5,07 persen pada 2017 dan kemudian mencapai 5,17 persen pada 2018.
Di satu sisi capaian tersebut menunjukkan buah manis dari upaya-upaya mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan.
Namun di sisi lain, sangat rentannya ekonomi domestik terhadap dinamika perekonomian global menunjukkan masih terjalnya jalan Indonesia untuk memperkuat resiliensi.
Baca juga: Kinerja lima tahun, Menhub sebut Indonesia Sentris buka ekonomi baru
Pariwisata untuk menopang resiliensi
Perlambatan pertumbuhan ekonomi pada 2014 yang dilanjutkan stagnasi pertumbuhan hingga 2019 merupakan buah pahit dari lambannya Indonesia mendiversifikasi komoditas dan memperluas sasaran ekspor.
Indonesia masih tidak bisa lepas dari efek "booming" komoditas sumber daya alam (SDA) yang akhirnya berimbas pada kondisi saat ini, ketika ekspor begitu tergantung pada komoditas sumber daya alam (SDA). Pun, upaya untuk mendongkrak ekspor dari industri manufaktur belum berbuah optimal.
Dalam konteks jangka menengah panjang Indonesia tidak lagi bergantung pada komoditas ekspor SDA, dan juga sejalan dengan pengembangan industri manufaktur, industri pariwisata menjadi krusial sebagai penopang resiliensi ekonomi.
Industri pariwisata adalah mesin penghasil devisa yang juga dapat menjadi sumber pertumbuhan bagi ekonomi sektor riil. Penerimaan devisa akan mendukung terjaganya stabilitas nilai tukar. Resiliensi ekonomi sangat terganggu jika nilai tukar mengidap volatilitas yang jauh dari sasaran Bank Indonesia. Namun menjaga stabilitas rupiah juga tidak mudah, terlebih dengan kondisi neraca transaksi berjalan yang terus defisit.
Dalam hal ini, instabilitas nilai tukar yang disebabkan oleh meningkatnya defisit neraca berjalan dapat dikurangi dengan perbaikan di sisi neraca jasa yang dikontribusikan oleh devisa sektor pariwisata.
Dalam beberapa tahun terakhir ini pula, pemerintah dan Bank Indonesia menelurkan inisiatif untuk mendorong pertumbuhan sektor pariwisata. Sejumlah kebijakan itu antara lain di antaranya penetapan 10 destinasi wisata prioritas, program bebas visa, promosi masif Wonderful Indonesia, pembangunan infrastruktur konektivitas ke daerah destinasi wisata, serta integrasi pariwisata dengan kebijakan kawasan ekonomi khusus (KEK).
Baca juga: Pelaku pasar nantikan tim ekonomi yang profesional dan bersih
Seperti negara-negara lainnya, di tengah perubahan lanskap perekonomian dunia, pariwisata menjadi salah satu sektor yang dilirik banyak negara sebagai sumber penerimaan devisa dan motor pertumbuhan ekonomi baru
Kontribusi sektor pariwisata pada produk domestik bruto (PDB), sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, ditargetkan naik hampir dua kali lipat menjadi delapan persen pada 2019 yang akan mendukung penerimaan devisa tumbuh dua kali lipat pula. Penyerapan tenaga kerja formal di sektor pariwisata juga ditargetkan meningkat signifikan hingga mencapai 13 juta pada 2019.
Sektor pariwisata diharapkan mampu menghimpun penerimaan devisa, dan memberikan efek rambatan ekonomi ke sektor lainnya seperti penyerapan tenaga kerja, dan pemanfaatan kegiatan ekonomi riil yang akan mendukung kebijakan ekonomi inklusif.
Penyelenggara jasa pariwisata seperti korporasi besar maupun rumah tangga akan menjadi bagian dari penyerapan devisa yang dikeluarkan wisatawan mancanegara.
Penghimpunan devisa akan menjadi stimulus bagi perbaikan neraca pembayaran Indonesia yang mengukur ketahanan stabilitas eksternal. Dampak langsungnya, penerimaan devisa akan memperkuat nlai tukar di tataran makro ekonomi.
Maka itu, menggenjot kinerja sektor pariwisata diyakini sebagai salah satu cara tepat untuk meningkatkan resiliensi ekonomi.
Kementerian Pariwisata menargetkan devisa dari sektor pariwisata dapat mencapai 20 miliar dolar AS pada 2019. Dalam lima tahun terakhir, penerimaan devisa pariwisata memang terus meningkat, namun jumlahnya belum optimal dan masih kalah dibandingkan negara-negara tetangga seperti Thailand.
Dari data Kemenpar, devisa dari sektor pariwisata di 2014 sebesar 11,16 miliar dolar AS, di 2015 sebesar 12,23 miliar dolar AS, di 2016 sebesar 13,46 miliar dolar AS, di 2017 sebesar 15,24 miliar dolar AS, dan di 2018 sebesar 19,29 miliar dolar AS.
Baca juga: UBSI dan Kementerian Pariwisata bersinergi siapkan SDM unggul
Jalan berliku membangun ekonomi yang berdaya tahan
Oleh Indra Arief Pribadi
20 Oktober 2019 12:22 WIB
Ilustrasi - Pertumbuhan makro ekonomi. (ist) (.)
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019
Tags: