Pengamat: Pembahasan RUU PKS perlu melibatkan masyarakat
14 Oktober 2019 22:38 WIB
Ilustrasi - Aktivis Aliansi Gerakan Peduli Perempuan aksi bungkam tolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di kawasan Hari Bebas Kendaraan (CFD) Bundaran HI, Jakarta, Minggu (14/7/2019). (ANTARA FOTO/Reno Esnir/ama)
Surabaya (ANTARA) - Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Airlangga Surabaya Dwi Rahayu Kristianti menyatakan Pemerintah dan DPR perlu melibatkan masyarakat untuk membahas Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
"Tujuan utamanya adalah jelas menciptakan paradigma baru yang menjamin masyarakat bebas dari kekerasan seksual," ujarnya ketika dikonfirmasi di Surabaya, Senin.
Menurut dia, pelibatan masyarakat sangat penting karena hingga saat ini RUU PKS masih menuai pro dan kontra sehingga membuat DPR RI menunda pengesahaannya.
Baca juga: MUI: RUU PKS sebaiknya tunggu pengesahan RKUHP
Draf RUU PKS, kata dia, membutuhkan waktu dua tahun, hingga pada 2 September 2019 masuk dalam Daftar Invetarisasi Masalah (DIM).
Dwi menjelaskan pada hukum acara lebih ditekankan untuk merangkul korban dan memerhatikan haknya, namun hal tersebut masih bertolak belakang jika dilihat dalam DIM yang sebelumnya terdapat sembilan kekerasan seksual dan dipadatkan kembali hanya menjadi empat kekerasan seksual.
"Penyusutan tersebut membuat adanya celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh beberapa orang," ucapnya.
Baca juga: Kritik sejawat, masih ada anggota DPR tak pahami utuh RUU PKS
Penundaan pengesahan RUU PKS oleh DPR RI, lanjut dia, bukan urusan penting bagi negara, sebab masih banyak RUU selain PKS yang belum dibahas.
"Jika dilihat runtutan RUU yang diusulkan DPR RI, semuanya terhubung satu sama lain dalam agenda besar," katanya.
Hal tersebut menurutnya tidak sesederhana mempersalahkan kepemimpinan Presiden Joko Widodo baik atau tidak baik, bahkan semua RUU yang dibahas sebenarnya bukan perkara personal, tapi sudah struktural.
"Perlu diketahui, bahwa RUU tentang ketenagakerjaan yang direvisi oleh pemerintah banyak mendapat penolakan karena merugikan para buruh," ucapnya.
Baca juga: Mendesak, pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Selain itu, ia juga menyampaikan adanya ketimpangan gaji dan perlakuan terhadap perempuan masih banyak dijumpai.
"Jika dilihat secara seksama RUU Ketenagakerjaan akan berkaitan dengan RUU PKS akan merugikan para buruh wanita," imbuhnya.
"Tujuan utamanya adalah jelas menciptakan paradigma baru yang menjamin masyarakat bebas dari kekerasan seksual," ujarnya ketika dikonfirmasi di Surabaya, Senin.
Menurut dia, pelibatan masyarakat sangat penting karena hingga saat ini RUU PKS masih menuai pro dan kontra sehingga membuat DPR RI menunda pengesahaannya.
Baca juga: MUI: RUU PKS sebaiknya tunggu pengesahan RKUHP
Draf RUU PKS, kata dia, membutuhkan waktu dua tahun, hingga pada 2 September 2019 masuk dalam Daftar Invetarisasi Masalah (DIM).
Dwi menjelaskan pada hukum acara lebih ditekankan untuk merangkul korban dan memerhatikan haknya, namun hal tersebut masih bertolak belakang jika dilihat dalam DIM yang sebelumnya terdapat sembilan kekerasan seksual dan dipadatkan kembali hanya menjadi empat kekerasan seksual.
"Penyusutan tersebut membuat adanya celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh beberapa orang," ucapnya.
Baca juga: Kritik sejawat, masih ada anggota DPR tak pahami utuh RUU PKS
Penundaan pengesahan RUU PKS oleh DPR RI, lanjut dia, bukan urusan penting bagi negara, sebab masih banyak RUU selain PKS yang belum dibahas.
"Jika dilihat runtutan RUU yang diusulkan DPR RI, semuanya terhubung satu sama lain dalam agenda besar," katanya.
Hal tersebut menurutnya tidak sesederhana mempersalahkan kepemimpinan Presiden Joko Widodo baik atau tidak baik, bahkan semua RUU yang dibahas sebenarnya bukan perkara personal, tapi sudah struktural.
"Perlu diketahui, bahwa RUU tentang ketenagakerjaan yang direvisi oleh pemerintah banyak mendapat penolakan karena merugikan para buruh," ucapnya.
Baca juga: Mendesak, pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Selain itu, ia juga menyampaikan adanya ketimpangan gaji dan perlakuan terhadap perempuan masih banyak dijumpai.
"Jika dilihat secara seksama RUU Ketenagakerjaan akan berkaitan dengan RUU PKS akan merugikan para buruh wanita," imbuhnya.
Pewarta: Fiqih Arfani/Willy Irawan
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019
Tags: