Jakarta (ANTARA News) - Rasa letih menempuh perjalanan di jantung kota Manila, Filipina, serasa sirna setelah menginjakkan kaki di Intramuros, kawasan yang mengajak angan melayang menyusuri lorong waktu menuju peradaban 200 tahun silam. Seluruh sudut Intramuros memperlihatkan keabadian peradaban masa silam. Waktu dan perkembangan peradaban tidak mengikis cita rasa Spanyol di Intramuros yang berada tak jauh dari jantung kota Manila. Kawasan di pesisir kota Manila itu secara harafiah berarti "di dalam tembok". Kota tua di Filipina itu berkembang sejak abad ke XVI, saat Spanyol berkuasa di Filipina. Saat itu, pemerintah Spanyol membuat Intramuros sebagai kawasan eksklusif keturunan Spanyol. Kawasan ini dibuat steril dari etnis lain, misalnya pribumi Filipina dan Tiong Hoa, dengan membangun tembok batu mengelilingi kota. Perkembangan kebudayaan dan sistem pemerintahan Spanyol sejalan dengan perkembangan Kristiani. Jadilah kawasan itu menjadi salah satu basis penyebaran kristianitas dalam wujud iman dan liturgi (ibadah) Katolik. Penanda cikal bakal penyebaran iman Katolik di Intramuros adalah gereja San Agustin. Gereja itu menjadi saksi misi agama dan politik pemerintahan Spanyol di kawasan itu. San Agustin adalah salah satu gereja tua di Flipina yang masih berfungsi sebagai pusat liturgi katolik. Umur gereja ini sudah 200 tahun. Liturgi dan Seni San Agustin adalah salah satu penanda kota Manila. Gereja itu juga menjadi titik awal perkembangan kristianitas, yang menjadi pegangan hidup sebagaian besar warga Filipina hingga sekarang. Keberadaan San Agustin kemudian diikuti dengan perkembangan pusat kebudayaan yang lain, termasuk pembangunan sejumlah gereja di hampir seluruh penjuru Filipina. Badan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan gereja San Agustin sebagai warisan budaya dunia pada 1994. Keputusan UNESCO berdasarkan alasan karena gereja berlantai dua itu menyimpan nilai-nilai kekayaan budaya yang sangat tinggi, mulai dari nilai historis, estetis, dan liturgis. Ketiga nilai itu menyatu menjadi satu untaian cerita di setiap ruang dan lorong gereja itu. Setiap ruangnya menyimpan berbagai benda historis, estetis, dan liturgis. Pada dasarnya ruang-ruang di gereja San Agustin terbagi menjadi dua kelompok, yaitu ruang liturgi (misa) dan museum. Bangunan utama gereja berfungsi untuk kegiatan rutin gereja, seperti misa, pernikahan, dan beberapa jenis liturgi katolik lainnya. Sedangkan bangunan lain berfungsi sebagai museum tempat menyimpan berbagai benda dan dokumentassi gambar serta tulisan tentang perkembangan iman Katolik serta peradaban warga Intramuros dan sekitarnya. Pengunjung akan langsung berhadapan dengan bangunan tingi berwarna kuning pucat ketika menginjakkan kaki di halaman San Agustin. Bangunan itu berfungsi sebagai gereja. Wujud dan dan fungsi sebagai gereja langsung bisa ditangkap mata karena hampir di setiap permukaan tembok terpahat berbagai simbol dan figur rohaniwan Katolik. Desain interior gereja yang dibangun pada 1571 ini menyimpan berbagai lekuk pahatan dan kombinasi warna yang tak terhitung jumlahnya. Bagi orang awam, seluruh permukaan tembok di dalam San Agustin menyerupai media ekspresi seni, tempat mural dan seni pahat bersatu. Salah satu karya seni yang terpampang di depan mata adalah tabernakel atau tempat penyimpan roti untuk perjamuan misa. Tabernakel San Agustin menyerupai bangunan di dalam bangunan. Dengan tinggi hampir sepuluh mater dan lebar sekira lima meter, tabernakel itu menyajikan karya seni dan rohani dalam skala yang luar biasa. Tepat di atas tabernakel, patung Yesus setinggi dua meter berdiri tegak diapit dua lilin setinggi satu meter. Sementara itu, seluruh permukaan tabernakel dilapisi bahan serupa logam mengkilat dalam kombinasi warna putih, hijau, dan kuning. Permukaan tabernakel yang sama juga berhias berbagai pernik dan pahatan religi, mulai dari lambang-lambang sampai figur tokoh-tokoh Katolik. Konon, pernik-pernik tabernakel itu langsung didatangkan dari Roma pada 1595. Pusat perhatian lain di dalam gereja San Agustin adalah altar. Meja perjamuan sepanjang lima meter itu berdiri di atas empat lempeg batu berpahat salib dan berhiaskan berbagai relief dan figur tokoh-tokoh Katolik. Berdasar tradisi awal gereja, altar bukan hanya berfungsi sebagai meja, juga sebagai penanda makam yang berada di bawahnya. Itu sebabnya seorang imam akan mencium altar sebelum mengakhiri misa, meskipun hal itu hanya menjadi sekadar ritus dan simbolisasi pada tatacara dan tradisi gereja modern saat ini. Mahakarya seni dan liturgi lainnya di San Agustin tersimpan rapi di museum yang berada tepat di samping bangunan gereja. Museum berlantai dua itu menyajikan berbagai benda peninggalan misisonaris Katolik, serta berbagai karya seni berupa patung dan benda lain. Museum gereja San Agustin terdiri atas dua lantai. Tiap lantai terdiri atas berbagai ruang yang memiliki nama dan fungsi berbeda. Secara umum, ruang itu menyimpan berbagai benda liturgis dan karya seni berupa patung serta lukisan tentang aktivitas iman dan kepercayaan Katolik. Sebuah tangga batu menghubungkan lantai satu dan lantai dua museum tersebut. Berdasarkan catatan yang tertera, tangga itu terdiri atas 44 lempeng batu granit yang langsung didatangkan dari Cina pada 1780. Ruang di lantai dua museum ditata dengan konsep yang sama. Setiap ruang menyajikan berbagai benda seni dan sejarah terkait dengan misi Katolik. Sebgian benda yang tersimpan, mulai dari lukisan, patung kayu, patung batu, kursi, serta sarana dan prasarana upacara keagamaan berasal dari hasil kebudayaaan pada 1800-an atau sebelumnya. Beberapa koleksi juga berhubungan dengan kontak budaya antara Eropa dan Asia. Lintas budaya Gereja dan museum San Agustin adalah salah satu dari sejumlah pusat kebudayaan dan keagamaan di Filipina. Pemerintah setempat memberikan perhatian yang besar terhadap perawatan dan pengembangan kawasan cagar budaya, sehingga menjadi simbol dan daya tarik tersendiri. Komisi Nasional Kebudayaan dan Seni Filipina mengklaim telah melakukan perawatan terhadap 26 bangunan gereja yang diidentifikasi sebagai harta budaya setempat. Sebuah bangunan gereja diklasifikasikan sebagai harta budaya berdasar ciri khas arstitekturnya. Berdasar penelitian komisi, sebagian besar bangunan gereja bersejarah di Filipina memadukan seni arsitektur Eropa dan Asia. Terlepas, dari kompleksitas seni arsitektur, gereja telah mengambil peran penting dalam perkembangan spiritual 58 juta pemeluk agama Katolik di Filipina. Perpaduan citarasa Eropa dan Asia juga terlihat di gereja San Agustin. Beberapa ruang di gereja dan museum San Agustin dibangun menggunakan bahan dasar kayu, dengan motif dan ornamen khas Asia. Contohnya, daun jendela dan pintu di beberap ruangan dibuat dengan menggunakan rangkaian kayu yang ditata secara meyilang, persis seperti yang sering dijumpai di Jepang dan Cina. Perwujudan kontak budaya antara Eropa dan Asia juga bisa dilihat di ruang porselin di lantai dua museum San Agustin. Ruangan itu menyimpan berbagai benda khas Cina, terutama berbagai yang terbuat dari porselin. Ruangan yang sama juga menyimpan berbagai benda kerajinan karya pribumi Filipina, sebagian besar berupa alat untuk menunjang aktivitas sehari-hari, seperti alat masak dan bercocok tanam. Selain itu juga disajikan berbagai dokumentasi berupa gambar tentang aktivitas perdagangan, baik antar sesama bangsa Asia, maupun antara bangsa Asia dan Eropa. Salah satu dokumentasi yang terpampang adalah peta yang memuat rangkaian pulau di kawasan Asia tenggara. Dalam peta itu, belum terliha garis batas yang jelas antara Kalimantan (yang disebut Borneo) dan Malaysia. Setiap ruang dan ornamen di San Agustin menawarkan romantisme terhadap pengalaman historis dan liturgis dalam perjalanan peradaban di Filipina. San Agustin juga menjadi dokumentasi kontak budaya antar bangsa. Inquirer, media massa setempat, mengigatkan kecintaan pada kebudayaan harus melandasi niat untuk melestarikan San Agustin yang selalu tegak berdiri untuk bersaksi tentang pahit getir perjalanan sejarah dan hubungan antar bangsa. "Kita bisa membayangkan wujud kota di dalam tembok ini sebelum hancur lebur akibat perang pada 1945. Yang tersisa hanyalah tembok, dan tentu saja gereja San Agustin yang sekarang menjadi warisan dunia," tulis Inquirer tantang San Agustin. (*)