Tokyo (ANTARA News) - Media massa Jepang begitu antusias dengan kedatangan para perawat Indonesia ke negeri mereka, hingga insan pers di sana secara khusus meminta Kedutaan Besar RI di Tokyo menggelar jumpa pers mengenai masalah itu. Jumpa pers itu dilakukan di gedung Nippon Press Center, di Tokyo, Jumat, dengan menghadirkan Duta Besar Jusuf Anwar. Dalam jumpa pers tersebut, para pekerja pers Jepang menanyakan berbagai hal, termasuk kekhawatiran mereka soal kemampuan berbahasa Jepang yang dimiliki para perawat asal Indonesia. Pada kesempatan itu Dubes RI untuk Jepang Jusuf Anwar mendatangkan seorang perawat dan seorang caregivers (perawat orang jompo) untuk diperkenalkan dan berdialog secara langsung dengan pers Jepang dan wartawan asing. Acara yang dimulai pukul 10.00 waktu setempat itu diawali dengan penjelasan Dubes Jusuf Anwar mengenai program pengiriman tenaga perawat dan caregivers yang merupakan bagian dari perjanjian kerjasama ekonomi (EPA) antara Indonesia dan Jepang. "Pengiriman perawat dan caregivers ini merupakan realisasi untuk pertama kalinya dari kerjasama EPA dan diharapkan bisa berjalan sukses sebagaimana yang diinginkan kedua negara," kata Jusuf Anwar. Sedikitnya terdapat lima belas pertanyaan yang mengemuka dalam acara tersebut, baik yang diajukan oleh moderator dari Japan National Press Club maupun wartawan lainnya, seperti The Japan Times, Nikkei Shimbun, hingga kantor berita asing. Belum lagi pertanyaan yang diajukan kepada kedua pekerja Indonesia di luar ruangan jumpa pers. Pertanyaan yang muncul mulai dari mengapa jumlah perawat dan caregivers hanya setengah dari kuota yang ditetapkan untuk kedatangan pertama kalinya, seberapa banyak perawat Indonesia yang berminat kerja di Jepang, hingga bagaimana rasanya jika gagal mengikuti ujian nasional bahasa Jepang dan kemudian terpaksa kembali ke Indonesia. Hal lainnya yang juga ditanyakan adalah mengenai gaji yang diterima serta kemungkinan kesulitan dalam menjalankan ibadah agama. Mengenai soal jumlah yang datang ke Jepang, Dubes Jusuf Anwar mengakui bahwa jumlahnya tidak sebesar yang diinginkan, yaitu sekitar 400 orang. Hal itu dikarenakan seleksi yang dilakukan pihak perekrutan di Indonesia lebih mengutamakan kualitas ketimbang jumlahnya. Dalam kesepakatan EPA, disepakati kuota sebanyak seribu tenaga perawat dan caregivers, masing-masing 400 (perawat) dan 600 (caregivers) yang pengirimannya dilakukan selama dua tahun. Jepang mengalami persoalan yang krusial dengan melonjaknya kelompok masyarakat berusia di atas 65 tahun hingga mencapai 20 persen lebih dari populasi yang kini mencapai 127,5 juta jiwa. Motivasi dan gaji Mengenai pertanyaan soal motivasi bekerja di Jepang, baik Erli Ridwan maupun Danta, dua perawat yang dihadirkan, mengemukakan, Jepang merupakan negara maju, sehingga mereka ingin memperoleh pengalaman kerja yang berbeda yang kemudian bisa diterapkan di Indonesia. Ketika ditanya soal gaji yang lebih baik, Danta (28), gadis lajang asal Klaten, itu menjawab bukan merupakan pertimbangan utama dan bersifat relatif yang disesuaikan dengan biaya hidup di suatu negara. "Di Indonesia sendiri gaji itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi dari daerah yang bersangkutan. Yang penting adalah memperoleh pengalaman kerja di negeri maju dengan standar kualitas yang tinggi," kata Danta yang fasih berbahasa Jepang. Rasa senang dan optimis terlihat jelas dari jawaban-jawaban keduanya, termasuk dalam soal kemungkinan gagal mengikuti ujian bahasa Jepang hingga soal makanan halal. "Dalam kontrak keperawatan, kami diberi kesempatan untuk belajar hingga lulus, begitu juga kesempatan untuk mengikuti ujian nasional hingga tiga kali," kata Erli yang menerima gaji sebesar 152.500 yen, atau hampir setara dengan penghasilannya saat bekerja di rumah sakit Jakarta sebesar Rp1,5 juta sebulan. Erli yang menjadi perawat sejak delapan tahun lalu akan ditempatkan di rumah sakit Kawagita General Hospital, Tokyo, sementara Danta yang pernah bekerja di sebuah klinik itu akan ditempatkan di rumah perawatan jompo Shin-surumi, Yokohama. Mengenai kesulitan mendapatkan makanan halal, dengan cepat Erli mengatakan tidak memiliki persoalan, karena di Jepang juga banyak sayuran-sayuran dan makana halal lainnya. Begitu juga dengan Danta, yang beragama Katholik. (*)