Semarang (ANTARA News) - Makamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi kasus dugaan korupsi Bupati Kendal non-aktif, Hendy Boedoro, sejak 4 Juni 2008, dan memperberat hukuman dari lima tahun menjadi tujuh tahun penjara, menambah denda yang harus dibayar dari Rp200 juta menjadi Rp500 juta, serta memerintahkan Hendy membayar uang pengganti Rp13,121 miliar. "Belum, kita belum menerima salinan keputusan MA," kata Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jateng, Hadi Prabowo, di Semarang, Rabu. Meski keputusan yang bersifat tetap (in cracht) telah ada, Hendy belum dicopot dari jabatannya sebagai orang nomor satu di Kendal karena hingga kemarin Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng belum menerima salinan keputusan MA sehingga gubernur belum bisa mengirimkan surat permohonan pemberhentian Hendy ke Menteri Dalam Negeri. Dengan demikian, status Hendy masih tercatat sebagai bupati non-aktif sehingga meski mendekam dalam penjara, ia tetap mendapatkan gaji dari pemerintah. "Ia (Hendy) masih menerima gaji pokok sebagai bupati," kata Hadi. Dalam putusan MA, disebutkan bahwa Hendy terbukti bersalah melanggar Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Ia terbukti berbuat melawan hukum melakukan tindak pidana korupsi uang Kabupaten Kendal senilai Rp13,121 miliar. Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mendesak MA untuk segera mengirimkan salinan putusan ke Pemprov Jateng sehingga gubernur bisa segera menindaklanjuti. Dalam undang-undang disebutkan, pemberhentian bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, makar, dan atau tindak pidana terhadap keamanan negara dilakukan Menteri Dalam Negeri melalui usulan gubernur. "Seharusnya begitu keputusan keluar, salinan harus segera dikirim agar proses pemberhentian tidak berlarut-larut," katanya. Ia menilai, pemberian gaji yang masih dilakukan untuk Hendy sebagai hal yang menyakiti perasaan rakyat. Tidak etis jika uang rakyat digunakan untuk menggaji seseorang yang telah ditetapkan sebagai koruptor. "Uang negara itu untuk menyejahterakan rakyat, bukan untuk menggaji seseorang yang mengambil uang negara," katanya. Desakan serupa juga disampaikan Eko Haryanto dari Komisi Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jateng. "Seharusnya setelah kasus hukumnya putus, MA segera mengirim salinan ke pihak-pihak terkait seperti Hendy dan pemprov untuk ditindaklanjuti," ujarnya. Ia menilai, pemberian gaji yang masih berjalan sebagai satu hal yang tidak perlu dilakukan. (*)