Perangi ponsel ilegal, tiga menteri teken peraturan Soal IMEI
18 Oktober 2019 11:15 WIB
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara meneken peraturan terkait identifikasi Internasional Mobile Equipment Identity (IMEI) sebagai upaya memerangi perdagangan ponsel di pasar gelap atau black market secara ilegal di Indonesia di Jakarta, Jumat. (ANTARA/ Sella Panduarsa Gareta)
Jakarta (ANTARA) - Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, dan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara meneken peraturan terkait identifikasi Internasional Mobile Equipment Identity (IMEI) sebagai upaya memerangi perdagangan ponsel di pasar gelap secara ilegal di Indonesia.
“Tujuannya adalah untuk memerangi pasar gelap atau penjualan telepon ilegal. Dan regulasi ini baru berlaku enam bulan kemudian,” kata Menperin di Jakarta, Jumat.
Airlangga menyampaikan, Kemenperin telah memiliki 1,4 miliar data IMEI dari pengguna ponsel, yang selanjutnya akan dicek dengan data milik Global System for Mobile Association (GSMA), yakni daya IMEI internasional.
“Jadi, dari dua daya ini sebetulnya pemegang ponsel industri itu aman. Tidak akan ada yang terganggung baik yang membeli di dalam maupun luar negeri, kecuali membeli dari pasar gelap,” ujar Airlangga.
Baca juga: Ombudsman tidak setuju rencana blokir IMEI ponsel ilegal
Dalam waktu enam bulan ini, lanjut Airlangga, semua pihak terkait akan berupaya meniadakan pasar ilegal untuk ponsel.
Pada dasarnya, Airlangga menambahkan, tidak ada perlindungan khusus untuk produk ponsel di dalam negeri, mengingat bea masuknya Rp0.
Dengan aturan tiga menteri tersebut, yang ingin dilindungi adalah terhadap persaingan usaha yang tidak sehat, di mama produsen nasional harus membayar Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10 persen, sementara ponsel ilegal tidak.
Menkominfo menyampaikan, potensi ekonomi dari pemberantasan ponsel ilegal tersebut mencapai Rp2 triliun per tahun atau Rp55 miliar per hari.
“Jadi, kalau ditunda sehari, ada kehilangan potensi Rp55 miliar,” ujar Rudiantara.
Sedangkan, Mendag menyampaikan bahwa dalam rangka mengamankan perdagangan ponsel di dalam negeri, Kemendag akan mensyaratkan label dan buku panduan berbahasa Indonesia.
“Demikian, kalau tidak ada keduanya, mudah ditelusuri bahwa barang ini adalah black market, meskipun diujungnya nanti ditelusuri dari nomor pendaftaran IMEI sendiri,” ujar Mendag.
Hal tersebut, lanjut Mendag, juga berlaku untuk permohonan izin impor ponsel, sehingga pendeteksian juga mudah dilakukan.
Seluruh aturan dalam Peraturan Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, dan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang identifikasi Internasional Mobile Equipment Identity (IMEI) akan berlaku enam bulan setelah ditandatangani.
Baca juga: Kebijakan Blokir IMEI dikhawatirkan ganggu sektor pariwisata Indonesia
Baca juga: YLKI: ponsel ilegal tidak punya jaminan perlindungan konsumen
“Tujuannya adalah untuk memerangi pasar gelap atau penjualan telepon ilegal. Dan regulasi ini baru berlaku enam bulan kemudian,” kata Menperin di Jakarta, Jumat.
Airlangga menyampaikan, Kemenperin telah memiliki 1,4 miliar data IMEI dari pengguna ponsel, yang selanjutnya akan dicek dengan data milik Global System for Mobile Association (GSMA), yakni daya IMEI internasional.
“Jadi, dari dua daya ini sebetulnya pemegang ponsel industri itu aman. Tidak akan ada yang terganggung baik yang membeli di dalam maupun luar negeri, kecuali membeli dari pasar gelap,” ujar Airlangga.
Baca juga: Ombudsman tidak setuju rencana blokir IMEI ponsel ilegal
Dalam waktu enam bulan ini, lanjut Airlangga, semua pihak terkait akan berupaya meniadakan pasar ilegal untuk ponsel.
Pada dasarnya, Airlangga menambahkan, tidak ada perlindungan khusus untuk produk ponsel di dalam negeri, mengingat bea masuknya Rp0.
Dengan aturan tiga menteri tersebut, yang ingin dilindungi adalah terhadap persaingan usaha yang tidak sehat, di mama produsen nasional harus membayar Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10 persen, sementara ponsel ilegal tidak.
Menkominfo menyampaikan, potensi ekonomi dari pemberantasan ponsel ilegal tersebut mencapai Rp2 triliun per tahun atau Rp55 miliar per hari.
“Jadi, kalau ditunda sehari, ada kehilangan potensi Rp55 miliar,” ujar Rudiantara.
Sedangkan, Mendag menyampaikan bahwa dalam rangka mengamankan perdagangan ponsel di dalam negeri, Kemendag akan mensyaratkan label dan buku panduan berbahasa Indonesia.
“Demikian, kalau tidak ada keduanya, mudah ditelusuri bahwa barang ini adalah black market, meskipun diujungnya nanti ditelusuri dari nomor pendaftaran IMEI sendiri,” ujar Mendag.
Hal tersebut, lanjut Mendag, juga berlaku untuk permohonan izin impor ponsel, sehingga pendeteksian juga mudah dilakukan.
Seluruh aturan dalam Peraturan Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, dan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang identifikasi Internasional Mobile Equipment Identity (IMEI) akan berlaku enam bulan setelah ditandatangani.
Baca juga: Kebijakan Blokir IMEI dikhawatirkan ganggu sektor pariwisata Indonesia
Baca juga: YLKI: ponsel ilegal tidak punya jaminan perlindungan konsumen
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019
Tags: